Ada banyak pertanyaan yang masuk tentang berapa banyak buku yang saya bisa habiskan dalam sehari. Ada pertanyaan dari kawan, junior, senior, dan lain-lain yang melayang di Whatsapp maupun Facebook. Mungkin pertanyaan itu timbul karena kalau saya membahas sesuatu, selalu mengikutkan judul buku tertentu atau ada yang pernah lihat perpustakaan mungil saya di rumah lalu muncul pertanyaan “Buku itu sudah kamu baca semua?”. Berhubung pertanyaan yang lahir itu sama, saya pikir membuat sebuah tulisan khusus untuk menjawab itu perlu karena menyingkat waktu.
Sejujurnya, sejak SMA, pertanyaan ini tidak pernah saya jawab sesuai tuntutan pertanyaan “berapa” alias kuantitas tertentu. Sebab, dalam membaca saya tidak perhitungan, harus baca sekian dan harus habis sekian. Hari ini, pikiran yang berkutat pada kuantitas itu saya jauhi.
Saya pernah melalui masa menghabiskan buku berdasarkan kuantitas. Itu berangkat dari motivasi yang selalu datang bahwa si A bisa menghabiskan buku sekian dalam sehari. Setelah itu, dia menjadi orang hebat. Nahasnya, yang saya tangkap dari cerita itu: Baca buku dalam jumlah tertentu = bisa menjadi orang hebat. Padahal, ada beberapa buku tebal yang kalaupun dibaca sampai lima puluh kali, tidak akan bisa membentuk pola pikir. Yang ada, hanya mengaduk-aduk perasaan saja. Dan benar saja, saya membaca seperti orang buta plus dibayang-bayangi oleh rasa jenuh. Kenapa? Yang saya kejar hanya kuantitas, bukan sesuatu yang terkandung dalam tulisan; makna yang lebih substansial.
Berangkat dari pengalaman pahit ini, ada beberapa yang saya perbaiki melalui refleksi rutinan. Apa iya orang harus menghabiskan satu buku dalam sehari? Kalau tidak, kenapa orang sehebat Imam Nawawi, Imam Suyuthi, dan lain sebagainya menghabiskan banyak buku dalam sehari? Bahkan, diriwayatkan kalau Imam Nawawi kadang membaca satu buku dengan ratusan kali pengulangan. Maksud saya, apakah sejak awal mereka punya target baca buku atau sesuatu yang lain? Ini adalah pertanyaan besar untuk seorang Said yang masih kelas 2 SMA waktu itu.
Dalam satu tahun lebih, hati saya diliputi oleh keraguan. “Jangan-jangan kisah yang saya dengar itu hanya bualan atau bentuk kekaguman semata sampai ada unsur pengkultusan?” Tanya saya dalam hati setiap dengar kisah ulama dan orang hebat lainnya. Saat keraguan saya sudah sampai di puncak, tidak ada mendung, tidak ada angin, teman saya memperkenalkan saya dengan seorang tokoh yang bernama Agus Setiawan. Dia menulis buku yang berjudul Baca Kilat. Sebelum saya membaca bukunya, saya diberitahu oleh teman kalau orang ini memperkenalkan sebuah teknik, bagaimana kita bisa menghabiskan buku dalam waktu singkat.
Saya yang waktu itu diliputi keraguan tentang isu khataman buku, penasaran. “Apa yang diinginkan orang ini dan apa isi tekniknya?”. Saya banyak menyimak videonya di Youtube waktu itu. Waktu itu juga, sebelum saya membaca habis buku Baca Kilat for Students yang ditulis oleh Agus Setiawan sendiri, saya sudah punya tujuan jelas dalam membaca, yakni ingin tahu bagaimana dia menyajikan teori baca kilatnya itu.
Menurut saya, teorinya menarik. Karena dia menjelaskan bagaimana reaksi otak dan kesadaran kita saat membaca melalui perspektif neurosains. Walaupun demikian, saya meninggalkan teori yang dia bawakan karena tidak cocok dengan diri saya yang suka bergelut dengan buku turats yang butuh analisa.
Akan tetapi, ada yang ingin saya garisbawahi, bahwa terlepas saya memegang atau meninggalkan teori baca kilat itu, dia menyampaikan bahwa memiliki tujuan dalam membaca itu penting. Sebab, kalau tidak punya tujuan, ya sama saja dengan orang buta yang berjalan ke sana kemari. Ujung-ujungnya jenuh dan tidak kesampaian tujuannya; membaca buku sebagaimana mestinya. Kualitas pengetahuan yang didapatkan juga, meragukan.
Menurut saya, apa yang disampaikan Agus Setiawan itu penting. Sebab, mindset tepat dalam membaca adalah ingin tahu dan memiliki tujuan. Kenapa kita membaca buku itu? Kalau kita tidak membaca semuanya, kenapa? Apakah semuanya harus kita habiskan? Tidak ada urusan dengan jumlah atau kuantitas tertentu yang kita baca.
Kenapa memiliki tujuan? Selain agar terhindar dari sikap orang buta dalam mencari mercusuar, kita juga memiliki perbuatan yang statusnya akibat. Akibat butuh kepada sebab. Salah satu sebab dari empat yang berlaku bagi manusia adalah sebab dengan adanya tujuan. Ini sebagaimana dikemukakan Aristoteles dalam Organon.
Salah satu gambaran yang cocok untuk ini adalah ketika kita pergi ke sebuah toko. Tapi, kita tidak memiliki tujuan mau beli apa. Kalaupun kita memutuskan pergi ke toko, maka kita hanya melihat-lihat saja. Tidak ada eksekusi lebih lanjut. Kapan kita membeli? Saat kita sudah merencanakan (punya tujuan jelas) baik sebelum datang ke toko atau setelah melihat barang itu langsung. Begitu juga membaca, kalau kita tidak punya tujuan, kita hanya mengeja dan tidak tahu apa yang mau kita ambil dari buku itu. Inilah yang disebut dengan sebab dengan tujuan (‘illah bi al-ghȃyah). Ini juga bagian yang menjawab keraguan saya di awal. Sebab, selain porsi bacaan yang begitu banyak dibutuhkan oleh para ulama dan orang hebat, mereka sudah memiliki mindset yang tertata rapi ketika membaca.
Saya pribadi, sanggup membaca dua sampai tiga buku dalam sehari. Ini jika buku tersebut hanya berupa cerita ringan dan tebalnya sekitar 230-an halaman. Kalau menjelang ujian, saya bisa menghabiskan tiga diktat, tapi dengan catatan, itu bukan pertama kalinya saya membaca diktat yang bersangkutan. Mungkin baca yang keempat atau kelima. Juga, saya pernah membawakan bimbel satu diktat habis dalam sehari, mulai dari pukul sembilan pagi sampai pukul delapan malam. Tapi, lagi-lagi itu bukan baca yang pertama. Saya sudah habiskan sebelumnya berkali-kali, saya hanya baca ulang. Kalau baca yang pertama, biasanya saya banyak menyicil. Karena butuh analisa yang serius.
Beda cerita kalau saya penasaran atau hanya ingin tahu. Dalam satu malam, saya penasaran tentang masalah kewanitaan dari perspektif fikih, sosial, dan lain sebagainya. Kemudian, dilapisi oleh masalah pernikahan, bagaimana syariat melihat itu. Ini adalah hal yang selalu membuat saya susah tidur; penasaran dan bertengkar dengan pikiran sendiri. Karena saya sudah dibuat stuck oleh pikiran sendiri sekitar 40 menit di kamar, akhirnya saya memutuskan untuk membaca salah satu ulama wanita kebangsaan Mesir; Dr. Majdah Amir. Bukunya cukup tebal dan membahas seputar kewanitaan. Karena saya penasaran dan punya banyak pertanyaan, akhirnya saya “dihipnotis” oleh buku itu. Dari pukul satu malam hingga lima subuh, saya menghabiskan 200-an halaman lebih atau seperempat buku itu. Saya cukupkan sampai di situ saja, karena saya rasa apa yang saya cari, sudah saya temukan.
Adapun kalau saya meneliti atau membuat sebuah tulisan berat, biasanya porsi yang saya butuhkan dari masing-masing buku hanyalah satu bab atau satu sub-bab saja. Misalnya, dalam membahas masalah sifat qudrah. Saya hanya mengumpulkan kitab-kitab mazhab Ahlussunnah yang cukup krusial dan penting untuk dijadikan sebagai sampel data. Yang saya baca dari masing-masing kitab itu, hanya bagian yang membahas masalah qudrah. Bukan malah menghabiskan semuanya. Tapi kuantitas buku yang saya pakai kadang sepuluh atau lima belas-an. Pokoknya, sebisa mungkin bacaan yang saya kumpulkan itu hanya sebatas sifat qudrah dan yang berkaitan dengan itu. Tidak lebih. Ini agar tujuan bacaan itu jelas dan memiliki stuktur yang tertib.
Beda lagi kalau meneliti sebuah sejarah. Salah satu pengalaman saya meneliti sejarah adalah saat saya meneliti sejarah ilmu mantik. Saya butuh waktu untuk melacak buku-buku yang bersangkutan selama beberapa bulan di Mesir. Setelah itu merangkai puzzle dari ilmu mantik sejak era Hellenisme, tepatnya abad ke-6 SM sampai masa sekarang. Saya mengumpulkan sekitar 40-an buku fisik, ditambah buku-buku dalam format PDF, keterangan para ahli, dan hasil penelitian lainnya. Tapi, tidak ada dari buku itu yang saya tamatkan. Saya hanya mengambil bagian-bagian yang perlu saja. Karena tujuan saya dalam membaca buku-buku yang bersangkutan sejak awal adalah melacak sejarah ilmu mantik dari masa ke masa. Adapun bagaimana perkembangan pembahasannya, saya berikan wadah khusus untuk itu dan cara mengekstraksi plus mengolah datanya berbeda.
Ulama-ulama kita dalam membaca, saya yakin mereka punya tujuan yang jelas dalam membaca. Orang sekelas Imam Al-Muzani, membaca lima ratus kali buku Al-Risalah karya Imam Al-Syafi’i. Imam Nawawi membaca empat ratus kali Al-Wasith karya Imam Al-Ghazali. Begitu juga Imam Al-Sakakini dan lain-lain. Selain ingin mendapatkan faidah yang terselip di balik deretan huruf kitab tersebut, pasti ingin meyakinkan diri. Apa iya, yang sudah dibaca itu benar-benar sudah dikuasai? Atau masih ada bagian yang terlewat, sehingga nazhar ulama yang sama mazhab itu tidak dibaca secara sempurna dan harus dibaca ulang?
Saya juga pernah membuat satu tulisan khusus tentang apakah iya semua buku harus ditamatkan? Secara singkat, saya menjawabnya tidak. Sebab, yang namanya buku itu bukan hanya tentang tulisan yang mengandung muatan makna yang sama. Tidak. Buku itu ada yang memiliki muatan makna yang berat. Seperti karya ilmiah dan tulisan yang bersifat hukum. Karena tulisan seperti ini sudah dirancang dengan diksi dengan batasan makna yang jelas. Ada juga tulisan yang muatan maknanya ringan sehingga kita tidak butuh waktu lama dalam membaca, seperti sastra, cerita, dan novel. Juga, konsekuensi yang dihasilkan dari bacaan itu beda-beda kepada pembaca. Ada yang hanya membuat kita sekadar tahu cerita. Ada juga bacaan yang membentuk pola pikir kita. Ini seperti buku self-improvement atau buku seputar logika, filsafat, dan buku yang bercorak rasional.
Beberapa kawan yang sudah menjadi kandidat doktor di Indonesia juga punya banyak buku. Ada bahkan sampai punya 5000-an buku di rak pribadinya. Tapi, dalam beberapa diskusi, mereka selalu bilang kalau mereka baca bagian yang mereka butuhkan saja. Bukan semuanya. Sebab, selain merusak kualitas bacaan, juga membuang waktu. Memang, kita mendapatkan pengetahuan. Tapi, jika kita merasa tidak butuh dan memaksa diri untuk membaca, itu tidak baik untuk mutu pengetahuan yang kita tangkap. Sebagai bukti, apakah pelajaran yang kita tidak sukai saat SD itu bertahan dengan kokoh hari ini atau malahan sisa nama mata pelajarannya yang tersisa? Beda halnya jika hal-hal yang kita sukai, jangankan hanya nama, tapi sampai hal-hal mendetail juga kita masih bisa ingat.
Saya masih ingat sewaktu barusan tamat SMA, saya bilang ke almarhum paman saya (kebetulan kebetulan beliau seorang kiyai) kalau saya ingin menamatkan buku Imam Nawawi yang bertajuk Al-Majmu’ fi Syarh Al-Muhadzzab. Buku itu tebalnya 25 jilid. Apa kata beliau? Alih-alih mempersilakan, malahan menasihati saya kalau membaca itu harus selektif. Jangan asal baca. Selain umur manusia yang singkat, ilmu dan pengetahuan yang seharusnya kita prioritaskan itu bisa saja tidak kita dapatkan. Makanya ulama Al-Azhar sampai menyusun metode belajar agar hal-hal yang seharusnya prioritas itu bisa kita dapatkan.
Jadi, bisa disimpulkan kalau saya membaca, saya tidak perhitungan terkait kuantitas buku yang saya baca. Yang ada, selama saya penasaran, ingin tahu, punya alasan yang jelas dalam membaca, pasti saya mencari buku yang bersangkutan lalu melahap judul yang saya maksud, tanpa peduli seberapa tebal. Juga, kualitas bacaan dan kondisi psikologis diri sangat saya perhatikan dalam membaca. Karena ini pengaruhnya sampai kepada mutu pengetahuan yang kita tangkap. Tentang bagaimana saya penasaran, mungkin akan saya ceritakan pada tulisan lain secara khusus. Semoga ada waktu untuk itu.
Memilah Buku dan Sebelum Membaca
Saya selalu kasi tahu beberapa kawan yang minta saran, sebelum beli buku, coba perhatikan elemen penting selain isi dan judul. Misalnya, penulis. Kalau tidak kenal, coba cari biografinya dulu. Karena latar belakang penulis akan berpengaruh dengan pemikiran penulis. Dan pemikiran itulah yang mempengaruhi tulisan yang akan kita baca. Perhatikan cetakan. Apakah percetakan itu berasal dari penerbit yang kredibel? Karena penulis yang jujur bisa dirusak karyanya oleh percetakan yang tidak jujur. Kalau misalnya ada tahqiq apakah muhaqqiq-nya merupakan orang yang terpercaya? Karena pemalsuan itu bisa terjadi karena muhaqqiq yang bersangkutan tidak jujur dalam memasukkan manuskrip dan tidak objektif. Ini unsur paling pertama.
Setelah itu, baca sinopsis buku. Sinopsis ini biasanya ada di cover belakang buku. Tapi, tidak semua buku punya. Khususnya kitab turats, jarang yang punya sinopsis. Karena cara kita tahu gambaran buku itu, melalui review dari ilmuwan atau ulama lain. Setelah itu, perhatikan kata pengantar dan daftar isi. Agar kerangka umum dari buku itu bisa kita tangkap. Kalau karya ilmiah seperti skripsi, tesis, atau diserasi, biasanya memiliki abstraksi. Ini adalah lembaran yang memiliki nilai jual kepada pembaca dengan membeberkan kerangka umum penelitiannya. Di sini, pembaca bisa memutuskan apakah ingin lanjut membaca atau tidak.
Saya sendiri tidak melewatkan untuk membaca daftar pustaka. Walaupun daftar pustaka itu bukan isi buku secara substansial, tapi dari sana kita bisa lihat sumber dan bacaan yang digunakan penulis dalam merampungkan karyanya. Salah satu contoh imajiner yang saya bisa datangkan, anggaplah ada buku yang mengkritik pemikiran Ibnu Sina. Tapi, ketika kita melihat daftar pustaka, isinya hanya buku orang yang mengkritik pemikiran Ibnu Sina. Buku yang langsung dari Ibnu Sina tidak ada. Itu sama saja mengambil perspektif orang tentang Ibnu Sina, tanpa melihat Ibnu Sina sendiri sebagaimana mestinya. Jadi itulah kenapa saya sendiri membaca habis daftar pustaka sebelum membeli sebuah buku. Ketika saya sudah melewati tahap ini ketika berada di perpustakaan, isi buku itu sudah bisa kita raba.
Kecuali jika yang menulis buku tanpa daftar pustaka adalah tokoh yang terpercaya hidup di zamannya, maka saya juga tidak banyak pikir untuk mengambil buku itu. Misalnya, Syekh Ali Jum’ah. Beliau menulis buku yang berjudul Wa Qȃla Al-Imȃm. Buku tersebut berisi tentang pemikiran-pemikiran Syekh Ali Jum’ah tentang beberapa masalah dan tidak menggunakan daftar isi. Akan tetapi, karena beliau merupakan seorang ulama yang sudah dipercaya, saya tidak banyak tanya untuk mengambil bukunya.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan falsafah saya sendiri dalam menjalani hidup: “Lakukan sebagaimana mestinya, sesuai dengan porsinya”. Walaupun singkat, tapi mencakup banyak hal dalam kehidupan yang serba relatif dan mengasah kebijaksanaan, termasuk dalam membaca buku ini. Untuk buku yang perlu ditamatkan, ya ditamatkan. Kalau buku yang fungsinya sebagai bahan muthala’ah, perlakukan sebagai bahan muthala’ah. Jangan ditamatkan (kecuali ada tugas untuk meneliti pemikiran penulisnya). Kalau belum bisa bedakan, di sinilah perannya para ahli untuk menjelaskan peranan buku dalam masing-masing keilmuan yang ditekuni dan ahli ini perlu kita tanyai. Yang paling penting, aturlah waktu sesuai dengan keadaan yang pas bagi diri dan milikilah disiplin versi terbaik kita masing-masing.
Wallahu a’lam


