Kebahagiaan merupakan salah satu tema eksistensial yang tampak sederhana namun menyimpan kompleksitas filosofis yang mendalam. Dalam berbagai tradisi pemikiran, kebahagiaan kerap dianggap sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Meski demikian, perdebatan mengenai hakikat kebahagiaan terus berlangsung di kalangan filsuf, pemikir, maupun para sufi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar masih terus diajukan: Apa definisi kebahagiaan? Apakah kebahagiaan benar-benar eksis dalam realitas manusia? Jika ya, seperti apa bentuk kebahagiaan yang autentik? Dan bagaimana membedakan antara kebahagiaan yang sejati dengan kebahagiaan yang semu atau ilusi? (Said Anwar, 2024).
Demikian kebahagiaan bertransformasi sebagai tema abadi yang menjadi pusat perhatian manusia dari berbagai zaman dan budaya. Meski setiap masyarakat memiliki cara pandang yang berbeda tentang apa arti bahagia, ternyata ada benang merah yang ditemukan dalam berbagai filsafat dan tradisi. Dalam budaya Bugis misalkan, kebahagiaan tidak hanya dipahami sebagai kesenangan pribadi, tetapi sebagai kualitas hidup yang bermartabat dan berguna. (Abidin, 1969: 3).
Pandangan ini secara mengejutkan bahwa banyak kemiripan dengan filsafat Stoikisme dari Yunani-Romawi, serta pandangan teolog dan filsuf besar Islam, Imam Fakhruddin Al-Razi. Melalui tulisan ini, penulis akan menelusuri bagaimana ketiga perspektif ini membentuk gambaran utuh tentang kebahagiaan yang mendalam, tahan uji, dan bermakna.
Filsafat Kebahagiaan dalam Tradisi Bugis
Filsafat kebahagiaan dalam tradisi Bugis memiliki akar kuat dalam nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan struktur sosial yang khas. Kebahagiaan (dalam bahasa Bugis, seringkali dikaitkan dengan istilah seperti mappasitinaja atau sitinaja, yang berarti tenteram atau damai) dipahami tidak hanya sebagai perasaan subjektif, tetapi sebagai hasil dari hidup selaras dengan nilai-nilai luhur masyarakat Bugis. (Wahid, 2005: 48).
Melalui perspektif Bugis, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dangkal seperti tawa atau kenyamanan sesaat. Orang tua Bugis sering menilai kebahagiaan berdasarkan sejauh mana seseorang hidup dengan siri’ (harga diri dan kehormatan). Menjaga siri’ berarti menjalani hidup dengan jujur, tidak merendahkan diri, serta tidak memalukan keluarga atau komunitas. (Bustan dan Jumadi, 2024: 1100).
Di sisi lain, pesse atau empati menjadi pondasi penting dalam kehidupan sosial: seseorang dianggap bermakna jika mampu memahami dan menanggung penderitaan orang lain. Nilai-nilai seperti siri’ na pacce bukan hanya aspek budaya, tetapi juga sistem etika dan identitas sosial masyarakat Bugis-Makassar. Budaya ini menciptakan solidaritas dan makna hidup yang tidak bergantung pada kekayaan atau prestasi duniawi semata, tetapi pada keberanian moral dan ketulusan hati. (Rahmawati, 2022).
Filsafat Stoikisme dan Kebahagiaan
Stoikisme merupakan mazhab filsafat yang berkembang di Yunani dan Roma kuno, dengan tokoh-tokoh seperti Zeno, Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius. Filsafat ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa diperoleh jika seseorang hidup selaras dengan akal budi dan kodrat alam. Menurut Stoikisme, emosi negatif seperti marah, iri, dan takut muncul karena kita terlalu menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal di luar kendali kita. (Pigliucci, 2017: 46).
Tokoh seperti Marcus Aurelius dalam Meditations mengajarkan kita untuk menerima hidup dengan keberanian dan ketenangan. Ia menulis, “Jangan berharap segalanya berjalan seperti yang kauinginkan, tapi terimalah kenyataan sebagaimana adanya, dan itulah jalan menuju kedamaian batin.” Prinsip ini identik dengan konsep amor fati (cinta pada takdir) dan apatheia (ketenangan batin) yang menjadi pilar Stoikisme.
Stoikisme tidak menolak penderitaan, tetapi mengajarkan bahwa penderitaan tidak membuat hidup menjadi tidak bermakna. Selama kita hidup dengan virtue (kebajikan)—yakni kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri—maka hidup itu sendiri telah sempurna. (Aurelius, 2003: 29).
Perspektif Imam Fakhruddin Al-Razi tentang Kebahagiaan
Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 1209 M), seorang teolog, filsuf, dan mufasir besar dalam tradisi Islam, memiliki pandangan yang mendalam dan filosofis tentang kebahagiaan (al-sa‘âdah). Sebagai seorang pemikir yang terpengaruh oleh filsafat Yunani sekaligus ulama Sunni, ia berusaha memadukan antara rasio dan wahyu dalam memahami tujuan hidup manusia.
Dalam tradisi Islam, Imam Fakhruddin Al-Razi menempatkan kebahagiaan sebagai buah dari penyempurnaan jiwa, bukan kenikmatan jasmani. Ia berpandangan bahwa manusia terdiri dari dua aspek: jasad dan ruh. Kebahagiaan yang hakiki hanya bisa dicapai jika ruh dibina dengan ilmu, amal saleh, dan pengendalian hawa nafsu. (Rahmawati, 2023: 53).
Menurut Al-Razi, dunia hanyalah sarana ujian; kebahagiaan sejati (al-sa‘adah al-haqiqiyyah) terletak pada kedekatan dengan Tuhan. Ar-Razi menekankan pentingnya membebaskan jiwa dari belenggu keinginan rendah (syahwat) dan kemarahan (ghadhab), agar manusia mampu mencapai kesempurnaan intelektual dan spiritual. Dalam hal ini, pemikiran Al-Razi sejalan dengan etika Stoik dan nilai-nilai Bugis: pengendalian diri, disiplin batin, dan keteguhan dalam menghadapi penderitaan.
Titik Temu dan Relevansinya
Meskipun datang dari latar belakang yang berbeda—lokalitas Bugis, filsafat Yunani, dan teologi Islam klasik—ketiganya berbagi pandangan yang serupa. Mereka sepakat bahwa kebahagiaan bukan soal memenuhi keinginan, tetapi soal hidup yang bermakna. Baik Bugis dengan siri’, Stoik dengan virtue, maupun Al-Razi dengan ilmu dan amal, semua menekankan pentingnya pengendalian diri, keteguhan batin, dan pengabdian yang ikhlas.
Namun, ada juga perbedaan. Bugis lebih menekankan pada kehormatan sosial dan tanggung jawab komunal. Stoikisme bersifat lebih individualistik dan rasional. Al-Razi menawarkan pandangan teologis yang menekankan hubungan vertikal-ilahiah dengan Tuhan. Tapi, ketiganya bersatu dalam hal ini: kebahagiaan bukan sesuatu yang datang dari luar, tetapi dari cara kita hidup, berpikir, dan bersikap.
Sehingga di tengah budaya modern yang konsumtif dan instan, nilai-nilai lama ini justru terasa makin relevan. Banyak orang merasa hampa meskipun dikelilingi kemewahan. Stoikisme, Al-Razi, dan kearifan lokal Bugis memberi jalan untuk menumbuhkan ketenangan batin dan makna melalui hidup yang jujur, tangguh, dan berserah. Sebagai generasi yang hidup di antara modernitas dan tradisi, kita punya tanggung jawab untuk menyambungkan warisan hikmah ini dengan tantangan masa kini.
Kebahagiaan tidak pernah tunggal bentuknya, tetapi nilai-nilai luhur yang membentuknya sering kali universal. Dari Bugis sampai Yunani, dari Madinah sampai Roma, manusia selalu mencari ketenangan dan makna. Dan jika kita mendengarkan baik-baik, pesan mereka tetap sama: Bahagia bukan soal apa yang kita miliki, tapi siapa kita dan bagaimana kita menjalani hidup.
Daftar Pustaka
Aurelius, Marcus. Meditations. Translated by Gregory Hays. New York: Modern Library, 2003.
Nasr, Seyyed Hossein. The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. New York: HarperOne, 2006.
Pigliucci, Massimo. How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life. New York: Basic Books, 2017.
Rahmawati, L. “Analisis Konsep Ruh dalam Perspektif Fakhruddin ar-Razi.” Indonesian Journal of Islamic Psychology 2, no. 1 (2023): 49–58. https://journal.iamphome.org/index.php/IJIP/article/view/50
Rahmawati, Yusnita. “Siri’ na Pacce: Nilai Budaya dan Artinya dalam Masyarakat Bugis-Makassar.” Detik Sulsel, September 6, 2022. https://www.detik.com/sulsel/budaya/d-6236950/siri-na-pacce-nilai-budaya-dan-artinya-dalam-masyarakat-bugis-makassar


