Saya perlu akui bahwa baik saya maupun Anda sebagai pembaca, sudah pernah melalui masa menyimpan seseorang dalam hati. Baik secara diam-diam ataupun terang-terangan. Jika dikatakan dalam cinta memiliki fase mabuk, saya juga pernah melewati masa itu. Hanya saja, saya enggan untuk berada dalam fase seperti itu secara terus-menerus. Saya melihat ada celah tertentu jika harus mabuk duluan sebelum berpikir lebih matang. Juga, cara saya dalam memandang cinta, sudah berbeda saat sebelum dan setelah belajar fikih nikah, mewawancarai orang yang sudah menikah, dan melihat realitas pernikahan yang ada. Sehingga dari perbedaan cara pandang itu, lahir juga sikap yang berbeda terhadap cinta.
Perlu saya tegaskan bahwa cinta adalah satu hal, sementara sikap terhadap cinta adalah hal yang lain. Kita tidak bisa memilih ingin jatuh cinta kepada siapa, tapi kita bisa memilih ingin pacaran, menikah, dan bertunangan dengan siapa saja. Jatuh cinta adalah aktivitas hati saat mencintai lawan jenis. Sedangkan pacaran, menikah, dan tunangan adalah sikap kita terhadap aktivitas yang terjadi dalam hati kita. Kita memiliki kebebasan dalam memilih sikap terhadap cinta. Dalam edukasi cinta, saya selalu mengajarkan titik kritis ini kepada adik saya, sehingga nanti di ujungnya ada kesimpulan bahwa cinta tidak pernah meniscayakan pacaran, menikah, dan tunangan. Jadi, wajar saja kalau ada orang yang bertemu tapi tidak untuk bersatu.
Lalu, konsekuensi apa yang bisa dilahirkan cinta? Ada dua. Ini sudah disebutkan oleh Imam Al-Bushiri dalam Qashidah Burdah bahwa cinta itu bisa saja melahirkan kebahagiaan, bisa juga rasa sakit (wa al-hubbu ya’taridhu al-ladzâti bi al-alami). Syekh Majdi ‘Asyur, Mantan Mustasyar Dar Al-Ifta’ Mesir, dalam salah satu majelis menyampaikan bahwa seseorang justru bisa sedih karena cinta, bisa juga bahagia karena cinta. Jika Anda ditinggalkan oleh orang yang Anda cintai, Anda akan merasa sedih. Jika cinta Anda diterima oleh lawan jenis yang bersangkutan, jangan ditanya bagaimana bahagianya.
Dari sisi saya sendiri, jika sudah cinta justru harus waspada. Jangan-jangan cinta ini mengantarkan kita kepada rasa sakit. Juga harus bersiap, jangan-jangan cinta ini malahan mengantarkan kita kepada suatu kebahagiaan, tapi kita tidak siap mental untuk itu. Di sini, cinta bisa saja datang sebagai penguji dalam hidup. Tapi, jika datang pada saat yang tepat, justru cinta itu bisa menjadi lentera kehidupan. Saya teringat salah satu pesan ustazah sebelum saya berangkat ke Mesir dalam grup mahasiswa baru bahwa memang benar kita bisa jatuh cinta. Tapi, jangan pernah lupa menyiapkan satu ruangan kecil dalam hati untuk menerima realita apabila tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi.
Antara Cinta dan Logika
Saya punya satu pandangan yang sudah usang, bahwa apabila sudah cinta, gaskan saja. Hari ini, justru saya sendiri yang mengkritisi pandangan lama saya. Sebagai manusia, mencintai sangat wajar. Tapi, bukan berarti sikap apapun menjadi sah atas nama cinta. Ini perlu digarisbawahi. Pandangan lama saya itu muncul karena saya belum memberikan perhatian khusus dengan sesuatu yang disebut dengan cinta. Perlu saya akui, saya tidak memiliki banyak pengalaman langsung dalam berduaan dengan wanita. Jangankan nonton berduaan, makan bareng, dan jalan berduaan, selama saya hidup, saya belum pernah merasakan duduk berduaan dengan wanita dengan maksud pacaran. Kendati demikian, hal tersebut merupakan kesyukuran tersendiri bagi saya.
Walau pengalaman dalam cinta hanya terbatas pada rasa dan interaksi yang sangat singkat, bukan berarti membuat saya terhalang dalam mempelajari cinta. Secara khusus, saya sudah mempelajari cinta secara universal di hadapan Syekh Majdi ‘Asyur. Diskusi panjang nan serius dengan kedua orang tua seputar cinta juga sudah, bahkan saya meminta bimbingan khusus kepada ibu saya terkait apa saja yang harus saya lakukan untuk membuktikan kemurnian cinta melalui jalur legal, tanpa harus pacaran. Dalam persoalan pernikahan, selain berasal dari bacaan dan majelis fikih, saya juga sudah melakukan wawancara mendalam kepada teman-teman sebaya yang sudah menikah. Tak terkecuali orang tua saya sendiri. Dalam meminta arahan, saya juga sering curhat kepada senior yang umurnya jauh di atas saya dan sudah menjalani pernikahan, ditambah saya juga melihat apakah senior ini bisa menjaga privasi saya dan bijaksana dalam memberikan arahan atau tidak.. Dari semua data ini, saya ramu menjadi satu dan menemukan satu titik kritis; menyikapi cinta itu harus logis.
Tapi, bukankah cinta tidak bisa dilogikakan? Jawabannya, iya. Yang saya maksud dengan cinta logis, bukan perasaan cinta atau suka yang muncul dalam hati. Melainkan sikap kita kepada cinta. Sebagaimana yang saya sebutkan di atas bahwa cinta itu satu hal. Sementara menyikapi cinta adalah hal yang lain. Menyikapi cinta, masih memberikan kita ruang untuk mempertimbangkan secara logis kelanjutan dari cinta yang kita rasakan.
Dari sisi agama, justru saya melihat kalau agama mengajarkan kita menyikapi cinta dengan logis. Hal itu terlihat jelas ketika kita diajarkan dalam memilih kriteria calon pasangan. Menikahi karena agamanya adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal tersebut bisa kita temukan dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)
Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dalam tafsir Mafâtih Al-Ghaib menjelaskan kalau konteks turunnya ayat ini adalah saat seorang sahabat yang bernama Martsad bin Abi Martsad ingin menikahi seorang wanita cantik, ‘Anaq kekasihnya saat masa jahiliah dahulu. ‘Anaq yang pikirannya jahiliah mengajak Martsad untuk berkhalwat. Akan tetapi, dengan iman yanng kuat atas didikan Rasulullah Saw., Martsad menolak karena hal tersebut dilarang oleh syariat. Akan tetapi, Martsad memberikan sebuah penawaran, bagaimana jika dia meminta izin saja kepada Rasulullah Saw. untuk menikahi ‘Anaq. Ketika Martsad menghadap Rasulullah Saw. dengan menceritakan kronologi yang dialami, turunlah ayat ini.
Selain itu, ada banyak ayat, hadis, bahkan pengajaran ulama yang memberikan kita arahan agar ketika memilih calon pasangan, selain melihat bagaimana sosok Fulan/ah itu, kita juga harus melihat bagaimana keluarga, dan dampak apa saja yang bisa lahir dari pernikahan jika memang kita memutuskan menikah. Ini sudah jelas memberikan arahan agar ketika kita mencintai seseorang, mempertimbangkan dengan logis bagaimana pasangan, keluarganya, dan konsekuensi menikah juga harga mati. Seandainya cinta buta plus mabuk itu diizinkan agama, kenapa agama justru memberikan koridor dan batas-batas tertentu?
Kalau bicara tentang setia, iya setia itu penting. Tapi, saya sendiri melihat kesetiaan sebagai salah satu perbuatan yang mahal, tidak bisa diberikan kepada orang secara sembarangan. Bagaimana kalau ternyata kita memberikan kesetiaan kepada orang yang salah? Ujungnya, akan menjadi bumerang bagi diri sendiri; jadi akar dari perasaan dikhianati. Jadi, memilih orang-orang yang tepat untuk menerima kesetiaan kita, tidak boleh kita nafikan urgensinya. Pada akhirnya kita akan bertemu dengan opsi untuk menempatkan kesetiaan pada tempat yang tepat.
Ada pertanyaan yang mungkin timbul, bisakah kita mencintai sesuatu yang tidak kita ketahui? Jawabannya, tidak. Sebab, syarat dari cinta dan benci adalah pengetahuan kita terhadap sesuatu. Adapaun ketika kita bertemu dengan seseorang dan merasakan ketertarikan tertentu, itu bukan cinta tapi potensi besar untuk mencintai atau biasa disebut dengan benih-benih cinta. Kalau mau disebut cinta, sebut saja sebagai cinta yang mencari kesempurnaannya.
Hal tersebut terbukti ketika kita menyukai seseorang, tapi perasaan kita berubah saat mengetahui realita dari seseorang itu. Begitu juga benci, bisa saja kita membenci sesuatu sebelum mengetahuinya, tapi malahan berubah total saat mengetahuinya. Tapi, bukankah mengenal adalah syarat cinta dan benci? Iya, benar. Yang saya maksud dengan cinta dan benci sebelum mengetahui yang dia cintai atau benci adalah cinta dan benci terhadap pikirannya sendiri tentang objek tertentu. Misalnya, kita merasa suka dengan seseorang hanya karena melihat anggun dan belum mengenalnya secara mendalam. Jika Anda mabuk, ketahuilah bahwa yang saat itu Anda cintai bukan orang tersebut, melainkan pikiran Anda tentang orang tersebut. Hal yang sama berlaku juga dalam konteks kebencian.
Agar ekspektasi yang berlebih itu dapat kita hindari dan demi kemaslahatan umum, maka dibutuhkan ta’aruf sebelum menjalani kehidupan asmara yang lebih serius; pernikahan.
Ta’aruf dan Pacaran
Dalam Islam, ketika seseorang sudah benar-benar ingin serius dengan si dia, ada beberapa prosedur yang harus dipenuhi sebelum mengambil keputusan paling besar; nikah. Di antara prosedur tersebut, apalagi kalau bukan ta’aruf dan lamaran.
Dari nama ta’aruf sendiri, isyarat tujuannya sudah jelas; saling mengenal. Karena kata ta’aruf berasal dari kata ta’ârafa yang berarti saling mengenal. Penting dijelaskan bahwa sejak awal, konsep ta’aruf dan pacaran yang lumrah dikenal, sudah beda. Jika ta’aruf memiliki batasan-batasan tertentu, seperti batas interaksi dan pembahasan, pacaran justru lebih liar dari itu. Malahan, pacaran membuka celah untuk menuju kepada zina, karena di sana ada khalwat atau berduaan. Terlepas apakah nanti benar-benar berzina atau tidak, justru poin pengharaman pacaran bukan pada apakah pacaran menjamin kepada zina, tapi karena membuka celah menuju zina, maka pacaran itu haram.
Ayat tentang larangan mendekati zina, sudah sangat populer di kalangan anak muda, apalagi influencer terkenal banyak menyuarakan ayat tersebut. Saya sendiri menolak pacaran, bukan hanya karena syariat yang tidak merestui, tapi akal sehat pun tidak menemukan titik terang. Saya memiliki satu falsafah hidup: “Setelah ini, apa?”. Ketika saya coba terapkan dalam konsep pacaran, kesimpulan yang saya temui hanya satu; pacaran hanyalah bermain semata. Hal ini diperkuat dengan data wawancara saya kepada beberapa orang yang sudah lama pacaran. Mereka sendiri bilang kalau pacaran itu hanyalah bermain tanpa ada muara yang jelas, bahkan sampai ada yang menasihati saya “Saran saya, kamu tidak usah pacaran. Kalau kamu sudah mantap (keyakinan dan pendirian), maka langsung saja lamar anaknya orang”.
Tapi, bisa saja ada pertanyaan yang timbul: “Apa alternatif selain pacaran untuk melampiaskan cinta?” jawaban singkatnya, jika memang Anda serius dan sudah siap, silahkan menikah. Pintu untuk laki-laki yang serius dan siap akan selalu dibuka oleh calon mertua. Kalau tidak siap, sebaiknya Anda fokus kepada hal-hal yang urgen saja, seperti fokus mengejar cita-cita dan belajar. Kenapa belajar? Jangan salah, saya juga pernah pertanyakan ini. Kenapa orang tua selalu berpesan “Belajarlah dulu”. Maknanaya sangat luas. Di antaranya, dengan belajar, justru kita akan semakin terlatih untuk menghadapi masalah dengan bijaksana. Dengan belajar, kita bisa mengetahui bagaimana sebenarnya dunia pernikahan tanpa harus ada tendensi tertentu seperti di film dan novel. Justru dengan perintah belajar adalah bentuk restu untuk menikah secara tidak langsung. Karena dengan belajar, wasilah menuju menikah bisa lancar.
Saya tidak pernah ragu dengan pesan orang tua dan guru saya, bahwa dengan belajar justru kita persoalan jodoh akan menjadi lancar. Sudah ada banyak bukti yang saya lihat dan itu juga terjadi pada diri saya sendiri. Mudah saja untuk berkata “ya” saat ada tawaran masuk, tapi untuk menjalani prosesnya butuh pertimbangan serius dan panjang. Saya sendiri, kalau diberikan tawaran atau perintah untuk menikah sekarang, dilihat dulu. Apakah orang tua bisa menjamin kesejehteraan saya dalam belajar atau tidak. Kalau bisa, saya melihat apakah saya sudah memiliki kemampuan (ahliyyah) dan kesiapan atau tidak. Kalau ternyata tidak, saya akan musyawarahkan kalau saya masih harus fokus belajar, melahirkan buku, menuntaskan segala tujuan hidup dan cita-cita. Sesederhana itu.
Kembali kepada ta’aruf. Saya tegaskan kembali bahwa tugas dari adanya ta’aruf adalah untuk saling mengenal, apakah si calon ini benar-benar cocok dengan saya atau tidak. Kalau tidak, Anda bisa putuskan saat itu juga bahwa Anda memang hidup pada realitas yang sama, tapi harus beda dimensi. Di sinilah Anda saling investigasi dengan sang calon dan pastinya pembicaraan Anda sifatnya privat, ditambah ada orang terpercaya atau pihak ketiga yang mengawasi proses pembicaraan Anda.
Sebelum pembicaraan dimulai, pihak yang terlibat langsung harus bersepakat bahwa pembicaraan itu tidak keluar ke mana pun. Pembicaraan itu juga harus terbatas pada hal-hal yang urgen dalam keberlangsungan pernikahan, bukan ajang saling bongkar aib. Yang ditanyakan seperti apa yang sudah dipersiapkan, bagaimana mengelola keuangan, apakah ada kesiapan finansial, tipe yang diinginkan secara pribadi dan keluarga seperti apa, apakah ada agenda tertentu dalam rumah tangga, apakah bisa tidur dengan lampu menyala atau tidak, dan lain-lain. Selain itu, Anda bisa terus terang, seperti apa agenda kehidupan Anda ke depannya dan hal seperti apa yang Anda harus lakukan dalam mencapai tujuan itu. Tidak lain, tujuan dari pembahasan ini adalah untuk saling mengenal dan memahami.
Penting juga diketahui, bahwa apapun yang Anda ungkapkan harus jujur dan terbuka. Kalaupun nanti ada bagian tertentu yang membuat Anda harus mengakui kekurangan, sebaiknya Anda nyatakan dengan lugas. Misalnya, dalam persoalan manajemen waktu, Anda tidak memiliki kemampuan memadai untuk itu. Maka Anda harus ungkapkan itu kepada calon pasangan. Sebab, bukankah kita sepakat kalau pernikahan adalah sesi untuk saling melengkapi? Toh, kita juga harus sepakat bahwa tidak ada manusia yang benar-benar sempurna. Mengetahui sisi kekurangan calon pasangan itu penting, supaya nanti tidak shock atau kaget karena punya ekspektasi terlalu tinggi. Perlu digarisbawahi bahwa mengetahui kekurangan, tidak selalu bermakna bahwa kemungkinan menolak kita semakin tinggi. Tapi, kekurangan itu diketahui agar kita bisa mempertimbangkan dan menerima.
Karena pembicaraan tersebut lumayan serius, maka Anda perlu menyiapkan pertanyaan yang sifatnya umum dan krusial (tentu ini butuh observasi terkait kehidupan rumah tangga, supaya rute umum perjalanannya bisa tergambarkan di akal). Jika ternyata jawabannya masih melahirkan sebuah pertanyaan baru, jangan ragu untuk tanyakan. Jangan heran kalau ta’aruf selain perlu persiapan konsep, juga perlu persiapan mental dalam blak-blakan. Alasannya, keputusan yang Anda ambil, bukan keputusan remeh-temeh, tapi keputusan yang mempengaruhi kehidupan Anda selamanya. Jelas pertimbangan kritis dan detail sangat diperlukan dalam ta’aruf. Kalau salah, penyesalannya bukan hanya satu atau dua tahun saja, tapi bisa saja selamanya.
Dengan direstuinya konsep ta’aruf dalam agama, maka meyakinkan diri tentang si calon itu bukanlah hal yang tabu. Jangan pernah mengira sebelum ta’aruf, Anda sudah mengetahui seluk-beluk calon pasangan Anda. Malahan, ta’aruf ada agar rasa skeptis atau ragu Anda bisa terjawab sebagian besarnya dan dituntaskan secara yakin setelah menikah. Karena Anda tidak akan pernah tahu bagaimana calon pasangan Anda kalau Anda tidak pernah berinteraksi mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Juga, kalaupun tidak sampai kepada yakin, setidaknya pengetahuan Anda terhadap calon pasangan itu memenuhi hal-hal yang krusial sehingga Anda punya data dan pegangan kuat untuk menikahi si calon.
Jangan pernah ragu untuk bertanya kepada diri “Apa iya, si dia ini layak hidup dengan saya”. Karena ketika Anda sudah melantunkan akad, maka saat itu juga ada deretan kebahagiaan dan konsekuensi yang menunggu Anda. Kalau yang Anda akadkan adalah orang yang tepat, insya Allah akan sakinah mawaddah wa rahmah. Selain itu, perlu diingat bahwa ketika akad juga, yang Anda terima bukan hanya status sebagai seorang yang sudah menikah dan si doi resmi menjadi pasangan hidup Anda. Tapi, segala kekurangan yang ada pada pasangan dan keluarganya harus Anda terima. Itulah filosofi dari akad; menerima secara luas.
Tapi, timbul pertanyaan. Dari tadi kita hanya fokus membahas masalah cinta dan ta’aruf. Sedangkan judul sendiri menyebut mantik hadis. Sepertinya, saya perlu membuat satu tulisan lanjutan tentang kaitan antara keduanya dan bagaimana manfaatnya dalam ta’aruf. Kurang lebih demikian.
Wallahu a’lam