Pada saat peristiwa Fath Al-Makkah, Rasulullah Saw. meminta kunci Kakbah dan meminta Para Sahabat membersihkan berhala-berhala yang berada di sekitar dan di dalam Kakbah. Rasulullah Saw. pun melaksanakan salat sunnah di dalam Kakbah. Setelah selesai, Rasulullah Saw pun bertanya, “Di mana Usman bin Thalhah?” Ketika itu Usman bin Thalhah adalah pemegang kunci Kakbah dan belum masuk Islam.
Sebagaimana yang dikutip oleh Imam Tahir Ibnu Asyur dalam Al-Tahrîr wa Al-Tanwîr, ketika Usman bin Thalhah dan sepupunya Syaibah datang, Rasulullah Saw. menyerahkan kembali kunci Kakbah kepada keduanya dan membaca firman Allah Swt.
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها (سورة النساء : ١٤٨)
“Sesungguhnya Allah Swt. memerintahkanmu untuk menunaikan amanat kepada pemiliknya…” (Q.S. Al-Nisa : 138)
Sayyidina Umar bin Khattab Ra. berkomentar, “Saya belum pernah mendengar ayat ini sebelumnya.” Rasulullah Saw. bersabda kepada Usman bin Thalhah Ra.
خذوها خالدة تالدة لا ينزعها منكم إلا ظالم
“Ambillah kembali kunci ini (untukmu dan keturunanmu) selama-lamanya dan sepanjang masa, tidak ada yang merebutnya dari kalian kecuali orang zalim” (H.R. Ibnu ‘Adiy: 244).
Sampai pada hari ini, keturunan Syaibah masih bertugas untuk merawat Kakbah dan memegang kunci Kakbah. Tugas ini diistilahkan dengan Sadânah Al-Ka’bah. Peristiwa penyerahan kunci ini kelak menjadi salah satu contoh yang dihadirkan oleh para ahli ushul fikih dalam pembahasan ikhtishâsh al-hukm (terkhususnya hukum). Yang dimaksud dengan ikhtishâsh al-hukm adalah apabila hukum terkhusus untuk orang, kelompok, tempat, dan waktu tertentu, maka wajib mematuhi kekhususan tersebut dan tidak boleh memberlakukannya secara umum.
Basic Rule Syariat Islam
Rasulullah Saw. diutus kepada segenap umat manusia dengan membawa syariat Islam. Salah satu misi utama syariat adalah merealisasikan kemaslahatan dan mencegah mafsadat. Tentu saja terwujudnya kemaslahatan dan tercegahnya mafsadat itu tidak ditujukan kepada Allah, karena Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya sehingga tidak membutuhkan apapun. Tujuan syariat tersebut dimaksudkan kepada makhluk-Nya secara umum dan kepada umat manusia secara khusus. Dengan pemahaman dan pengamalan syariat secara benar, semua mukallaf akan menuai kemaslahatan juga terhindar dari mafsadat.
Imam Al-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menerangkan bahwa di antara tujuan Allah menetapkan syariat yaitu agar mukallaf masuk dalam cakupan hukum syarak, sehingga dia bisa mengamalkan hukum tersebut. Dalam pembahasan ini terdapat kaidah:
الشريعة بحسب المكلفين كلية عامة
Syariat berdasarkan mukallaf bersifat universal dan umum.
Berdasarkan hal tersebut, pada pembahasan kesembilan dalam bab Dalil-Dalil Syarak, Imam Al-Syatibi mengatakan:
كل دليل شرعي يمكن أخذه كليا سواء أكان كليا أو جزئيا إلا ما خصه الدليل
Semua dalil syarak bisa diterapkan secara universal, baik dalil itu bersifat universal atau bersifat parsial, kecuali ada suatu hal yang dikhususkan oleh dalil.
Kita memahami bahwa terwujudnya kemaslahatan dan tercegahnya mafsadat merupakan hak bagi setiap mukallaf. Demi tercapainya tujuan tersebut, syariat pada dasarnya menempatkan mukallaf pada posisi yang sama dalam pengamalan hukum. Artinya, tidak ada hukum yang ditujukan secara khusus kepada orang atau kelompok tertentu saja. Tidak ada hukum yang berlaku untuk kalangan ulama saja, tidak ada pula hukum yang berlaku khusus untuk kalangan awam. Semua pihak dianggap sama dalam pandangan syariat. Oleh demikian, pernyataan ini selaras dengan berbagai firman Allah Swt. yang menjelaskan bahwa syariat Islam ditujukan untuk semua manusia, sebagaimana dalam ayat:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا … (سورة سبإ : ٢٨)
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,” (Q.S. Saba’ : 28)
Umum dan Khusus dalam Hukum Syarak
Syariat Islam sebagai penyempurna syariat para nabi sebelumnya, dikehendaki oleh Allah Swt. sebagai syariat untuk seluruh umat manusia tanpa batasan suku, kaum, golongan, waktu, dan tempat tertentu. Allah Swt. sebagai Tuhan Yang Maha Bijaksana menjadikan syariat Islam sejalan dengan nalar manusia juga selaras dengan fitrah alaminya. Olehnya, Allah Swt. memerhatikan berbagai aspek dalam proses legislasi hukum Islam pada masa kenabian Rasulullah Saw. sebagai masa permulaan dan pemantapan syariat.
Allah Swt. memerhatikan syariat Islam bahkan sejak awal mula amanat kenabian diberikan kepada Nabi Muhammad Saw., di mana orang-orang yang menerima dan memeluk Islam baik di Mekah ataupun Madinah adalah bagian dari masyarakat Arab Jahiliyah. Allah menghendaki bahwa dengan kondisi masyarakat yang baru masuk Islam, diperlukan pendekatan khusus agar syariat Islam diterima sepenuh hati dan orang-orang berpindah dari satu kebiasaan menuju kebiasaan yang jauh lebih baik. Olehnya, kita mengenal istilah al-tadarruj fī al-tasyrî’ (tahapan proses legislasi hukum Islam) dengan memerhatikan kondisi sosial masyarakat.
Di antara bentuk perhatian Allah Swt. yang lain adalah adanya perhatian Allah terhadap Rasulullah Saw. sebagai pembawa risalah ilahiah. Sebagai satu-satunya orang yang memiliki sulthah al-tasyrī’ (otoritas legislasi hukum Islam), Allah Swt. menghendaki adanya beberapa hukum yang hanya dikhususkan kepada Rasulullah Saw. saja tanpa ditujukan kepada umat Beliau. Hukum kategori ini disebut sebagai khushushiyyât al-rasūl.
Rasulullah Saw. dengan peran mulianya dalam mengajarkan syariat Islam memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Beliau merupakan utusan Allah, hakim bagi pihak yang berperkara, pemimpin kaum muslimin, mufti dalam aspek kehidupan beragama. Hal ini menjadikan kita perlu memahami karakteristik dan status Rasulullah Saw. ketika menyampaikan suatu hadis atau melakukan suatu amalan, sehingga penerapan hukum menjadi tepat sasaran.
Melalui ulasan tersebut, kita memahami bahwa meskipun syariat Islam asalnya ditujukan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali, terdapat pula beberapa hukum yang hanya berlaku pada orang atau keadaan tertentu. Kita pun mendapati umum dan khusus dalam hukum syarak. Kategorisasi seperti ini tentu memiliki latar belakang dan landasan, sehingga untuk mengetahuinya tidak ada cara lain, kecuali kembali kepada ulama yang memiliki spesialisasi dalam pembahasan tersebut.
Urgensi Memahami Umum dan Khusus dalam Hukum Syarak
Teks syarak harus ditafsirkan sebagaimana mestinya, sehingga teks tersebut tetap sesuai dengan tujuan Allah Swt. dalam menetapkan syariat. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah umum dan khusus. Teks syarak yang bersifat umum harus diberlakukan secara umum, sebagaimana teks syarak yang bersifat khusus hanya diberlakukan sesuai kekhususannya.
Mengenai pembahasan ini, Prof. Dr. Mahmud Abdul Rahman, Guru Besar Usul Fikih Universitas Al-Azhar Al-Syarif, dalam kitabnya Waqâ’i’ Al-A’yân wa Al-Ahwâl menegaskan bahwa jika kita tidak memiliki perhatian terhadap umum dan khusus pada teks-teks syarak, maka setidaknya akan timbul dua resiko sebagai konsekuensinya. Pertama, mengamalkan teks bukan pada tempatnya karena klaim umum dan menafsirkannya dalam bentuk umum, padahal realitanya teks tersebut berlaku khusus. Kedua, membatalkan pengamalan terhadap teks dengan klaim kekhususan, sedangkan teks tersebut berlaku umum untuk semua mukallaf.
Tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas untuk memperluas atau mempersempit ruang lingkup teks syarak jika tidak memiliki kecakapan intelektual. Sama halnya juga tidak ada yang boleh mengkhususkan teks yang umum atau menjadikan teks umum berlaku khusus kecuali disertai dengan dalil. Oleh karenanya, kekacauan ilmiah dalam upaya memahami teks syarak lahir disebabkan bukan hanya karena ketidaktahuan semata, kekacauan ilmiah juga lahir karena adanya hawa nafsu dalam memaknai teks, sehingga muncullah pihak yang menjadikan teks umum sebagai khusus, atau mengkhususkan teks umum.
Sebagai misal, Rasulullah Saw. pernah bersabda:
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
“Kaum yang mengangkat perempuan sebagai pemimpin tidak akan pernah berhasil” (H.R. Al-Bukhari 4073)
Sebagian pemikir Islam yang berpendapat bolehnya perempuan menjadi pemimpin memberikan komentar terhadap hadis ini. Menurut mereka, hadis ini masuk dalam kategori ikhtishâsh al-hukm karena hanya berlaku untuk anak perempuan raja Persia di masa itu, sehingga hadis ini hanyalah terkait dengan perkara insidental. Maka, perempuan lainnya boleh menjadi pemimpin. Akan tetapi, mereka yang berpendapat demikian melupakan kaidah ushul fikih sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Al-Subki dalam Jam’u Al-Jawâmi’:
النكرة في سياق النفي للعموم
Nakirah (indefinite) dalam kalimat negatif menunjukkan umum.
Kata imra`ah (امرأة) dalam hadis di atas harus diberlakukan umum karena berada terdapat pada kalimat negatif dalam bentuk nakirah. Selain itu, tidak ditemukan pula dalil yang menunjukkan bahwa hadis ini hanya terkhusus untuk anak perempuan Raja Persia saja. Tentu saja kesalahan pengambilan hukum seperti ini bisa terjadi karena tidak adanya perhatian terhadap kaidah-kaidah umum dan khusus pada teks-teks syarak.
Epilog
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa ijtihad sebagai puncak derajat keilmuan hanya ditujukan bagi para ulama yang memiliki keahlian. Selayaknya dan seharusnya kita menjaga kesakralan dan keagungan ijtihad dengan cara menutup kesempatan bagi para pengikut hawa nafsu untuk berijtihad. Ijtihad tidak dibuka bagi semua kalangan, meskipun dia telah meraih gelar spesialisasi di berbagai bidang kecuali bidang keagamaan, terlebih lagi bagi mereka yang tidak memahami umum dan khusus dalam hukum syarak. Dengan demikian, tidak ada lagi kekacuan dalam berinteraksi dengan teks-teks syarak.