Belakangan saya berdiskusi dengan banyak kalangan. Tak jarang ada yang melontarkan statemen dan pertanyaan berat. Ada kadang yang butuh ditinjau ulang, tapi di saat yang sama tuntutan jawaban itu ada di waktu yang sempit. Ini seperti dilema. Cepat dijawab, tidak akan bermuara kepada kebenaran. Lambat dijawab, tidak sesuai tuntutan jawaban. Padahal, cepat atau lambat tidak menentukan kebenaran dan ketepatan jawaban itu sendiri.
Di antara contoh statemen itu “Benarkah ilmu kalam lebih hebat daripada filsafat?” atau “ibadah tanpa ilmu akan tertolak” dan lain sebagainya. Kalau kita melihat lebih jeli, kata-kata itu menjadi “kunci” dari jawaban yang akan muncul. Kata “hebat” di sana, sangat menentukan titik perbandingan antara ilmu kalam dan filsafat. Juga, dia akan membutuhkan sudut pandang tertentu untuk memperinci sisi lebih detailnya, kita akan membandingkan kehebatan keduanya dari segi apa? Dengan begini, jawaban yang lahir akan spesifik dan tepat juga. Ini karena melihat kata kunci itu lagi.
Begitu juga dengan kata “ilmu”. Apakah maksudnya di sana adalah orang yang sudah belajar sampai menggapai status “berilmu”? Jika iya, maka akan ada konsekuensi bahwa orang yang tidak pernah belajar apalagi sampai status berilmu itu akan tertolak ibadahnya. Apakah dimaksud dengan “ilmu” di sana adalah berwawasan luas? Jika iya, berarti orang yang sempit wawasannya walau memenuhi syarat dan rukun suatu ibadah, akan tertolak. Sebab tidak berilmu (berwawasan luas). Apakah seperti ini yang dikehendaki? Jawabannya jelas tidak. Tapi, percaya atau tidak, statemen yang mengandung kata kunci seperti ini kerap muncul di tengah masyarakat tanpa adanya penjelasan secara detail, sehingga jawaban yang lahir juga akan serampangan.
Misalnya lagi, “benarkah pacaran itu haram?” lagi-lagi ada kata kunci “pacaran”. Sebenarnya, apa maksud dari kata “pacaran” ini? Apakah sebuah aktivitas setelah menikah? Aktivitas khusus? Atau apa? Lagi-lagi kata kunci ini akan menentukan konsekuensi hukum dari pacaran itu. Tapi, realita yang saya saksikan, ada saja yang langsung menjawab haram tanpa mengetahui maksud dari kata kunci itu. Di sisi lain ada yang membolehkan begitu saja tanpa memperhatikan apa yang dimaksud dengan kata kunci ini. Akhirnya? Dua orang yang berbeda ini tidak ketemu diskusinya gara-gara kata kunci yang masih buram.
Di sini saya ingin mengutarakan alasan ulama mantik menaruh bab definisi sebelum bab proposisi. Sebab, sebuah pernyataan atau pertanyaan mengandung kata kunci. Kata kunci ini diperjelas sejelas-jelasnya dalam bab definisi. Kenapa ini musti diperjelas, bukankah semua orang di negara kita paham bahasa Indonesia? Bukankah semua orang di negara Republik Indonesia ini paham makna “pacaran”? Iya, benar. Mereka paham. Tapi, yang namanya sebuah kata, pasti menunjuk kepada sebuah makna. Sekali lagi, makna. Yang menjadi inti dari kata kunci itu adalah makna apa yang dia inginkan. Sebab, ada sebuah kata yang bentuknya sama persis, tapi maknanya berbeda. Contohnya: “Bulan ini saya ingin makan enak”. Coba bandingkan dengan “Sepertinya cewek itu lagi datang bulan”. Apakah kata “bulan” di sini memiliki makna yang sama? Tidak! Sekalipun keduanya diucapkan oleh rakyat Republik Indonesia yang paham bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Kenapa ulama mantik meletakkan bab proposisi setelah bab definisi? Seperti yang ada di atas, kejelasan sebuah ungkapan akan sangat bergantung kepada kejelasan kata kunci. Tanpa kata kunci yang jelas, tidak ada yang bisa diambil dari ungkapan itu. Juga, kita tidak bisa menguraikan dengan jelas jika sejak awal kita tidak mendefinisikan dengan komprehensif dan lugas.
Sekali lagi, kata kunci ini akan sangat penting karena akan mempengaruhi penghukuman dan kesimpulan yang akan datang selanjutnya. Ini seperti yang disebutkan dalam sebuah kaidah:
الحكم عن الشيء فرع عن تصوره
“Penghukuman kita terhadap sesuatu, tergantung konsep seperti apa yang dibangun”.
Konsep atau apa yang kita pahami dari kata kunci itu, sekali lagi akan sangat berpengaruh. Contohnya saja, Imam Malik Ra. Ketika ditanya hukum mengonsumsi “anjing laut”. Beliau menjawab haram. Kenapa? Karena yang beliau pahami dari kata kunci “anjing laut” ini adalah anjing yang berada di pesisir pantai. Padahal, ada sebuah kaidah umum bahwa semua hewan laut itu halal. Makanya mazhab lain menghukumi boleh, sebab yang mereka pahami dari kata kunci “anjing laut” adalah anjing laut sebagaimana yang kita pahami (asalnya memang di laut). Lagi-lagi ini masalah kata kunci.
Dalam ilmu adab al-bahts wa al-munâzharah, ada sebuah tindakan di mana salah satu mitra debat meminta penjelasan dari lawan debatnya untuk memperjelas kata kunci yang dia pakai. Ini disebut dengan istifsâr. Kenapa ini perlu? Supaya kita tetap berada dalam kebenaran, terhindar dari bermain kata-kata.
Saya bisa memberikan Anda contoh simulasi berhadapan dengan kaum sofis yang terkenal dengan sikap culasnya dalam berdebat; mempermainkan kata-kata. Anggaplah saya bagian dari kaum sofis berkata kepada Anda: “Bagi saya, pergaulan itu baik! Walau orang berkata bahwa itu buruk. Orang berkata gara-gara pergaulan banyak orang yang rusak! Padahal, saya bergaul tapi mendapatkan relasi dan pertemanan yang luas. Mereka itu berbohong”. Jika Anda tidak memperjelas kata kunci “pergaulan” yang ada di sana dan memilih langsung menanggapi saja, maka Anda terjebak dalam argumen retoris yang saya bangun.
Di mana letak kelirunya? Coba perhatikan baik-baik, ketika saya membela apa yang disebut dengan “pergaulan” itu, maknanya positif, yakni bersosial. Sedangkan kata “pergaulan” yang ditentang banyak orang adalah pergaulan dalam makna yang negatif; pergaulan bebas tanpa batas. Tapi, apa yang saya lakukan pada kata kunci ini? Saya membuatnya seolah-olah sama, lalu menentang orang lain dengan kata kunci yang memiliki hakikat yang berbeda. Dengan kata lain begini, saya menyalahkan penentangan orang lain terhadap “pergaulan” (yang mereka pahami dengan makna negatif) dengan kata kunci “pergaulan” (yang saya pahami dengan makna yang positif). Ini jelas berbeda, sebab makna yang saya tuju dan orang lain tuju itu berbeda. Sebab, dalam perdebatan atau percakapan apapun itu, yang paling penting adalah “makna”. Sekali lagi, makna!
Saya ingin menekankan begini, ketika mendapatkan kata kunci atau titik krusial dalam sebuah pernyataan, tanyakan dulu apa yang dimaksud oleh lawan bicara kita. Jangan langsung serempet-serempet jawab A, B, C, atau apa tapi tidak tepat sasaran. Saya sendiri perhatikan percakapan di tengah masyarakat luas, kerap dengan langsung menjawab, tidak mempertanyakan kata kunci yang ada dalam pernyataan itu. Juga, bagi para pelontar statemen dan penanya, jika merasa ada kata kunci dalam kalimat yang akan kita lontarkan kepada orang, perjelas dulu apa maksud Anda dan makna seperti apa yang Anda ingin tuju. Agar diskusi itu mengalir dengan elegan.
Wallahu a’lam.