Dewasa ini, kita sudah ada di abad modern, yang di mana, teknologi sudah maju, ilmu dan maklumat sudah ada di mana-mana. Tapi, banyaknya ilmu bertebaran di mana-mana tidak menafikan aturan salah satu aturan penting dalam menuntut ilmu. Yakni, tadarruj.
Tadarruj, sebagaimana makna bahasanya, “perlahan-lahan” dan “bertahap”. Dalam agama, ada proses tertentu dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Berangkat dari konsep ini, muncullah dua istilah kategori ilmu yang populer. Pertama, ilmu wasâ’il (atau dikenal dengan ilmu alat). Kedua, ilmu maqâshid.
Ilmu wasâ’il isinya tentang ilmu yang mengantarkan kita kepada ilmu maqâshid. Wasâ’il, sebagaimana namanya yang berarti wasilah-wasilah atau perantara-perantara yang mengantarkan kepada tujuan (maqâshid).
Dalam salah satu majelis Syaikh Muhsin Mukhtâr –Hafizhahullah- mengkategorikan ilmu maqâshid, yakni ada tiga. Pertama, Tauhid. Kedua, Fikih. Ketiga, Tasawwuf. Dasarnya ada pada hadits kedua di Arba’in Nawawi ketika malaikat Jibril –‘Alaihissalam– datang kepada Rasulullah Saw. dalam bentuk manusia, sampai tak seorang sahabat pun mengenalinya. Lalu bertanya kepada Rasulullah “Apa itu Islam? Apa itu Iman? Apa itu Ihsan?” Ini sudah menunjukkan wajah islam secara global.
Ada juga yang mengkategorikan ilmu maqâshid lebih dari itu, seperti Tafsir, Hadits, Fikih, Tasawwuf, Filsafat, dan lain-lain. Sebagaimana yang kita ketahui, semua ilmu yang tergolong ilmu maqâshid, tidak bisa dipahami kecuali melalui ilmu wasâ’il.
Isi ilmu wasâ’il ini sangat banyak, ada sharaf, nahwu, balaghah, ‘arudh wa qâfiyah, mantiq, maqûlat, adab al-bahts wa al-munazharah, musthalah hadits, ‘ulum al-Qur’an, dan ushul fikih. Ilmu-ilmu ini sangat dibutuhkan untuk memahami ilmu maqâshid dengan baik. Ini juga sangat ampuh dalam menghindarkan kesalahan dalam memahami teks-teks agama jika diamalkan.
Belum lagi melihat cabang-cabang dari ilmu tersebut, misalnya saja bahasa arab memiliki beberapa cabang ilmu seperti ilmu lughah, ilmu sharaf, ilmu balaghah, ‘arudh wa qâfiyah, ilmu khatth, qardh al-syi’r, ilmu insya‘, ilmu muhadharât, ilmu wadh’i, dan ilmu tawârikh. Tidak cukup sampai di sini, ini masih bisa lagi terpecah dan mendetail, seperti ilmu sharaf yang pecah menjadi ilmu isytiqâq, balaghah terpecah menjadi bayân, ma’âni, dan badi’. Kemudian ilmu lughah pecah lagi menjadi ilmu fiqh lughah dan ilmu mufradât, dan lain-lain.
Itu bukan hanya bahasa arab, ada juga ilmu ushul fiqh lagi yang nanti terpecah lagi menjadi ilmu takhrîj al-furu’ ala al-ushûl. Begitu juga ilmu musthalah al-hadits terpecah lagi menjadi beberapa cabang seperti ilmu rijâl al-hadits, ilmu jarh wa ta’dil, ilmu nasikh wa mansukh, ilmu asbâb al-wurud, ilmu i’lal al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan gharîb al-hadits.
Melihat ilmu yang sudah bercabang-cabang, mungkin sudah bisa dikatakan sangat banyaklah. Karena satu cabang saja, bisa memakan waktu satu tahun lebih. Ini belum kita lihat lebih spesifik lagi seperti level-levelnya. Setiap ilmu memiliki urutan level juga kitab-kitab yang dipelajari. Masing-masing ilmu memiliki tiga level: mubtadi‘ (pemula), mutawassith (menengah), muntahi (kelas berat).
Masing-masing level bisa menghabiskan 3-4 kitab. Dan satu kitab itu bisa menghabiskan waktu sekitar sebulan. Jika satu level harus menguasai 3 matan dan 1 syarah, maka butuh menyelesaikan 12 kitab pada satu ilmu. Tidak cukup dengan selesai, tapi harus menguasainya.
Seorang ulama, paling tidak menguasai 12 cabang ilmu yang tergolong standar yakni: nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, ‘arudh wa qâfiyah, ‘ulum al-Qur’an, musthalah al-hadits, ushul fiqh, tafsir, hadits, tauhid, tasawwuf, fikih.
Jika ada 12 cabang ilmu, maka punya tiga tingkatan dan masing-masing tingkatan menyelesaikan 3 kitab matan. Kitab matan itu bisa benar-benar dipahami secara mendalam paling tidak dengan 3 kitab syarah.
Berarti:
3 (kitab matan) x 3 (kitab syarah) x 3 (level) x 12 (fan ilmu) = butuh 324 buku.
Jika satu buku butuh satu bulan, maka kita butuh 324 bulan atau 27 tahun untuk menguasai itu semuanya. Itu pun kalau kita tekun belajar dan bisa konsisten selama itu.
Sampai sewaktu kami belajar kepada Syaikh Fauzi Konate –Hafizhahullah– beliau melarang kita untuk melangkah ke kitab selanjutnya sebelum mutqin (menguasai) empat syarah dari kitab Jurumiyyah. Setelah itu baru boleh masuk ke kitab Qatrunnada‘ (kitab matan).
Juga, kitab yang dipakai setiap tingkatan itu urutannya ada. Seperti nahwu yang dimulai dari Tuhfah al-Saniyyah, Syarah Azhariyyah, Tanqih al-Azhari, dan seterusnya. Itu pun masih di Jurumiyyah.
Lalu, bagaimana cara menyingkat waktu itu semua? Tentu saja dengan berguru. Ada sebuah ungkapan:
التلمذ يقصر في طريق طلب العلم
Berguru itu meringkas waktu dalam belajar.
Yang awalnya 27 tahun tadi (karena membaca sendiri), bisa menjadi 15 tahun. Dan kalau berguru, maka seseorang itu sudah tadarruj dalam belajar. Karena guru yang benar pasti mengajarkan hal tersebut.
Ya, seseorang ketika menempuh jalan menjadi seorang ‘alim, harus menempuh perjalanan panjang ini. Karena agama tidak cukup di “terjemahan” atau “kira-kira” (sampai main kira-kira dalam agama pun, ada tata caranya).
Bagaimana pun, pemahaman itu harus sistematis dan tersusun dengan rapih. Seperti itulah jalan para ulama kita dulu. Kalau tidak, maka akan amburadul juga kesimpulan-kesimpulan yang dibuat. Jika amburadul, maka untuk mencapai kebenaran itu akan sulit. Sementara masyarakat bertanya dan masalah-masalah yang ingin dipecahkan, tujuannya sampai kepada kebenaran.
Saking pentingnya yang namanya tadarruj dalam belajar, sampai muncul kaidah:
من تعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه
Barangsiapa terburu-buru pada sesuatu sebelum waktunya, maka konsekuensinya, dia diharamkan untuk sampai di tempat yang seharusnya dia belum ada di sana.
Kalau ada orang yang belum pernah belajar mantiq, maqulat, dan adab al-bahts wa al-munazharah. Maka berdasarkan kaidah ini, dia haram mempelajari filsafat (produk pemikiran).
Jika ada orang yang belum kelar belajar ilmu wasâ’ilnya secara mendalam, tiba-tiba mau mengkaji Al-Qur’an dan Hadits sendiri, maka itu haram baginya berdasarkan kaidah ini.
Sedangkan kita melihat hari ini orang-orang yang berbicara dan berfatwa kiri kanan tentang sesuatu yang tidak diketahuinya, tidak dikuasainya, bahkan tidak dipelajarinya secara mendalam, tiba-tiba muncul di tengah masyarakat seolah menjadi pencerah padahal dia adalah orang yang tidak paham, itu akan menyesatkan saja. Kalau pun, dari asbunnya itu ternyata benar, maka benarnya hanyalah “ketidaksengajaan” dan dekat kepada kesesatan.
Begitu pula dengan kejadian yang barusan di kota Makassar, ada kejadian bom bunuh diri dan melabeli perbuatannya dengan jihad. Itu disebabkan dengan belajar yang tidak tadarruj, kalaupun belajarnya tadarruj, maka ia tidak berguru dan memahami persoalan agama dengan benar.
Semoga kita dilindungi dari hal yang demikian.
Wallahu a’lam.