Beberapa waktu lalu, ada orang menghubungi saya dengan bertanya “Bagaimana caranya menjawab pertanyaan orang ateis? Soalnya dia bertanya aneh-aneh”. Saya tanya kembali “Memangnya, apa yang dia tanyakan?”. Dia kemudian menjelaskan kalau yang dipertanyakan adalah masalah akhirat, kejahatan, keabsahan kitab suci, dan lain-lain. Katanya, orang ateis itu tidak percaya akhirat, sebab tidak ada bukti saintifik akan keberadaan akhirat. Keabsahan kitab suci juga diragukan, sebab yang membawanya dituduh bisa salah. Alam juga ada dengan sendirinya, bukan diciptakan, berdasar pada teori kekekalan energi. Mereka meminta penjelasan detail ke orang yang bersangkutan.
Kesalahan kebanyakan orang dalam berdebat dengan ateis adalah langsung menjawab pertanyaannya tanpa memeriksa landasan berpikir mitra debat dan tidak menguji keabsahan pertanyaannya. Akhirnya, mereka tidak menemukan titik terang dalam perdebatan itu. Padahal, dalam menjawab syubhat yang dibawakan orang ateis, butuh metodologi berpikir dan kerangka teori dalam menjawab. Tidak langsung dijawab begitu saja. Misalnya dalam menjawab masalah gaib, tidak segampang mengambil analogi entitas metafisik seperti ruh dan akal, lalu mereka percaya Tuhan. Sebab, ada juga dari mereka yang tergolong hard materialism. Jadi, titik tengkarnya bukan masalah akhirat dulu, tapi kebenaran metafisik.
Ada beberapa hal yang bisa kita renungkan, seperti kenyataan bahwa ulama kita sudah menjawab hal-hal yang berpotensi ditanyakan oleh orang ateis dalam kitab mereka. Akan tetapi, banyak yang menyajikan dalam pembahasan yang berat. Ditambah, literatur itu hanya bisa diakses oleh kalangan yang terbatas, seperti pelajar atau akademisi yang sanggup membelinya. Kalaupun beruang, belum tentu bisa bahasa Arab. Orang yang bisa berbahasa Arab, belum tentu menguasai ilmu ‘aqliyyat untuk mengakses pemahaman utuh penulis. Sehingga untuk sampai ke cara berpikir ulama kita hanya segelintir orang dan orang yang tidak mengetahui itu lebih banyak. Belum lagi melihat akses informasi di Indonesia yang banyak memberikan angin segar terhadap paham ateisme, dibanding pemahaman ulama Ahlussunnah. Ini yang mendorong untuk menuliskan isu ateisme ini.
Ateisme
Sederhananya, ateisme ini merupakan paham yang menolak akan keberadaan Tuhan secara tegas. Dengan kata lain, mereka mengingkari bahwa alam ini ada dengan adanya pencipta secara yakin, tanpa segan sedikit pun. Salah satu kerangka berpikir umum mereka adalah menolak adanya entitas metafisik secara mutlak, seperti ruh, nyawa, apalagi Tuhan. Orang Arab menyebut paham ini dengan sebutan al-ilhâd.
Ada juga paham yang disebut oleh orang Arab dengan al-dahriyyah. Maksudnya, mereka mengingkari adanya kebangkitan setelah kematian dan kehidupan setelahnya. Reinkarnasi juga mereka ingkari. Akan tetapi, Kamil Ahmad dalam Harakah Al-Ilhâd Al-Jadîd fi Al-Gharb, membagi dua jenis al-dahriyyah ini. Adakalanya mereka percaya Tuhan, tapi mengingkari hari kebangkitan. Ada juga dari mereka yang mengingkari keberadaan Tuhan bersamaan dengan mengingkari kebangkitan. Hanya saja, tidak selamanya yang mengingkari kebangkitan dikatakan ateis, sebab esensi dari ateisme adalah mengingkari keberadaan Tuhan secara yakin.
Ada juga paham yang sering diidentikkan dengan ateisme, yaitu agnostisisme. Jika ateisme mengingkari keberadaan Tuhan secara mutlak, agnotisisme hanya sampai pada taraf ragu, tidak seyakin ateisme. Salah satu ciri mereka adalah tidak mengingkari Tuhan, tidak juga mengafirmasi keberadaan-Nya. Ada juga yang sampai taraf mengamini bahwa Tuhan itu bisa saja ada tapi kita tidak mungkin mengetahui-Nya dan tidak ada pula bukti yang bisa menegaskan keberadaan-Nya.
Orang Arab menyebut orang-orang agnostik dengan al-lâadriyyah. Berasal dari lâ adri (maknanya: saya tidak tahu) yang menisyaratkan ketidaktahuan orang agnostik akan bukti keberadaan Tuhan, sehingga mereka ragu, apakah Tuhan ada atau tidak.
Debat
Debat akan menjadi terlarang jika tujuan awalnya sudah tidak benar, seperti hanya ingin terlihat hebat, menjatuhkan orang lain, dan berbangga-bangga semata. Karena yang seperti ini hanya akan mengotori hati, terlepas mitra debatnya adalah orang seagama atau bukan. Sedangkan jika tujuan dari berdebat ini adalah ingin menegakkan atau mencari kebenaran, jelas ini diperbolehkan, selama mematuhi aturan dan menjaga adab.
Sepanjang masa, ulama kita berdebat satu sama lain. Contoh debator legendaris adalah Imam Al-Ghazali dengan Tahâfut Al-Falâsifah dan Ibnu Rusyd dengan Tahâfut Al-Tahâfut. Kendati demikian, mereka tidak ada maksud untuk menjatuhkan, melainkan menegakkan kebenaran. Kenapa Imam Al-Ghazali mengkritik para filusuf paripatetik? Karena mereka menyampaikan pemikiran yang bertentangan dengan akidah dan jelas, persoalan akidah sudah dibuktikan secara ilmiah kebenarannya melalui karya-karya ulama silam. Tapi, apakah mereka saling menjatuhkan? Jelas tidak, walaupun ada diksi “pedas” di dalamnya. Ibnu Rusyd, ketika mengkritik Imam Al-Ghazali, beliau tetap takzim kepada Imam Al-Ghazali. Begitu juga Ibnu Sina, ketika dikritik oleh Imam Al-Ghazali, beliau tetap menghormati Ibnu Sina.
Hanya saja, banyak orang yang lalai dalam melihat syarat dan ketentuan dalam berdebat. Sehingga perdebatan yang kita lihat di layar kaca, sarat dengan perdebatan yang keruh; tidak sehat. Ulama kita sudah banyak menulis karya yang berkaitan dengan ilmu adab al-bahts wa al-munâzharah atau ilmu debat. Dalam ilmu ini, dijelaskan bahwa ada tiga jenis orang yang tidak boleh diajak berdebat. Pertama, orang bodoh. Kedua, orang yang tidak mau mencari kebenaran. Ketiga, orang yang tidak percaya kebenaran mutlak. Sebab, ketika kita berdebat dengan ketiga “ras” ini, maka kita hanya membuang waktu untuk debat kusir dan hasilnya nihil. Jadi, ketika kita ingin berdebat dengan siapapun, tak terkecuali orang ateis, pastikan bahwa dia tidak termasuk dalam ketiga kelompok itu.
Tata Cara
Ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi dalam berdebat, seperti menguasai isu yang diangkat dan menyepakati istilah. Tanpa menafikan syarat-syarat lain, seperti adanya persoalan yang menjadi objek pembahasan, sekufu dalam keilmuan, adanya moderator, mematuhi kaidah, dan lain-lain. Misalnya, muslim berdebat dengan ateis, yang paling pertama dilakukan oleh orang muslim adalah menguasai cara berpikir dan argumentasi orang ateis dalam menafikan Tuhan, lebih-lebih ilmu dalam agamanya sendiri. Sebab, jika isi argumentasinya dipenuhi dengan apriori dan “kira-kira”, itu hanya mempertontonkan ketidaktahuan kita dan kalau perkiraan kita salah, kita terjatuh dalam salah satu sesat pikir; strawman fallacy.
Imam Al-Ghazali, sebelum meluncurkan “serangan”-nya kepada filusuf paripatetik, beliau menulis kitab mantik, yang bertajuk Mi’yâr Al-‘Ilm. Beliau juga sudah banyak menguasai ilmu pada masa itu. Setelah itu, beliau memaparkan pemikiran filusuf yang akan beliau kritik dalam kitab Maqâshid Al-Falâsifah. Di pembuka kitab, beliau sudah memberikan disclaimer kalau beliau hanya memaparkan, tidak membantah isi pemikiran filusuf paripatetik. Ini menunjukkan kalau beliau benar-benar paham apa yang akan beliau kritik. Setelah dua kitab itu rampung, barulah beliau menulis kitab Tahâfut Al-Falâsifah.
Kerangka Berpikir dan Teori
Masih berkaitan dengan syarat berdebat, kedua mitra harus memiliki kesepakatan dalam istilah. Ini juga mencakup adanya tema yang berantai dalam mengafirmasi keberadaan Tuhan. Hal ini bisa kita lihat dalam isyarat kitab-kitab akidah, seperti Syarh Al-Maqâshid, Syarh Al-Mawâqif, Abkâr Al-Afkâr, dan lain-lain. Tak terkecuali dari mazhab Syi’ah, seperti Nashiruddin Al-Thusi yang juga menulis Tajrîd Al-‘Aqâ’id yang semua bagian awalnya membahas seputar filsafat epistemologi dan ontologi, alias al-‘umȗr al-‘ammah. Ini isyarat yang menunjukkan jika kita berdebat dengan orang yang tidak percaya Tuhan, selama dia masih memiliki akal sehat, masih bisa didebati jika mereka yang menyerang duluan.
Jadi, jika ada orang ateis yang mendebati kita dengan mengangkat persoalan mukjizat, maka yang pertama kita tanyakan kepada mereka, apakah mereka percaya hukum akal? Jika mereka tidak percaya masalah akhirat, apakah mereka percaya dengan kenabian? Jika tidak, apakah mereka percaya dengan Tuhan? Jika tidak, apakah mereka percaya dengan al-badahiyyât al-‘aqliyyah (Hal-hal yang niscaya kebenarannya dalam akal sehat). Jika tidak, maka kita tidak boleh berdebat dengan mereka, karena akalnya tidak baik-baik saja atau mengamini mazhab skeptisisme ala sofis. Jika iya, barulah kita bisa berdebat dengan mereka melalui pintu filsafat epistemologi dan ontologi.
Al-Badahiyyât (Hal-Hal Aksiomatik)
Kenapa kita mulai dari filsafat epistemologi dan ontologi? Karena di sana kita bisa menemukan satu muara al-badahiyyât al-fithriyyât (kebenaran niscaya bersifat natural). Kenapa kita menyasar hal-hal aksiomatik dalam berdebat? Alasannya ada empat; Pertama, hal aksiomatik ini bersifat spontan, sehingga tidak perlu dipertanyakan kebenarannya. Kedua, hal aksiomatik dapat dijadikan panduan untuk pengetahuan bersifat inderawi dan empirik. Sehingga, dengan ini, kita bisa mengetahui kebenaran melalui pancaindera dan empirik. Ketiga, hal-hal yang diafirmasi oleh badahiyyât, kebenarannya bersifat pasti dan meyakinkan. Sehingga argumentasi yang bermuara di sana, pasti tidak diragukan lagi kebenarannya. Keempat, tidak butuh pembuktian untuk kebenarannya, malahan rentetan silogisme yang seharusnya bermuara pada al-badahiyyât ini.
Al-badahiyyât, merupakan bentuk jamak dari badahi yang berarti aksioma. Apa itu aksioma? Yaitu, sesuatu yang tidak butuh penalaran (ma la yahtaju ila ta’ammul). Apa saja contoh al-badahiyyât itu? Dalam dunia ilmu logika, itu dikenal dengan tiga kaidah dasar berpikir asasi; qanȗn al-dzâtiyyât (hukum identitas), qanȗn al-‘adam al-tanâqudh (hukum non-kontradiksi), dan qanȗn tsâlits al-marfȗ’ (hukum ketiadaan kemungkinan ketiga). Ketiganya, sudah pernah saya bahas dalam salah satu tulisan. Gottfried Leibniz, Filusuf Jerman, menambahkan satu hukum yang bernama mabda’ al-‘illah al-kâfiyah (prinsip kausalitas cukup). Singkatnya, prinsip ini ingin menyatakan bahwa segala akibat, pasti memiliki sebab. Ini semuanya masuk dalam kategori al-badahiyyât al-‘aqliyyah.
Apakah al-badahiyyât ini dapat diingkari? Jelas tidak. Karena ini bagian dari kebenaran mutlak yang tidak terbantahkan. Tidak ada akal sehat yang bisa menerima keberadaan entitas kontradiktif; panas sekaligus dingin (terapan hukum non-kontradiksi), tidak akal sehat yang menolak entitas A adalah A, bukan B (terapan hukum identitas), tidak ada akal yang bisa menolak bahwa semua akibat, memiliki sebab (terapan hukum kausalitas). Kalau ada yang mengingkari ini, maka kita tidak bisa mengajaknya berdebat, karena mereka menolak kebenaran mutlak. Kenapa ada yang mengingkari ini? Kita tidak bisa membahasnya sekarang, kita memerlukan waktu untuk membuat tulisan khusus seputar asbâb al-tawajjuh di ilmu mantik.
Al-Nazhariyyât (Hal-Hal Spekulatif)
Apa itu al-nazhariyyat? Ini adalah bentuk jamak dari nazhari yang berarti spekulatif. Logikawan mendeskripsikan kalau nazhari adalah sesuatu yang butuh kepada penalaran (ma yahtaju ila ta’ammul).
Jika hal-hal aksiomatik adalah muara, apakah itu menunjukkan bahwa wasilahnya adalah yang spekulatif? Kalau tidak, kenapa banyak orang mengingkari keberadaan Tuhan? Kalau iya, apakah keberadaan Tuhan ini hanyalah spekulasi dan kira-kira saja? Jawabannya, belum tentu. Sebab, masalah aksiomatik dan spekulatif itu berbicara apakah akal butuh waktu untuk mencernanya atau tidak? Ditambah, masalah aksiomatik dan spekulatif itu sifatnya relatif pada setiap orang. Bisa saja ada sesuatu yang aksiomatik bagi saya, tapi spekulatif bagi orang lain. Ini tidak ada kaitannya dengan kekuatan kebenaran hakiki (fi nafs al-amr). Karena kebenaran hakiki itu tidak berubah, hanya kadar akal manusia sampai ke kebenaran, butuh waktu atau tidak. Inilah yang membuat konsep aksiomatik dan spekulatif itu ada.
Melalui hal-hal nazhariyyât ini, ulama kita melakukan banyak pembuktian. Deretan pembuktian ini bisa ditemukan dalam ilmu ‘aqliyyat atau ilmu-ilmu rasional. Apa saja ilmu rasional yang dimaksud? Ilmu yang dimaksud adalah ilmu logika, kategori, debat, dan ilmu kategori umum (al-‘umȗr al-‘ammah). Rentetan ilmu ini pernah saya bahas dalam satu tulisan dan semua ilmu ini harus dikuasai jika ingin berdebat dengan orang ateis.
Umumnya, dalam kitab atau buku yang membahas akidah secara komprehensif, biasanya dibuka dengan ilmu-ilmu seperti itu, agar premis-premis yang dibangun dalam bab ketuhanan (ilahiyyât), kenabian (nubuwwât), dan masalah gaib (sam’iyyât) itu tidak bisa dibantah dengan argumentasi apapun. Sebagai contoh, Syarh Al-Maqâshid itu berjumlah 5 jilid. 3 jilid pertama membahas tentang ilmu rasional. Sedangkan jilid keempat, barulah membahas tentang ketuhanan (ini merupakan bab pertama dari esensi ilmu akidah) dan jilid akhir membahas seputar kenabian dan sam’iyyât. Kenapa? Karena argumentasi yang dibangun seputar ketuhanan itu tidak lepas dari tiga jilid sebelumnya.
Bab-bab akidah juga diurutkan mulai dari ketuhanan, kenabian, dan masalah gaib. Kenapa masalah gaib diakhirkan? Karena masalah gaib ini hanya bisa dibenarkan dengan akal yang memungkinkan (tajwîz al-‘aql) dan informasinya hanya bisa didapatkan dari nash syar’i. Artinya, jika mereka sudah membenarkan Allah adalah Tuhan dan Nabi Muhammad Saw. adalah utusan-Nya, maka otomatis mereka akan membenarkan masalah gaib. Itulah kenapa di syahadat hanya butuh dua hal besar yang diamini; tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Tapi, bisa saja ada pertanyaan, bukannya masalah ketuhanan dan kenabian ini masalah gaib juga? Benar. Tapi, masalah gaib yang dimaksud pada bab sam’iyyât, bukan entitas metafisik secara mutlak. Ini bisa kita lihat dari penamaan babnya; sam’iyyât. Sam’iyyât, berasal dari kata sam’u yang berarti mendengar. Dinamakan sam’iyyât karena kita bisa mengetahui kebenarannya melalui pendengaran (riwayat). Riwayat-riwayat yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan hadis mutawatir. Seperti masalah akhirat, kiamat, jin, iblis, dan lain-lain.
Begitu juga ketika berdebat dengan orang ateis, perlu mulai dari deretan epistemologi dan ontologi dulu menuju afirmasi ketuhanan. Apa saja itu ada dan tiada? Benarkah hal yang qadîm itu bisa ada? Benarkah tasalsul dan daur itu mustahil? Benarkah semua akibat butuh dengan sebab? Lalu, bagaimana dengan yang qadîm? Apa itu ilmu? Benarkah metafisik itu ada? Dan hal-hal yang mirip dengan ini dibahas pada pembahasan epistemologi dan ontologi.
Ketika mereka sudah menerimanya, barulah kita bisa melangkah ke bagian selanjutnya, benarkah alam ini diciptakan? Jika sudah mereka benarkan bahwa ada Tuhan yang menciptakan, Tuhan yang mana? Jika dia sudah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan, maka selanjutnya apakah Allah memiliki utusan? Jika utusan-Nya ada, apakah utusannya ini berbohong? Jika dia sudah membenarkan bahwa alam ini ada karena ada Tuhan yang menciptakan, Tuhan yang dimaksud adalah Allah, utusan-Nya adalah Muhammad Saw., dan Dia tidak pernah berbohong, maka barulah kita berbicara tentang transmisi (riwâyah) Al-Qur’an dan hadis yang sampai kepada kita hari ini. Jika sudah diterima, maka barulah kita bisa membahas masalah sam’iyyât.
Tapi, ‒sekali lagi‒ perlu diingat, untuk setiap poinnya harus dibahas secara sistematis. Sebab, susunan pembahasannya itu terurut berdasarkan kebutuhannya satu sama lain (taqaddum bi al-thab’). Kita tidak bisa membahas masalah sam’iyyât jika tidak membahas seputar kenabian. Kita tidak bisa membahas masalah kenabian jika tidak membahas masalah ketuhanan. Kita tidak bisa membahas masalah ketuhanan jika premis menuju ke sana, seperti ilmu-ilmu rasional bermasalah. Tentu, membahas yang dimaksud ini ketika mitra debat yang bersangkutan sudah menerima (taslîm wa qabȗl).
Kenapa kita tidak langsung membahas masalah akhirat saja? Selain dia merupakan bagian keniscayaan dari membenarkan ketuhanan dan kenabian, tentu mereka tidak bisa menerimanya. Wong, Tuhan saja mereka tidak percaya. Kalau sejak awal sudah bermasalah, maka yang dibenahi adalah bagian awal. Ibaratnya membangun rumah, jika pondasi dan tembok belum ada, bagaimana caranya membenahi atap yang butuh kepada keberadaan pondasi dan tembok?
Sebagaimana sudah dijelaskan, bahwa ketika kita berdebat, salah satu syarat pokok yang harus dipenuhi adalah “kesepakatan”. Kalau kita sudah sepakat, mudah saja untuk maju ke pintu selanjutnya. Kalau begitu, kenapa dimulai dari epistemologi dan ontologi? Sebab, sebagai manusia, kita memiliki akal sehat dan bersepakat pada hal-hal logis. Kecuali bagi yang bermasalah akalnya. Kedua hal itu hanya bisa diterima oleh orang yang berakal sehat.
Kalau ada yang menyatakan bahwa metode ini adalah “permainan curang” karena melihat ilmu yang digunakan adalah ilmu keislaman, sebenarnya itu hanya salah paham saja. Sebab, bukan berarti ilmu itu dikodifikasi oleh tokoh Islam dan menggunakan istilah-istilah dalam Islam, otomatis itu langsung menjadi ilmu Islam yang tidak boleh dicek kebenarannya oleh kelompok lain.
Secara historis, ilmu rasional yang bersangkutan, embrionya sudah ada sebelum masuk ke dunia Islam, bahkan jauh sebelum Aristoteles menulis Organon. Justru keabsahan ajaran ilmu ini bisa diverifikasi dengan akal sehat manusia, tanpa memandang ras apapun. Orang Islam, Kristen, Ateis, Komunis, Deis, atau ras terkuat di bumi pun, bisa memverifikasinya. Contohnya saja, empat hukum berpikir di atas, itu merupakan hal yang sangat asasi dalam pembahasan ilmu akidah. Kemudian diperluas sampai ke pembahasan hukum akal, wâjib al-wujȗd, dan lain sebagainya.
Dalam perdebatan kecil saja, ketika kita mengeluarkan statemen, maka kita harus mempertanggungjawabkan dengan premis. Karena premis merupakan tiang penting dalam keutuhan klaim kita. Jika masalah akidah adalah sebuah konklusi, maka ilmu rasional adalah premisnya. Jika masalah sam’iyyât adalah konklusi, maka masalah ketuhanan dan kenabian merupakan premis. Jika premis diterima, maka konklusi otomatis diterima. Jika tidak menerima konklusi, maka yang diserang adalah premis. Karena dengan runtuhnya premis, konklusi juga otomatis runtuh. Ini juga yang menyebabkan bab-bab sebelum sam’iyyât sarat dengan pembuktian. Karena di sana banyak terjadi perdebatan.
Hal yang Perlu Dicatat
Debat, sejatinya bukan jalan pertama dalam menyiarkan agama, walaupun hari ini kita berada di tengah perang pemikiran (ghazwah al-fikr). Kapan kita berdebat dengan mereka? Saat agama kita diserang dengan deretan syubhat. Ketika kita membela agama kita dalam kondisi seperti ini, jelas tujuannya adalah menegakkan kebenaran. Juga, syubhat itu kita balas dengan dua cara; lisan atau tulisan, tanpa harus ada kekerasan dan perbuatan diskriminatif lainnya. Kita hanya perlu melakukan debat, sebagai kaum terdidik dan intelek sebagaimana mestinya. Itupun, setelah kita berdebat dengan mereka, kita tetap bermuamalah dengan baik sebagai manusia biasanya.
Akan tetapi, jika mereka tidak memproklamirkan pemikirannya, tidak juga mengajak orang lain agar menjadi ateis seperti mereka, tidak mengkritisi ajaran yang kita anut, maka kita tidak perlu mendebati. Kita hanya perlu mengamalkan nilai-nilai agama sebagai syiar dan bermuamalah dengan mereka, sebagaimana kita hidup dengan manusia lainnya. Di sinilah titik kita hidup rukun dengan orang yang tidak seagama.
Dengan mengetahui seperti apa rentetan perdebatan dengan ateis, bukan berarti kita sudah bisa membolak-balikkan keyakinan orang. Sebab, tujuan kita berdebat hanyalah menyampaikan, menjelaskan, dan tujuan substansialnya menegakkan kebenaran. Adapun ketika dia yakin akan kebenaran Islam, alhamdulillah. Kalau tidak, tugas kita dalam menjelaskan itu sudah selesai. Karena masalah kecondongan hatinya orang, bukan ranah kita. Masalah terima atau tidak, itu urusan mitra debat kita.
Adapun jika kita tidak menguasai ilmu-ilmu rasional tadi, maka kita tidak punya tanggung jawab dalam melawan mereka dalam berdebat. Sebab, kewajiban ini berlaku kepada ahlinya. Kalaupun kita mendapatkan syubhat dari orang ateis, sedangkan kita tidak memiliki kecakapan dalam ilmu rasional, maka kita harus mengadukannya kepada ahlinya. Agar ahli yang bersangkutan menjelaskan dan bisa membantai syubhat yang membuat hati ragu. Yang jelas, selama kita mencoba mendebati sementara kita cakap dalam ilmu-ilmu yang disinggung tadi, jatuhnya ke debat kusir, alih-alih sampai kepada kebenaran.
Wallahu a’lam