Dalam tongkrongan anak muda, biasanya ada pertanyaan yang agak jenaka: “Apa ingatanmu yang paling tua?” atau “Kapan pertama kali kamu sadar?”. Banyak di antara teman tongkrongan yang tidak menjawab itu. Sebab, ada yang lupa dan memang saat usia yang sangat belia, neuron yang ada di otak, belum bekerja dengan baik.
Saya kalau ditanya demikian, saya memiliki jawaban yang paling meyakinkan dan itu saya temukan saat 20 tahun menjalani kehidupan di semesta ini. Yang paling pertama saya lihat adalah ibu, tidak ada yang lain. Wajahnya tersenyum dan gembira. Umur saya waktu itu belum genap 2 tahun. Mungkin sekitar 1 tahun atau kurang. Karena saat itu, saya belum memiliki kemampuan untuk berbicara dengan fasih, tidak juga duduk, apalagi berdiri. Saat saya menghadapkan kepala ke kiri, saya melihat ayah. Beliau ada di depan komputer yang saat itu masih berada dalam kamar. Ya, ini adalah ingatan paling pertama dan tertua yang masih tersimpan dalam memori yang masih bisa saya lacak. Setelah itu, buram, kecuali beberapa momen saat berumur dua tahun, terutama saat jalan-jalan keliling kota bersama ayah dan ibu.
Ada juga memori yang masih jernih, terkait pendidikan. Saat itu saya berumur sekitar tiga atau empat tahun. Saat itu, saya diajari oleh ibu untuk membaca. Dua kata pertama yang saya pelajari bacanya dari ibu adalah “duduk” dan “bebek”. Saya masih ingat, tepatnya ada papan tulis kecil dan di depan televisi, tepat main hall lantai dua rumah saya. Waktu itu, malam. Beliau mendiktekan saya beberapa huruf, bagaimana bunyi, bagaimana konsonan jika bertemu dengan dua huruf. Di sinilah saya menemukan bunyi “ng” dan “nya”. Ini mungkin alasan kenapa saya tidak TK, tapi langsung SD.
Umur empat tahun, saya ikut sekolah SD bersama dua kakak sepupu saya. Saat itu, saya masih sangat belia dan bawa susu sendiri dalam kelas. Saya tidak mengerti, apa yang ditulis guru di papan tulis? Waktu itu, papan tulis kapur. Saya hanya bermain dengan kakak sepupu saya. Karena naluri saya, lebih suka main kapur-kapuran. Karena kami dulu suka nonton kartun saat pagi hari, kami bertemu dengan animasi Chalkzone. Di sana ada namanya dunia kapur yang bisa ditembus lewat papan tulis. Berbekal imajinasi anak kecil, saya gambarlah lingkaran di papan tulis, sembari menunggu keajaiban ada portal untuk tembus ke dunia di balik papan tulis itu.
Masih di tahun yang sama, saya mendapati ibu dengan serius berdoa sambil mengangkat tangannya. Beliau kalau berdoa, berbisik. Saya tidak ingat bagaimana isi doa itu dengan utuh. Yang paling saya ingat, ibu mengatakan “Ya Allah, buatlah anakku menjadi anak saleh”. Saya dengar itu karena salah satu karakter saya, ya liar. Ibu berdoa, saya datang ke paha beliau sambil berbaring di sana. Terdengarlah doa itu. Saya sangat senang, karena merasa diperhatikan dan tahu kalau ternyata saya ada dalam doa ibu. Setelah ibu berdoa, saya nyeletuk “Kutau tadi, apa isi doata’. Pasti didoakanga toh”. Mendengar itu, ibu tersenyum.
Momen yang selalu ada dalam ingatan anak adalah saat bersama dengan ibu. Salah satunya, saat saya dimandikan pada usia 1-5 tahun. Air yang digunakan, selalu air hangat. Di sinilah ibu selalu mengajari saya hal-hal sederhana dalam hidup. Seperti bagaimana dunia sekolah bekerja. Ibu juga selalu berpesan kepada saya untuk belajar kalau nanti sudah besar, supaya jadi orang hebat. Di sini, ada banyak cerita-cerita tentang masa depan yang saya dapatkan. Seperti yang Anda tahu, khayalan anak kecil itu selalu absurd. Yang saya bayangkan waktu itu, apa yang ada di pikiran saya, berarti pernah saya alami. Di sinilah kalimat aneh lahir dari lisan saya “Waktuku besar, jadika orang besar”. Haha.
Tapi, di sini saya tidak naik kelas. Selain karena jarang datang ke sekolah, juga saya masih lebih memilih tontonan pagi. Bagi anak kecil, tontonan pagi merupakan hal berharga. Ibu saya menasihati saya agar pergi sekolah agar naik kelas. Tapi, saya tidak mengerti, apa itu kelas? Ini yang membuat saya memilih tontonan pagi dibanding pergi sekolah untuk ikut ujian. Sampailah tahun depannya, saya akhirnya kembali sekolah. Kalau sebelumnya saya jalan bertigaan bareng kakak sepupu, selanjutnya saya selalu diantar ibu. Setelah saya kelas dua SD, saya mulai diantar sampai tengah perjalanan, sampai nanti akhirnya saya bisa pergi sendirian ke sekolah.
Ahad, 29 Desember 2019, saat itu ibu mengantar saya lagi menuju bandara untuk terbang ke Kairo. Tak lain untuk melanjutkan pendidikan. Di bandara, selain keluarga besar mengantar keberangkatan saya, ada banyak teman-teman lain yang turut datang. Saat itu, malam hari, menuju pergantian hari. Sebelum saya masuk ke dalam bandara, saya meminta beberapa permintaan untuk didoakan. Saya minta kepada beliau agar didoakan punya otak yang encer, punya keturunan yang hebat-hebat, dan pelajaran saya dimudahkan.
Saya ingat betul kalau hari itu adalah hari ulang tahun ibu. Tapi, saya sadar juga kalau saya belum punya kemampuan untuk memberikan materi apapun. Saat menjelang salat subuh dan sudah menuju penerbangan, saya masih menelpon ibu hanya untuk mengucapkan “Selamat ulang tahun, Ibu!”. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Tapi, setelah saya menutup telpon, saya bertekad kuat bahwa hadiah ulang tahun ibu, harus lebih dari itu. Iya, momen ini; momen keberangkatan saya! Saya melihat ibu melepaskan air mata ketika saya menuju dalam bandara dan saat pesawat yang saya naiki sudah berjalan, giliran saya mengalirkan air mata secara sembunyi-sembunyi. Di sinilah saya meniatkan, apapun yang saya pelajari, yang saya baca, dan tulis, setiap hurufnya mengalir kepada ibu pahalanya. Mungkin itulah hadiah ulang tahun yang bisa saya persembahkan kepada ibu waktu itu. Tanpa niat pun, pahalanya tetap mengalir. Toh, yang mengajari saya membaca pertama kali adalah ibu saya.
Sejak kecil, ada beberapa orang yang pasti ada dalam doa saya; orang tua, keluarga, dan guru. Saat remaja, semua sahabat dan teman saya juga berada dalam doa-doa saya. Sampai ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di masjid Al-Azhar, yang pertama kali saya doakan adalah orang tua dan guru. Setelah itu, barulah untuk diri saya lalu orang lain.
Mungkin akan timbul pertanyaan, kenapa tulisan dijadikan hadiah? Yang saya tahu, kebahagiaan seorang ibu adalah ketika mengetahui anaknya berkembang. Hadiah yang baik adalah yang membuat penerimanya bahagia. Tulisan ini menjadi bukti bahwa anaknya ibu sudah berkembang. Jika semua perkembangan saya adalah hadiah bagi ibu, maka setiap hari adalah momen menghadiahi ibu. Juga, tulisan ini saya tempatkan di tempat yang sangat berharga bagi saya; website ini. Inilah salah satu alasan kenapa saya selalu merasa semangat ketika membaca, menulis, berbagi ilmu, dan lain-lain. Karena ini salah satu cara saya berbakti kepada orang tua.
Selain itu, bagi saya tulisan adalah sesuatu yang berharga dan nilainya tinggi. Sebelum saya memberikan sesuatu yang berharga kepada anak perempuannya orang, maka wanita pertama yang paling berhak saya berikan adalah ibu saya; orang yang melahirkan dan merawat saya sejak kecil. Karena memuliakan seorang wanita dimulai dari memuliakan seorang ibu.
Di kelaurga kami, ada tiga bulan berturut-turut yang di dalamnya pasti ada hari perayaan. Desember, diisi oleh ibu saya. Januari, diisi oleh ayah. Februari, saya dan adik saya. Kalau ibu sudah ulang tahun, maka yang lain sisa menunggu bagian. Tak terkecuali saya yang sudah mau menginjak usia yang ke-21.
Pembahasan hari ini dengan orang tua sudah berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kadang sudah menyentuh dunia rumah tangga, pernikahan, dan lain sebagainya. Sampai saya minta kepada ibu bimbingan khusus mengenai seni memahami wanita dan menjalani dunia percintaan yang serius. Bahkan, kalau masalah percintaan saya selalu curhat ke ibu dan beliau sudah tahu seluk-beluk percintaan saya. Ada banyak sekali pelajaran dan nasihat yang beliau sampaikan terkait itu. Salah satunya, jangan pacaran. Alhamdulillah, sampai detik ini, saya masih mempertahankan status jomblo saya dengan baik. Tak lupa, saya juga meminta agar didoakan supaya disatukan dengan orang terbaik di Allah untuk saya.
Pada saat yang sama, saya juga biasa menghadiri pengajian Syekh Majdi ‘Asyur. Selain agar memahami cinta, juga didoakan agar bisa disatukan dengan sosok yang salihah dan diberikan keturunan salih/ah, plus mereka dapat pasangan yang demikian pula.
Saya juga pernah curhat dengan salah seorang senior tentang dunia percintaan. Kebetulan, senior tersbeut sudah menikah, umurnya jauh di atas saya, dan selalu bijaksana dalam memberikan solusi, plus privasi saya terjamin. Salah satu yang diberikan, jika ingin rumah tangga berkah, maka jangan pernah tinggalkan dua hal; restu orang tua dan salat istikharah. Makanya kalau ada apa-apa dalam percintaan, tidak ada yang saya tutup-tutupi dari kedua orang tua, khususnya ibu. Cinta tidak menjadi tabu, selama mengindahkan cara-cara yang dilegalkan syariat.
Saya banyak meminta didoakan ibu, karena doa ibu kepada anaknya itu mustajab. Kadang kalau ada hal sulit, saya minta agar didoakan, supaya dimudahkan. Tentu saya berdoa juga. Sebelum melangkahkan kaki menuju kampus di era ujian, saya pasti kirim pesan ke grup keluarga agar didoakan. Itu setiap mau berangkat! Jadi kalau saya punya enam mata kuliah, maka saya enam kali minta doa.
‘Ala kulli hâl, jika ada seorang anak ingin mengisahkan tentang ibunya secara keseluruhan, maka para pendengar kisah akan kehilangan pekerjaannya karena mendengar kisah tanpa henti. Selamat ulang tahun yang ke-54, Ibunda! Semoga panjang umur, sehat selalu, dan keturunannya menjadi orang hebat-hebat!