“Mengapa orang menikah?” Kira-kira begitu pertanyaan “nakal” yang saya lontarkan ketika masih belia kepada orang tua. Pertanyaan saya dijawab “Karena dia bertemu jodohnya.” Saya bertanya lagi “Bagaimana orang bertemu jodohnya?” saya dijawab “Jika ia telah menikah.”
Dahulu kala, saya puas dengan jawaban itu. Karena saat itu saya berpikir bahwa seseorang menikah karena bertemu jodohnya. Kemudian hari, saya mempertanyakan, jika memang seseorang menikah karena ketemu jodohnya dan dia mengetahui jodohnya setelah menikah, apakah detik-detik akad nikah menunjukkan bahwa dia berjodoh? Jika jawabannya iya, bukannya jodoh diketahui setelah menikah? Jika tidak, apakah saat momen hendak mengucapkan “Saya terima nikahnya” bukan jodoh kita? Pertanyaan ini muncul saat saya masih duduk di bangku SMA.
Kisah
Jika di Bumi ini banyak orang penasaran tentang jodoh, maka saya salah satu orang itu. Salah satu pertanyaan besar saya mengenai jodoh waktu itu “Bagaimana cara mengetahui jodoh?” Pertanyaan ini sangat sederhana. Jawaban dari orang beragam.
Salah satu yang saya tanya adalah teman sekelas saya sendiri. Apa jawaban dia? Katanya, jika kita menyukai dan berpacaran dengan seseorang, maka dia adalah jodoh kita. Sekaligus, ini menjadi dalih dia pacaran. Saya yang polos waktu itu, percaya saja dengan ucapan teman saya ini. Sampai ada satu bagian, saya menyukai seseorang, bahkan berniat pacaran seperti yang dilakukan teman saya. Menjelang waktu saya mengungkapkan maksud pacaran saya, ada teman saya yang putus cinta.
Kejadian singkat itu kemudian membuat saya mengurungkan niat untuk pacaran. Karena terbukti sendiri, teman saya putus. Berarti, pacaran bukan tanda bahwa seseorang itu jodoh.
Kembali ke pertanyaan awal “Bagaimana mengetahui jodoh?”. Sekalipun tidak penting-penting amat, tidak berpengaruh pada kemajuan peradaban manusia, penasaran tetaplah penasaran. Saya kemudian bertanya lagi kepada salah satu guru saya dengan pertanyaan yang sama. Jawabannya, ketika kita merasa nyaman dengan seseorang, melihatnya membawa kedamaian, dan sefrekuensi, maka dia adalah jodoh.
Jawaban itu saya ingat baik-baik. Tapi, saya akan selalu mencoba jawaban yang selalu dilontarkan orang. Adakah cara mujarab di antara jawaban mereka atau tidak. Saya bertemu kemudian dengan seorang wanita, persis seperti kata guru saya, merasa nyaman, melihatnya membawa kedamaian, dan ketika berbicara, kita sefrekuensi. Koneksi dengan wanita itu berlangsung lama.
Sampai satu keadaan, dengan modal nekat, saya sampaikan kepada ibu saya bahwa saya menyukai seseorang jauh di sana. Ciri-cirinya begini dan begitu. Sampai proses negosiasi itu mencapai puncaknya, hasilnya wanita itu ditolak. Ada banyak alasan logis tentang penolakan itu. Nyeseknya jangan ditanya bagaimana rasanya. Mau tidak mau, saya harus mengiyakan apa yang dikatakan ibu saya. Dengan berat hati, saya harus meninggalkan orang itu. Karena nasihat guru saya, berkah pernikahan ada pada rida Allah dan orang tua.
Saya kembali mempertanyakan jawaban-jawaban yang diberikan “Kenapa tidak ada yang mujarab?” Lengkaplah dua pertanyaan besar. Sampai saya ikut pengajian hadis Al-Arba’in Al-Nawawiyyah, di sana dijelaskan kalau jodoh seseorang itu sudah tercatat sebelum dia lahir. Begitu juga rezeki bersama kematiannya.
“Lah, kalau begitu jodoh itu ditunggu?” Begitu pertanyaan yang mengantarkan saya untuk mengiyakan kesimpulan dangkal. Jadi, jodoh itu ditunggu. Sisa dua pertanyaan, cara apa yang mujrab untuk mendapatkan jodoh dan bagaimana cara tahu keberadaan jodoh? Ibaratnya, jodoh itu kayak burung terbang kemana-mana. Saya adalah jebakan untuk jodoh itu. Begitu dia hinggap, ya sudah tertangkap aja. Kesannya, seperti berburu jodoh. Begitu dapat, ya nikah.
Revolusi
Di masa ini, secara serius saya mendalami ilmu akidah. Mulai dari mazhab lurus, sampai mazhab bengkok, bahkan patah saya pelajari. Di sela-sela pembelajaran, selalu ada pembahasan mengenai perbuatan hamba. Apakah perbuatan hamba itu dikendalikan oleh Tuhan bak wayang? Ataukah manusia bebas sebebas-bebasnya? Ahlussunnah berkata, tidak keduanya. Saya tidak memahami maksud Ahlussunnah ketika melawan dua mazhab ini awalnya.
Perlahan, saya mulai mengerti postulat dan cara berpikir mazhab ini. Singkatnya, Ahlussunnah itu tidak meyakini berbuatan hamba itu dikendalikan bak wayang. Buktinya, manusia tetap memiliki kebebasan dan ada perintah dalam syariat. Tidak juga bebas absolut, sampai perbuatan manusia bisa melahirkan dampak rasional sebab-akibat di alam semesta.
Artinya, kita tetap memiliki pilihan. Opsi pilihan itu diciptakan oleh Allah. Kita hanya memilih opsi dari yang diciptakan Tuhan (mushâhabah ‘ala al-qudrah al-qadîmah). Tapi, di saat yang sama, perbuatan kita tidak melahirkan dampak (atsar) di alam semesta secara independen, kecuali atas izin Allah.
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Teolog Muslim, memberikan analogi. Ada dua orang mengangkat batu. Orang pertama itu kuat. Orang kedua itu lemah. Saat keduanya mengangkat batu, kita katakan “Orang kedua mengangkat batu bersamaan dengan orang pertama”. Orang pertama diibaratkan sebagai Tuhan, orang kedua diibaratkan sebagai manusia. Begitulah perbuatan manusia, dia diiringi dengan izin-Nya.
Nah, bagaimana dengan persoalan jodoh? Jika jodoh sudah ditentukan dan manusia memiliki kebebasan untuk mencari jodoh, apakah jodoh itu ditunggu atau dicari? Mau dijawab ditunggu, landasan dan bantahannya ada. Mau dijawab dicari, sama dengan yang sebelumnya.
Saya kemudian mengamati teman-teman saya yang menikah. Uniknya, ada yang mencari jodohnya lalu menemukan, begitu juga yang menunggunya. Berarti dari kedua opsi itu tidak ada yang salah. Keduanya sama-sama terbukti secara empiris. Mereka nikah dan langgeng sampai saat tulisan ini dibuat.
Tentang apakah jodoh ditunggu atau tidak, sudah terjawab. Sama-sama benar. Terus, bagaimana cara mujarab mendapatkan jodoh? Ada jawaban yang menenangkan rasa penasaran saya ketika berdiskusi dengan Ust. Muhammad Nuruddin, Lc., MA. seputar jodoh ini. Yang saya simpulkan dari penjelasannya, mendapatkan jodoh itu ada dua macam; internal dan eksternal. Internal itu seperti usaha-usaha mendekati si perempuan, pelajari dia lebih dalam, dan langkah nyata lainnya. Sedangkan eksternal itu seperti belajar, meningkatkan kualitas diri, berdoa, dan semacamnya.
Jawaban tentang langkah internal ini saya terima. Jawabannya jelas masuk akal. Tapi, bagaimana dengan langkah eksternal? Awalnya saya tidak langsung menerimanya. Sampai pada bagian memperhatikan lagi bahwa orang berilmu dan berkualitas, akan mudah mendapatkan jodohnya. Tentunya, orang yang dimudahkan Tuhan, pasti akan bertemu jodohnya, cepat atau lambat. Hal ini saya saksikan langsung. Baik dari kalangan teman, begitu juga masyarakat. Bahkan, kalau memang sudah waktunya, masalah finansial, ketidakinginan, dan lain-lain akan sirna. Ada yang saya temukan demikian.
Puncak
Sewaktu saya belajar Hasyiyah Al-Nafahât ‘ala Matn Al-Waraqât kepada Ust. Mahkamah Mahdi, Lc., MA., beliau menjelaskan tentang relasi pengetahuan manusia dan realitas apa adanya. Sebagai contoh, ada pencurian uang terjadi di apartemen. Seluruh penduduk apartemen itu tidak tahu siapa pelakunya. Mau menuduh, takut salah tuduh. Mau menemukan langsung pelakunya, tidak bisa juga. Kamera tersembunyi tidak ada, saksi tidak ada, bahkan benda mati mustahil kita tanya. Yang tahu pelakunya hanya pelaku itu sendiri dan Tuhan.
Kejadian yang diketahui penduduk apartemen itu diistilahkan dengan zawâhir al-amr; melihat sesuatu berdasarkan zahirnya. Mereka hanya tahu kehilangan, tidak lebih. Adapun tentang identitas pencuri sebagai realitas apa adanya, itu disebut nafs al-amr.
Begitulah pengetahuan manusia dalam masalah jodoh, manusia memiliki pengetahuan terbatas untuk mengetahui jodohnya. Manusia tidak bisa melihat indikasi fisikal jodoh itu. Manusia hanya mampu melihat zawâhir al-amr. Sedangkan secara nafs al-amr, hanya Tuhan yang tahu. Manusia tidak benar-benar tahu jodohnya jika ia belum menikahinya dan tidak bercerai sampai wafat.
Rasanya, seperti ada yang rapuh dari jawaban-jawaban di atas. Jika dikatakan jodoh dicari dan ditunggu, mengapa ada orang tidak menikah? Sedangkan, dalam agama konsep jodoh itu berlaku untuk semua orang. Bahkan, salah satu sahabat saya meninggalkan dunia ini tanpa pernah merasakan pernikahan. Apakah bisa dikatakan dia tidak memiliki jodoh?
Ketika membaca khazanah ulama, ternyata jodoh itu ada dua macam; jodoh di dunia dan akhirat. Ini berlaku untuk orang yang tidak sempat menikah dan orang yang berkali-kali menikah. Pun tentang siapa jodoh di akhirat itu tidak kalah misterius. Ada yang mengatakan jodoh di akhirat adalah orang pertama dinikahi, ada yang mengatakan orang terakhir dinikahi, ada lagi yang mengatakan disuruh memilih dengan siapa saja, dan yang paling baik akhlaknya. Semua pendapat ini memiliki landasan riwayat.
Sampai di sini, pertanyaan tentang konsep jodoh ini masih tetap mengalir. Semakin banyak jawaban, semakin banyak hal bertentangan antar jawaban secara konseptual. Uniknya, seperti yang saya bilang, kejadian untuk membenarkan masing-masing jawaban semuanya saya saksikan, kecuali perjodohan akhirat itu.
Satu-satunya yang menenangkan saya tentang jodoh ini adalah momen ketika saya berdiskusi dengan salah satu senior yang berkonsentrasi dalam bidang hadis. Katanya, dalam hadis, ada yang lebih hebat dari sekadar teori (nazhari), yaitu implementasi (tathbiqiy). Kenapa? Karena banyak hal yang terbukti secara faktual dalam implementasi, tapi menyimpang dari teori. Jika realitas menyimpang dari teori, apakah realitas itu yang salah? Jawabannya, tidak. Sebab, teori adalah terjemahan dan jalan untuk melihat realitas. Sementara, terjemahan itu bisa salah. Pun, jika seseorang sudah sampai di tujuan, maka dia tidak butuh jalan lagi.
Saat menyadari bahwa saya sudah mencoba menteorisasi jodoh, tapi hal itu membuang-buang waktu. Kenapa? Jodoh itu misteri realitas yang belum bisa dijelaskan secara definitif. Namun, jika sudah waktunya, jodoh itu akan ditemui juga, terlepas apakah ditunggu atau dicari. Ada miliaran manusia di Bumi yang sudah menikah tanpa memecahkan teori itu dan saat setelah menemukannya, mereka tidak lagi membahasnya. Mereka lebih banyak memikirkan rencana untuk nasib selanjutnya. Dan kalau mau dipikir lagi, klaim tentang ketentuan jodoh itu berasal dari pengalaman personal mereka atau orang lain. Bisa saja klaim itu hanya berlaku untuk mereka, bukan untuk kita. Karena itu kisah mereka.
Untuk membayar waktu yang terbuang itu, saya hanya melakukan sesuatu sebagaimana mestinya secara maksimal. Kalau saat ini saya wajib belajar, ya belajar. Kalau berencana, saya maksimal. Kalau sudah dekat atau sampai masanya menikah, saya laksanakan saja. Kuncinya, tahu harus berbuat apa. Semuanya terhitung ibadah. Yang paling penting, saya betulan sadar bahwa ada sesuatu yang mengatur hidup saya dan hanya kepada-Nya saya mengharapkan skenario terbaik.
Wallahu a’lam