• Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami
Selasa, November 11, 2025
Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Utama Tasawuf

Wahdah Al-Wujȗd dan Mir  Sayyid Syarif Al-Jurjani (Bag. 3)

Firmansyah Djibran Oleh Firmansyah Djibran
21 Juni 2024
in Tasawuf
Waktu Baca: 11 menit baca
Source: https://bincangsyariah.com/khazanah/mengenal-malamatiyyah-dalam-tradisi-sufi/

Source: https://bincangsyariah.com/khazanah/mengenal-malamatiyyah-dalam-tradisi-sufi/

Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA
  • Persoalan Pertama: Mushadarah ‘ala Al-Mathlȗb

Berdasarkan uraian sebelumnya, timbul pertanyaan apakah Al-Jurjani menganggap monoteisme eksistensial (tauhîd wujȗdi) dapat diperdebatkan atau tidak? Atau ia hanya sekadar mencoba menjelaskan ketidakabsahan gagasan penolakan skala rasional?

Kita telah melihat bahwa di satu sisi ia menekankan keberadaan tauhîd wujȗdi di luar nalar dan menganggap pemahamannya unik, terkhusus kepada ulul abshâr. Namun, di sisi lain ia mencoba menjelaskannya secara rasional, bahkan melampaui rasionalitas. Penjelasannya, dalam posisi menolak beberapa bentuk yang dapat diajukan dalam kaitannya dengan penggunaan umum (‘urfiy) konsep maujȗd pada argumen tersebut, ia menyebut argumen tersebut sebagai burhân (demonstratif).

Al-Jurjani memperkenalkan penggunaan umum (‘urfi) untuk melawan argumen yang tidak efektif. Beberapa ulama ‘irfan dan sufi setelah masa Al-Jurjani, menganggap argumen yang disebutkan di bagian ketiga dan keempat sebagai bukti tauhîd wujȗdi para sufi.

Dari beberapa penjelasan Mohaghegh Khafri, Komentator Syrah Tajrîd Al-Aqaid li Al-Qausyaji, terlihat jelas bahwa beliau juga menganggap pernyataan Al-Jurjani di Hawâsyi Tajrîd li Al-Thȗsi dikaitkan dengan sebuah inkoherensi yang mana di antara ungkapannya pada bagian pertama dan kedua yang menganggap tauhîd wujȗdi bertentangan dengan aksioma akal dan menganggap pemahamannya terkait di luar nalar. Adapun pernyataannya pada bagian ketiga dan keempat, ia mencoba berargumentasi secara rasional tentang tauhîd wujȗdi[1]. Padahal, hal tersebut bertentangan dengan poin pertama dan kedua.

Pernyataan Al-Jurjani Kontradiktif?

Setelah mengacu pada Risalah Al-Wujȗd karya Al-Jurjani, saya tercengang ketika menemukan bahwa Al-Jurjani, di sela-sela Hasyiyah Tajrîd tentang abstraksi. Sebenarnya, Al-Jurjani mencoba mengungkapkan dua sudut pandang berbeda mengenai tauhîd wujȗdi; tidak mendukung dan tidak pula menolak.

Namun, kedekatan kedua perkataan tersebut dan ketidakjelasan perkataan Al-Jurjani dalam perbedaan keduanya menyebabkan keempat tafsiran tersebut dianggap berkaitan dengan tauhîd wujȗdi kaum sufi. Demikian juga pandangan Mohaghegh Khafri terhadap tafsiran Al-Jurjani.

Dengan mencermati keempat bagian tersebut, terlihat jelas bahwa apa yang dikemukakannya pada bagian pertama dan kedua dalam pemaparan tauhîd wujȗdi, pada dasarnya berbeda dengan apa yang dikemukakannya pada bagian ketiga dan keempat.

Bagian pertama dan kedua berkaitan dengan tauhîd wujȗdi sufi, yang dianggap Al-Jurjani sebagai validitas keberagaman (i’tibâri katsrât) sebagai isi teori tersebut. Al-Jurjani berbicara tentang pertentangannya dengan improvisasi akal (badîhah al-‘aql), dan menganggap pemahaman tersebut adalah hal di luar nalar (thȗr wara’i thȗr al-‘aql).

Sedangkan, bagian ketiga dan keempat dari pernyataannya berkaitan dengan monoteisme eksistensial justifikatif (tauhîd wujȗdi hakîmi) yang menyatakan bahwa banyak hal dianggap nyata (waqi’i) dan tidak dapat dipercaya kevaliditasnya (i’tibâri). Kesimpulannya, tauhîd wujȗdi hakîmi bukan hanya tidak bertentangan dengan aksioma akal akan terwujudnya keberagaman (tahaqquq katsrât wujȗd), bahkan argumentasi akal dapat dikemukakan untuk membuktikannya, meskipun menurut Al-Jurjani, pemahaman argumen ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang tergolong ulul abshâr, yaitu mereka berwawasan luas dan menguasai ilmu pengetahuan.

Al-Jurjani menyebutkan bagian kedua setelah apa yang saya sebutkan sebagai bagian ketiga dan keempat. Setelah analisis rasional terhadap teori tauhîd wujȗdi, Al-Jurjani “mendiamkan” tauhîd wujȗdi para sufi yang tingkatannya luar nalar. Hal ini menunjukkan dengan baik perbedaan antara tauhîd wujȗdi yang dapat diperdebatkan, tauhîd wujȗdi hakîmi, dan monoteisme eksistensial mistik (tauhîd wujȗdi ‘irfâni)[2].

Adapun bagian ketiga dan keempat, yaitu teori yang diminati Al-Jurjani, sebenarnya merupakan interpretasi dari teori zauq toleh yang saat ini dikaitkan dengan nama Mohagheg Al-Dewwani. Menurut teori ini, meskipun haqîqah al-wujȗd adalah entitas tunggal (amr wâhid), tapi kesatuan (wahdah) ini tidak menegasikan realisasi keberagaman dalam wujud. Keberagaman (katsrah) adalah esensi yang atribusinya yang tidak terbatas pada hakikat tunggal wujud (intisâb majhȗl al-kaifiyyeh beh haqîqat wâhid al-wujȗd) yang terkoreksi dengan penerapan yang ada pada esensi (maujȗd) tersebut. Di sinilah, patut kita melihat sekilas ungkapan-ungkapan Al-Jurjani dalam Risâlah Al-Wujȗd yang menunjukkan perbedaan antara kedua pendekatan tauhîd wujȗdi ini.

Al-Jurjani, setelah memaparkan dasar-dasar mengenai hubungan antara wujȗd dan mâhiyah mengenai Dzat Tuhan dan makhluk, ia menyatakan bahwa awâ’il dan sufi, termasuk muwahhid (bertauhid). Keduanya berkeyakinan bahwa mengenai beban transendensi wâjib al-wujȗd seperti wujȗd dan dzat. Dua hal tersebut tidak bertentangan satu sama lain, baik secara wujud rasional (dzihni) dan maupun eksternal (khâriji). Adapun gagasan pemisahan keduanya, mustahil. Dalam skala kuantitas, wâjib al-wujȗd adalah ‘ain al-wujud, antara golongan awâ’il, maupun golongan muwahhid adalah hal disepakati.

Setelah menjelaskan apa yang terjadi antara awâ’il dan sufi, beliau membahas pokok perselisihan antara keduanya dan menunjukkan bahwa awâ’il adalah pihak yang berselisih. Pemuka dari golongan mereka berpendapat dalam pengetahuan ketuhanan adalah akal. Al-Jurjani mengemukakan pernyataan yang sama yang telah disampaikan sebelumnya di bawah bagian ketiga dan keempat sebagai pandangan awâ’il dan mengisyaratkan bahwa wâjib al-wujȗd adalah haqîqah al-wujȗd.

Oleh karena itu, haqîqah al-wujȗd itu bukanlah suatu perkara umum. Karena perkara umum (kulliy) itu tidak mempunyai realisasi dan tanpa ta’yin di alam eksternal. Haqîqah al-wujȗd itu ditentukan oleh hakikatnya dzat-Nya sendiri dan juz’iy haqîqiy ditetapkan oleh hakikatnya sendiri (qâ’im bi dzâtihi). Kesimpulannya, keberagaman hakikat eksistensi (ta’addud haqîqah al-wujȗd) sesuai individu dan aksiden hakikat wujud pada esensi (mâhiyah) yang imkan, mustahil. Terakhir, dia menjelaskan mazhab awâ’il seperti ini:

واجب‌الوجود، وجودِ مطلق است و مراد از مطلق در اینجا آنست که عارض مهیّت نیست، بلکه قائم به‌ ذات خود است و مقیّد به تعیّن نیست، بلکه به‌ذات خود متعین است؛ … اطلاق لفظ موجود بر غیر واجب‌الوجود مجاز باشد؛ زیرا که وجود نه عارض وى است و نه جزء و نه عین، بلکه موجودیت ایشان آن است که ایشان را با حضرت حقیقت وجود تعلقى است و از آن حضرت بر اشیاء پرتوی است، نه آنکه وجود مر ایشان را عارض است یا در ایشان حاصل است. اینست آنچه ارباب بحث به افکار عقل به آنجا رسیده‏اند.

“Wajib Al-Wujud adalah keberadaan yang mutlak. Yang dimaksud dengan mutlak di sini adalah bukan aksiden esensi, melainkan berdiri terhadap hakikatnya sendiri (qâ’im bi al-dzât), tidak terikat oleh ta’yin, melainkan ditentukan oleh hakikatnya sendiri; … dibolehkan penerapan lafaz maujȗd bagi selain Wâjib Al-Wujȗd; Karena Wujud-Nya bukanlah bagian dari dirinya (âridh), bukan juga bagian (juz), bukan pula suatu benda (‘ain), melainkan keberadaannya adalah kenyataan bahwa Ia terkait dengan hadirnya haqîqah al-wujȗd. Dari-Nya terpancarkan segala sesuatu (asyâ’), bukan keberadaan-Nya. Keberadaan-Nya adalah bagian dari dirinya atau merupakan akibat (hâshil) dari diri-Nya. Inilah yang dicapai dari pembahasan pemikiran kepada pikiran akal.“[3]

Setelah itu, Al-Jurjani mencoba menjelaskan pendapat para sufi dan menunjukkan bahwa mereka beriman dengan cara yang melampaui akal, yaitu melalui mukâsyafah dan musyâhadah. Mereka menemukan hal-hal yang tidak mampu dipahami oleh akal, sebagaimana indera tidak mampu memahami objek rasional.

Dia mengaitkan temuan ini dengan bashâ’ir ulâ al-aide wa al-abshâr dan menyatakannya dengan:

در آن طور محقق شده است که حقیقت وجود که عین واجب‌الوجود است؛ نه کلى است و نه جزئى، و نه عام و نه خاص، بلکه مطلق است از همه قیود، تا حدى که از قید اطلاق نیز معری است بر آن قیاس که ارباب علوم عقلیّه در کلى طبیعى گفته‏اند؛ و آن حقیقت در همه اشیاء که موصوفند به وجود، تجلی و ظهور کرده است، به‌این‌معنى که هیچ‌چیز از آن حقیقت خالى نیست که اگر از حقیقت وجود به‌کلى خالى بودى، به‌وجود موصوف نگشتى. و هرگاه که آن حقیقت ملاحظه شود، به‌اعتبار اطلاق که مذکور شد، آن را «حضرت احدیت جامعه» خوانند و هرگاه که ملحوظ شود به‌آن اعتبار که هیچ چیز از قیود و تعیّنات در مرتبۀ ذات وى نیست و تقید را به این معنی ملاحظه دارند، آن را «حضرت احدیت صرفه» خوانند و چون آن ذات به تجلى اوّل، به مرتبه اسماء و صفات تنزل کند، آن حضرت را «حضرت واحدیت» و «حضرت اسماء و صفات» خوانند و چون به‌توسط اسماء و صفات در سائر اشیاء که مظاهر اسماء و صفات و مرایای ذات وی‌اند، تجلى و تنزل کند، آن را «حضرت صانع المخلوقات» گویند

“Telah diwujudkan sedemikian rupa kebenaran keberadaan yang merupakan Wâjib Al-Wujȗd, tidak secara kulli maupun juz’i, dan tidak secata umum maupun secara khusus. Tetapi, dia absolut dari segala keterbatasan. Sampai pada batasan mutlak juga menunjukkan analogi yang diucapkan oleh ilmu rasional dalam domain fisikal: Dan hakikat tersebut telah mewujud (tajalli) dan muncul dalam segala hal yang digambarkan sebagai wujud. Dalam artian, tidak ada sesuatu pun yang tanpa hakikat itu sehingga jika Anda sama sekali tidak memiliki haqîqah  al-wujȗd, Anda tidak akan digambarkan sebagai keberadaan. Kapan pun hakikat itu dipertimbangkan, sesuai dengan keabsahan (i’tibâri ithlâq) yang disebutkan di atas, mereka menyebutnya (hadharât ahadîts jâmi’ah). Setiap kali i’tibâri diperhatikan, tidak ada satupun batasan dan ta’yinât dalam martabah dzat-Nya. Mereka menganggap keterikatan dalam pengertian ini, mereka menyebutnya (hadharât ahadîts sharfeh). Karena jika itu turun sampai pada tataran asma’ dan sifat pada tajalli pertama, maka hadarat itu disebut (hadharat wahidet) dan (hadarat asma wa shifat). Apabila bertajalli dan turun melalui nama dan sifat pada benda lain, merupakan penjelmaan dari nama dan sifat serta cermin hakikatnya. Maka disebut dengan hadharat shâni’ al-makhluqât.”[4]


Catatan Pinggir (Muhammad Said Anwar)

[1] Di sini Anda perlu membaca tulisan sebelumnya mengenai empat tafsiran Mir Sayyid Syarif Al-Jurjani terhadap Tajrid Al-Aqa’id untuk memahami bagian ini dengan utuh. Karena dari empat uraian Mir Sayyid Syarif Al-Jurjani tersebut dibagi menjadi menjadi dua; 1) Dua pendapat pertama, dan 2) Dua pendapat sisanya. Dua pendapat pertama dipegang oleh kaum sufi, karena konsep tauhîd wujȗdi berada pada taraf supra-rasional. Sedangkan dua sisanya dipegang oleh kaum filusuf yang diistilahkan oleh penulis dengan awâ’il. Karena domainnya berada di akal. Kendati keduanya memiliki epistemologi yang berbeda, Al-Jurjani memandang keduanya termasuk muwahhid; orang-orang bertauhid, sama sekali tidak menciderai keimanan.

[2] Di sini ada tiga kelompok tauhîd wujȗdi; 1) Sufi, 2) Irfani, dan 3) Filusuf (Hakîmi yang dinisbatkan kepada hukamâ’). Secara garis besar, kita mengelompokkan kelompok sufi dan irfani dalam satu kubu, walau ada perbedaan dalam skala detail; di mana kaum urafa menolak tafsiran pertama dan kedua Al-Jurjani. Ini bagian pertama. Bagian kedua, tauhîd wujȗdi versi para filusuf.

Baik sufi maupun urafa’ memandang bahwa manusia dan Tuhan itu memiliki status eksis (wujȗd). Tapi, ketika kita menyatakan keduanya “ada”, keduanya memiliki keberagaman. Buktinya, Tuhan itu satu hal, sedangkan selain Tuhan adalah hal lain. Tapi, berada di bawah payung “ada”. Yang membedakan keduanya nanti diistilahkan dengan validitas perspektif (i’tibâri). Jika kita menggunakan point of view untuk menyorot Tuhan, maka di sana Tuhan berstatus Wâjib Al-Wujȗd, sedangkan selain Tuhan, statusnya mumkin al-wujȗd. Statusnya sama, sudut pandangnya berbeda. Sebab hal tersebut bisa terjadi adalah kubu ini memandang bahwa al-wujȗd itu memungkinkan keberagaman (al-katsrah).

Di mana titik penyatuannya? Ketika keduanya (Tuhan dan makhluk) menyatu dalam aspek keber-eksistensi-an; melebur menjadi satu dengan bentuk ittihâd dan hulȗl. Seperti ketika mencampur air mineral dan sirup; keduanya melebur menjadi satu, tapi tetap memiliki sudut pandang yang berbeda; kita masih bisa membedakan mana air dan sirup.

Beda dengan kubu filusuf yang menolak pandangan para sufi dan ‘urafa. Bagi para filusuf, benar bahwa Tuhan dan selain Tuhan memiliki wujud. Tapi, keberadaan selain Tuhan bergantung kepada Tuhan, sedangkan Tuhan tidak bergantung kepada apapun. Di sinilah filusuf memposisikan Tuhan sebagai sebab (‘illah) dan selain-Nya adalah akibat (ma’lȗl). Berangkat dari sini, skala perspektif itu tidak bisa berlaku. Toh, sejak awal tingkatan keberadaannya saja beda. Karena demikian, maka melazimkan satu hal; gradasi dan degradasi wujud. Wujud Tuhan lebih kuat dari wujud selain Tuhan. Seandainya keduanya berada pada taraf yang sama, maka apa yang disebut validitas perspektif itu bisa berlaku. Tapi, antisedennya itu mustahil, maka konsekuennya mustahil juga.

Apakah masih bisa dikatakan Tuhan dan makhluk itu ada? Iya keduanya ada, tapi keberadaannya mengalami gradasi dalam status wujud yang sama (tapi beda tingkatan) dan keduanya memiliki relasi sebab-akibat.

[3] Di sini ada perbedaan antara al-wujȗd dan al-maujȗd. Al-wujȗd itu sifatnya mutlak. Tapi, ketika terealisasi di alam nyata, mengalami ta’yin, diliputi aksiden, memiliki bagian, menjadi entitas semesta, maka dia disebut dengan al-maujȗd. Bagi yang membedakan keduanya, ia akan menyatakan bahwa al-wujȗd memiliki status amr i’tibâri. Sedangkan yang menyatakan keduanya sama, seperti Mulla Sadra, maka baik al-wujȗd maupun al-maujȗd itu terealisasi. Makanya, mereka yang membedakan menyebut Tuhan itu al-wujȗd, bukan al-maujȗd. Sebagaimana populernya istilah Wâjib Al-Wujȗd, bukan Wâjib Al-Maujȗd. Karena dari al-wujȗd, muncullah al-maujȗd. Bukan sebaliknya. Catatan pentingnya: al-wujȗd di sini bukan sebagai sifat, tapi hakikat eksistensi-Nya. Bukan pula melirik aspek kebahasaan, karena dalam hal ini tidak ada masalah.

[4] Sebelum kita masuk ke dalam pembagian manifestasi, perlu memulai dari menyorot sesuatu dalam dua hal; 1) Tuhan, dan 2) Selain Tuhan. Bagian pertama terbagi dua; 1) Dzat dan sifat, dan 2) Sifat. Maka dari segi tingkatan, terhasillah tiga klasifikasi; 1) Dzat dan sifat Tuhan, 2) Sifat Tuhan, dan 3) Selain Tuhan. Dari tiga bagian ini, terhasillah tiga tingkatan manifestasi:

  1. Hadarat Ahâdits Jâmi’ah

Untuk bagian ini, manifestasi itu mencakup Dzat dan sifat Tuhan. Ini seperti yang terjadi pada Al-Hallaj ketika menyatakan dirinya adalah Tuhan. Dia menyatakan ketuhanan itu, bukan dalam hal menyatakan Al-Hallaj adalah Tuhan. Tapi, Al-Hallaj melihat segalanya itu merupakan pancaran dari Dzat dan sifat Tuhan; segalanya hanya Tuhan. Sehingga apapun signifikasi yang dilontarkan Al-Hallaj, muaranya adalah Tuhan. Bagaimana mungkin Al-Hallaj menyatakan dirinya Tuhan apalagi menjadikan dirinya Tuhan, sementara Al-Hallaj sendiri ke-aku-annya hilang, tidak ada yang ia saksikan kecuali Dzat dan sifat Tuhan? Inilah yang disebut dalam kutipan di atas dengan hadarat ahâdits sharfeh. Ini adalah tingkatan tertinggi.

  1. Hadarat Ahâdits Asmâ’ wa Shifât

Bagian kedua ini, tidak melibatkan Dzat, cukup pada sifat. Ini seperti ketika seseorang tidak melihat apapun perbuatan, kecuali di sana hanyalah perbuatan Tuhan. Inilah yang menjadi akar bagi kelompok yang menyatakan bahwa kasb adalah metafora semata. Karena pada hakikatnya, semuanya adalah perbuatan Tuhan. Jadi, seseorang yang berada pada tingkatan ini ketika melihat orang lain berbuat baik, maka yang ia lihat adalah Tuhan sedang memberikan rahmat-Nya kepada orang itu. Inilah yang nanti kita kenal dengan “Kita diberikan rezeki oleh Tuhan melalui tangan manusia.”

  1. Hadarât Shâni’ Al-Makhluqât

Sedangkan bagian ini berada di tingkatan lebih di bawah karena tidak secara kontan kepada Tuhan, melainkan melalui perantara. Perantara yang dimaksud adalah sesuatu selain Tuhan, tapi kita tahu bahwa segala sesuatu itu berasal dari Tuhan. Jadi, misalnya ada seseorang berjalan di pasar, maka yang dilihat adalah orang itu sendiri. Begitu juga perbuatan tersebut adalah perbuatan orang itu sendiri. Di mana peranan Tuhan? Tuhan adalah pencipta orang dan perbuatan itu.

Inilah yang menjadi titik perbedaan ketiganya. Jika bagian ketiga ini dzat dan perbuatan makhluk masih tampak sebagai makhluk, maka bagian kedua dan pertama tidak demikian. Bagian kedua melihat perbuatan tersebut adalah perbuatan Tuhan, sedangkan dzat makhluk adalah dzat makhluk. Adapun bagian pertama, melihat dzat dan perbuatan makhluk sebagai pancaran dari Tuhan.

Wallahu a’lam

Artikel Sebelumnya

Wahdah Al-Wujȗd dan Mir Sayyid Syarif Al-Jurjani (Bag. 2)

Artikel Selanjutnya

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Firmansyah Djibran

Firmansyah Djibran

Nama lengkapnya Djody Firmansyah, kelahiran Palu, Sulawesi Tengah. Alumni dari Pondok Pesantren Al-Khairat Madinatul Ilmi Dolo, Tadulako University (Spesialisasi Bahasa Inggris), Al-Musthafa International University Iran (Spesialisasi Teologi dan Filsafat), baik di Strata Satu (S1) Strata Dua (S2). Adapun pengalaman organisasi: Assosiation of Islamic Students University (HMI Palu, 2013), DEO (Developing English Organization) Central Sulawesi (2014), LDK UPIM Untad (Lembaga Dakwah Kampus-Unit Pengkajian Islam Mahasiswa Universitas Tudolako) Koord. Bid. PTQ dan S1 Pengembangan Tilawah Al-Qur'an dan Seni Islam (2014), Lembaga Kesenian Perkusi Universitas Tadulako Bid. Seni Islam (2013), IPI Iran/PPI Iran Bid. Kajian Strategis (2017), PPI Dunia (OISAA) Bidang Sosial dan Budaya (2018), dan KAHMI Iran (2022).

Artikel Selanjutnya
Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Fisika
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sastra Indonesia
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2021 Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2021 Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan.