Ibnu Sina[1] atau akrab dengan sebutan Syekh Al-Ra’is[2] dalam dunia filsafat, banyak berkontribusi dalam berbagai pengetahuan. Baik itu akidah, filsafat, kedokteran, alam, eksak, metafisika, termasuk juga psikologi. Tulisan-tulisannya, banyak dijadikan rujukan di berbagai belahan dunia.
Ketika Ibnu Sina membahas tentang jiwa, ia mengikutkan sumber epistemologi yang erat dengan aktivitas rohani. Sumber itu dikenal dengan istilah al-hawâs al-bâthinah atau indera batin. Dalam kajian ilmu kalam dan mantik, kita banyak menggunakan indera zahir atau pancaindera. Penjelasannya sudah dipaparkan pada salah satu tulisan.
Epistemologi
Untuk menjelaskan bagaimana kerangka epistemologi Ibnu Sina dalam masalah kejiwaan, ada dua karya penting yang sangat direkomendasikan untuk dirujuk, Al-Syifâ’: Al-Nafs (bagian keenam bab filsafat alam) dan Al-Najât min Al-Gharq fi Bahr Al-Dhalâlât yang keduanya ditulis oleh Ibnu Sina.
Tentang indera batin, Ibnu Sina menjelaskan bahwa ketika manusia memahami sesuatu melalui pancaindera, maka manusia memiliki proses lebih lanjut untuk mengeksekusi informasi itu.
Misalnya, ketika saya berbicara dengan wanita cantik jelita. Indera penglihatan saya melihat bentuk wajah, mata, hidung, dan parasnya yang cantik. Di saat yang sama, indera pendengaran saya juga mendengar suaranya yang selalu sopan masuk di telinga. Artinya, di sini indera saya yang berfungsi bukan hanya satu, tapi dua.
Dalam kasus lain, bisa saja semua indera saya berfungsi. Misalnya, saya makan nasi goreng. Ketika saya mengunyah nasi goreng itu, indera pengecapan saya berfungsi untuk mendeteksi rasa yang terkandung dalam nasi goreng. Indera penciuman saya juga menikmati bau nasi goreng yang amat nikmat. Ketika itu, indera peraba di lidah saya berfungsi karena bisa mengetahui bentuk dari bagian-bagian nasi. Indera penglihatan juga berfungsi karena saya melihat nasi goreng saat mengunyah, kadang juga melihat kiri dan kanan. Dan tentunya saya mendengar suara mulut saya mengunyah, walaupun itu bukan titik fokusnya. Semua indera ini berfungsi dalam satu waktu.
Ketika semua indera itu berfungsi, semua informasi yang ditangkap indera zahir, melewati satu indera yang menjadi pusat dari kelima indera itu. Indera itu disebut dengan al-hiss al-musytarak atau disebut juga dengan fantasia. Ini merupakan indera batin pertama yang mengeksekusi informasi itu. Letaknya berada pada rongga pertama bagian depan otak.
Setelah informasi tadi melewati al-hiss al-musytarak, barulah informasi itu terhimpun dalam satu wadah. Indera batin kedua yang menjadi wadah ini disebut dengan al-khayâli atau al-mushawwarah. Letaknya berada bagian belakang rongga depan otak.
Dua indera ini berfungsi ketika objek yang ada di alam nyata itu sudah tidak ada. Semisal, ketika saya usai berbicara dengan seorang wanita, dia pergi entah ke mana. Yang jelas, ketika dia pergi, gambaran tentangnya masih bisa hinggap di khayâli saya. Sederhananya, al-khayâl ini adalah ingatan tentang informasi yang ditangkap melalui pancaindera. Atas jasa al-khayâl ini, saya bisa mengingat apapun yang kita indera, seperti rasa ayam bakar, manisnya es kelapa, bahkan momen bersama dengan seseorang yang kita sayangi.
Tapi, berdasarkan pengetahuan yang kita dapatkan, biasanya kita berimajinasi sesuai selera masing-masing. Misalnya, kita memiliki uang. Menurut pengalaman, ketika kita memiliki uang, kita bisa berkuasa. Ketika uang habis, kuasa pun krisis. Kemudian, kita menginginkan kekuasaan itu tidak habis-habis. Akhirnya, bayangan tentang uang unlimited pun muncul di pikiran kita.
Nah, ketersusunan informasi dalam bentuk khayalan yang berangkat dari memori informasi pancaindera di al-khayâl, itu disebut dengan al-mutakhayyilah. Tapi, di saat yang sama, daya imajinasi ini bisa juga disebut al-mufakkirah. Disebut al-mutakhayyilah jika disandarkan kepada jiwa al-haiwaniyyah dan disebut al-mufakkirah jika disandarkan kepada jiwa al-nâthiqiyyah. Di sini ada isyarat bahwa kalau sekadar khayalan, hewan pun bisa. Tapi, hanya berpikir yang ada pada manusia. Letak indera ini ada di tengah otak dengan bentuk kelenjar mungil. Inilah bagian yang bertanggungjawab ketika Anda menulis novel, cerita, atau narasi imajinatif lainnya, termasuk ketika menambahkan detail-detail kecil.
Setelah Anda mengkhayal, berimajinasi, dan mengeksplorasi alam fantasi, Anda juga bisa menilai apapun, apakah baik atau buruk. Misalnya, ketika Anda melihat ada seorang anak memukul orang tuanya. Anda menganggap itu perbuatan laknat lagi terkutuk. Tapi, kalau kembali melihat alam nyata, apakah rupa yang Anda sebut laknat itu ada? Tidak ada. Itu hanyalah nilai yang diproduksi oleh akal kita.
Keberadaan nilai ini merupakan jasa indera lanjutan dari al-mutakhayyilah atau al-mufakkirah, yaitu al-wahmiyyah. Letaknya berada di bagian ujung tengah otak. Mulai dari bagian ini, manusia dan hewan lainnya sudah berbeda. Nilai baik, buruk, cinta, benci, dan lain sebagainya hanya dimiliki oleh manusia. Di sinilah datangnya konsep moral.
Bagian terakhir dari indera batin adalah al-hâfizhah atau al-dzâkirah. Di sinilah memori tentang hal abstrak itu tersimpan. Mengapa sebagian kenangan menjadi begitu indah? Karena setelah al-wahmiyyah memberikan nilai tertentu pada kenangan masa lalu dan tersimpan di al-hâfizhah, ketika terjadi proses mengingat, al-wahmiyyah memberikannya nilai baru sebagai bagian dari memori al-hâfizhah. Di sinilah juga masa lalu yang buruk ketika diceritakan ulang, menjadi tertawaan dan kenangan indah tak terlupakan. Letak indera ini berada pada bagian belakang otak. Ini mungkin menjadi inspirasi dalam sinetron, kenapa ketika kepala bagian belakang terbentur, ingatan sekejap buyar.
Ibnu Sina memberikan detail kecil tentang ingatan ini. Menurutnya, wadah ingatan itu ada dua. Ada wadah untuk ingatan informasi konkret dan ingatan informasi abstrak. Jika al-khayâli adalah wadah untuk informasi konkret, maka al-hâfizhah untuk informasi abstrak. Tapi, manusia cenderung tidak membedakan dua wadah ingatan ini, karena proses informasi yang terjadi dalam diri manusia sangat cepat.
Jadi, manusia memiliki lima indera batin. 1) Al-hiss al-musytarak (indera paralel) yang terletak bagian pertama rongga depan otak, 2) Al-khayâli atau al-mushawwarah (imajinasi retentif) yang terletak bagian belakang rongga depan otak, 3) Al-mutkhayyilah atau al-nâthiqiyyah (imajinasi) yang terletak pada begian tengah otak, 4) Al-wahmiyyah (estimasi) yang terletak pada bagian ujung tengah otak, dan 5) Al-hâfizhah atau al-dzâkirah (ingatan) yang berada pada bagian belakang otak.
Cinta dan Khayalan
Kalau kita menarik konsep epistemologi indera batin yang dipaparkan Ibnu Sina, kita bisa melacak “Mengapa manusia mencintai?”. Sekilas, ada konsekuensi logis dari pandangan Ibnu Sina mengenai indera batin ini terhadap cinta kepada lawan jenis; berangkat dari nilai dibalik entitas inderawi. Ini pertama. Kedua, tidak ada cinta yang tidak dilandasi pengetahuan.
Misalnya, ketika saya bertemu dengan seorang wanita. Orang ini secara penampilan, sederhana. Tidak terlalu mencolok, tidak juga terhina. Tapi, melihat dari gerak-geriknya dan aktivitasnya, ada kecantikan tersendiri yang terpancar. Kecantikan ini adalah nilai dari wanita itu. Orang menyebutnya “kecantikan dari dalam”. Di sinilah saya mengalami peristiwa besar semesta yang bernama: “jatuh cinta”.
Berangkat dari wanita inderawi tadi, segenap makna baik tentang wanita itu tersusun di indera al-mutkhayyilah, lalu terhasillah makna cinta di indera al-wahmiyyah. Semua informasi tentang wanita itu secara lahir batin tersimpan dalam ingatan yang disebut dengan al-dzâkirah. Sampai di sini, jelas bagaimana proses jatuh cinta yang luar biasa itu terjadi.
Mungkinkah saya jatuh cinta jika saya tidak mengetahui wanita itu? Ucap pepatah terkenal: “Tak kenal, maka tak sayang.” Mustahil kita mencintai yang tidak kita ketahui. Karena nilai cinta berangkat dari pengetahuan. Buktinya, manusia bisa mencintai sesuatu yang tiada, sekalipun itu imajinasinya sendiri. Kenapa? Karena mereka mengetahui nilai tertentu yang disandarkan kepada ketiadaan itu. Jadi, nilai dan pengetahuan adalah dua aspek bertanggung jawab dalam jatuh cinta itu.
Tapi, mungkin saja ada bagian tertentu, ternyata wanita yang saya cintai tidak sesuai dengan ekspektasi. Mengapa? Karena saya mengimajinasikan wanita ini melebihi realitasnya. Pun, saya menyusun makna untuknya secara tidak manusiawi. Saya menggunakan daya al-mutakhayyilah untuk mengabstraksikan sosok yang saya cintai. Ingat kata Ibnu Sina, al-mutkhayyilah itu daya abstraksi yang dimiliki jiwa hewani. Artinya, kucing, ular, semut, dan lain-lain memiliki cara yang sama dalam mengabstraksikan. Makanya, saya tergolong tidak manusiawi dalam mencintai. Tak lebih dari hewan yang jatuh cinta kepada manusia.
Setelah menyadari itu, saya mencoba lebih manusiawi. Saya mengabstraksikan wanita itu apa adanya; ala kadarnya. Saya tidak membayangkan dia sebagai malaikat, tidak pula sebagai iblis betina. Deretan makna yang saya sandarkan kepada wanita itu adalah makna yang layak baginya. Ini aktivitas abstraksi logis yang dimiliki manusia saja. Inilah level lebih tinggi dari sekadar al-mutakhayyilah, yakni al-mufakkirah.
Dari Cinta Al-Mutakhayyilah ke Cinta Falsafi
Benar bahwa tidak ada yang bisa memilih ingin jatuh cinta kepada siapa, tapi dia bisa memilih tindakan untuk cintanya.
Ya, cinta itu terhasilkan setelah melewati fase al-wahmiyyah, tapi manusia bisa meninjau ulang cintanya dengan berpikir kembali dengan al-mufakkirah. Apakah nilai yang ia dapatkan selama ini benar ataukah imajinasinya yang terlalu mendalam?
Ini juga menjelaskan fenomena kenapa ada orang yang bertemu sekilas langsung jatuh cinta dan kenapa ada orang membutuhkan waktu untuk jatuh cinta? Mungkin sebagian tidak sepakat menyebut jatuh cinta untuk pertemuan sekejap, lebih memilih menyebutnya benih-benih cinta.
Terlepas dari perbedaan itu, kedua peristiwa itu sama-sama bisa memunculkan rasa. Namun, yang membedakan satu terlalu cepat mengidentifikasi cintanya, satunya membutuhkan waktu. Indera yang digunakan dalam menyusun informasi dari kejadian pertemuan sekejap itu adalah al-wahmiyyah. Karena informasi lain yang disandarkan kepada sosok yang ia cintai tidak jauh dari delusi dan tendensi; yang dibuat-buat imajinasi dan fakta tercampur aduk. Jika bukan realitas yang dijadikan rujukan oleh manusia, apa lagi kalau bukan imajinasinya sendiri? Ketika itu terjadi, manusia tidak mencintai wanita itu apa adanya, tapi imajinasinya tentang wanita itu.
Sedangkan mereka yang meninjau ulang cintanya menyusun informasi logis yang bisa dipertanggungjawabkan kepada sosok yang dicintainya. Ini dirancang oleh al-mufakkirah. Jelas, untuk menimbang sesuatu tidak sekejap, tapi harus melewati masa tertentu.
Pastinya, perbuatan logis atas nama cinta ketika ia merdeka dari perbudakan perasaan. Dia menimbang segala hal, segala kemungkinan, dan tidak terperangkap pada hal yang bersifat material semata. Benar bahwa paras cantik jelita tetap menjadi pertimbangan, tapi bukan satu-satunya pertimbangan. Ada banyak aspek lain yang dilihat, seperti aspek emosional, karakter, akhlak, nasab, intelektualitas, keluarga, ekonomi, dan lain sebagainya. Ketika semua pertimbangan itu terkumpul dalam satu wadah, kemudian menghasilkan nilai cinta, maka itulah cinta falsafi. Di sini, dia benar-benar mencintai wanita itu. Karena dia mengetahuinya apa adanya.
Cinta seorang filusuf bukan ketika dia mengesampingkan perasaannya, tapi menyeimbangkan perasaan dan pikirannya. Sehingga cintanya selaras dengan akal sehat. Dia tidak tenggelam dalam lautan imajinasi, tidak juga terbang setinggi langit sehingga melupakan daratan rasa. Filusuf itu independen, dia bukan budak dari perasaannya, bukan pula hamba dari pikirannya. Tapi, kaki dan tangannya adalah akal sehat dan perasaan humanisnya.
Wallahu a’lam
Footnote:
[1] Nama lengkapnya Abu ‘Ali Al-Husein bin Sina. Dia dilahirkan pada tahun 980 M atau 370 H di Kota Afshona, salah satu bagian dari Provinsi Khuzestan, dekat dari Kota Bukhara. Ibnu Sina lahir di keluarga bangsawan Persia yang kental dengan karakter religius dan kritisnya. Ayahnya adalah pribadi yang handal dalam berpolitik, sampai tercatat kalau ayah Ibnu Sina itu sibuk dalam urusan poitik , juga, banyak berkontribusi dalam mazhab Isma’iliyyah (salah satu bagian Syi’ah) .
[2] Sebutan “Syekh” menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang sibuk berkecimpung dalam banyak ilmu pengetahuan dan filsafat. Sedangkan kata “Al-Ra’is” merujuk kepada sosok Ibnu Sina yang memegang jabatan penting.