Beberapa waktu terakhir, saya beberapa kali berjumpa dengan akademisi di berbagai kalangan. Mulai dari akademisi yang “lurus” sampai paling “bengkok” kerap mewarnai dunia diskusi. Ada banyak yang kami diskusikan, ada yang berkaitan dengan penelitian, agama, rencana menikah, sampai pemahaman liberal yang merendahkan sakralitas agama.
Di antara diskusi yang mencolok dari para akademisi itu adalah persoalan dogmatisme agama. Menurut mereka, agama itu ya murni iman, kepercayaan, dan tidak perlu dibahas ilmiah. Karena yang namanya iman, tergantung pada masing-masing agama. Kalau bertentangan dengan persoalan ilmiah, ya sudah. Agama sudah dari sono-nya tidak ilmiah. Kalau Anda yakin Allah ada, yaudah. Tidak perlu dibuktikan. Itu keyakinan Anda.
Masalahnya, dari keyakinan seperti ini justru melahirkan konsekuensi dalam menyikapi agama. Semisal, semua agama bisa dikatakan benar. Karena semua agama memiliki penganut yang meyakini agamanya benar. Asalkan mereka yakin, ya sudah. Tidak perlu ada yang dipersoalkan. Konsekuensi selanjutnya, agama tidak perlu lagi dikaji. Yang namanya iman, yang penting yakin, itulah kebenarannya.
Namun, apakah Islam rida dengan pemahaman semacam ini? Mari kita kupas tuntas.
Agama
Dalam beberapa literatur, salah satunya tulisan Syekh Taha Khubaishi, Dewan Ulama Senior Al-Azhar, dalam Al-Madkhal li Dirâsah Al-Adyân menjelaskan bahwa sesuatu itu disebut agama jika memenuhi tiga poin penting; 1) Entitas diklaim Tuhan, 2) Ajaran, dan 3) Penganut.
Namun, apakah setiap agama benar begitu saja jika memenuhi tiga unsur ini? Jawabannya, belum tentu. Sebuah kebenaran diketahui jika dibuktikan. Pembuktian ini memerlukan metode. Dan metode ini harus teruji secara ilmiah.
Saya berikan sebuah analogi. Realitanya, saya jomblo. Cari pasangan, harus banyak tahu diri, apalagi si calon itu dari keluarga orang besar kan. Mana lagi harus selesai kuliah baru bisa menikah. Pokoknya, sebelum saya selesai kuliah, saya tidak boleh berurusan dengan praktik pernikahan yang sakral itu. Tapi, di sebelah sana, ada yang meyakini bahwa ketika saya bertolak ke Indonesia, saya berniat melangsungkan pernikahan, walaupun saya belum selesai kuliah. Apalagi keyakinan itu ditambah dengan embel-embel baru; ketika saya kembali ke Mesir, saya akan membawa madam (istri). Pertanyaannya, apakah keyakinan orang tentang realita menikah saya itu benar hanya berbekal “dugaan” bahwa saya betulan menikah? Belum tentu. Bisa saja orang meyakini demikian dan saya belum nikah. Bisa saja saya kembali ke Mesir dengan modal ketemu calon mertua saya, walau orang-orang itu meyakini demikian, kan? Bagaimana mungkin sebuah kebenaran itu dikatakan benar jika barometernya hanya sebatas diduga benar?
Begitu juga agama, untuk dibuktikan apakah benar atau tidak, harus melalui jalur pembuktian absah. Tapi, mungkin ada yang mengatakan “Lah, di sana ada agama kok yang cukup iman, tidak perlu pembuktian bertele-tele.” Agama yang mana dulu? Kalau agama di luar Islam, mungkin ada. Tapi, dalam Islam sendiri, dogma itu tidak ada dalam ajarannya. Islam tidak pernah meridai pemeluknya beriman tanpa ilmu.
Islam dan Dogma
Allah Swt. berfirman:
فاعلم أنه لا إله إلا الله…
“Ketahuilah, tiada Tuhan selain Allah…” (Muhammad: 19).
Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606), Ahli Tafsir Otoritatif dalam Islam, menulis tafsir ayat tersebut dalam Mafâtih Al-Ghaib bahwa yang dimaksud dengan “Ketahuilah” adalah ketika ingin mengafirmasi sesuatu, harus ada ilmu tentang sesuatu itu. Bahkan, diksi yang dipakai Al-Qur’an adalah i’lam yang merupakan bentuk sintaksis perintah dari ilm (ilmu). Seolah-olah ada pesan bahwa “Berilmulah! Bahwa tiada Tuhan selain Allah.” Al-Qur’an tidak sekadar bilang “Imanilah!”, apalagi melarang bertanya. Justru ada banyak potongan ayat yang memerintahkan untuk berpikir.
Semisal, jika kita ingin menerima bahwa penjual jeruk di pasar itu ada, maka kita harus memastikan keberadaan penjual jeruk itu. Untuk memastikannya, tidak bisa hanya sekadar percaya saja. Harus memiliki basis epistemologi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya, dengan melihat penjual jeruk itu ada, maka kita bisa menerima bahwa penjual jeruk itu ada. Ini yang dimaksud dengan mengimani dan diikuti dengan ilmu.
Tapi, bagaimana dengan Tuhan? Bukankah Dia tidak teramati? Benar, Tuhan memang tidak teramati melalui pancaindera. Perlu dicatat, bukan berarti sesuatu tidak teramati melalui pancaindera lantas sesuatu itu tidak ada. Misalnya, waktu. Apakah waktu itu teramati melalui pancaindera? Kalau Anda mengatakan jam dan jam itu teramati, maka bukan itu yang dimaksud. Jam adalah penunjuk waktu, bukan waktu itu sendiri. Apakah Anda bisa meraba, mencium, mendengar, merasakan, dan melihat entitas yang disebut waktu itu? Jelas tidak. Tapi, apakah Anda percaya waktu itu ada? Nah, Anda sendiri sudah menjawabnya.
Apakah ada basis epistemologi kokoh yang bisa dipakai dalam mempertanggungjawabkan keabsahan agama Islam? Jelas ada dong. Para teolog memberikan catatan bahwa sumber epistemologi dalam Islam itu terbatas pada tiga saja; 1) Pancaindera, 2) Akal, dan 3) Khabar. Ketiganya, sudah kita bahas dalam salah satu tulisan di rubrik ilmu mantik.
Apakah akal bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya? Jelas bisa. Anda sekarang membaca tulisan ini menggunakan akal. Walaupun mata Anda yang melihat rentetan huruf di sini, tapi aliran makna dengan deras terjadi di akal Anda. Kalau meminjam istilah logikawan, ini disebut badahi (aksioma; tak memerlukan bukti). Akal itu niscaya. Akan tetapi, penjelasan ini bukan untuk membuktikan apakah akal kredibel dipakai sebagai salah satu sumber epistemik, hanya sebagai tanbih (pengingat) kalau menggunakan istilah ilmu debat. Karena membuktikan hal niscaya, hanyalah berupa kesia-siaan dan terhitung sebagai aib. Untuk apa membuktikan hal yang terlampau jelas?
Dalam Islam, keberadaan Tuhan itu dibuktikan dengan akal. Bukan dengan metode empiris ala sains yang mencari Tuhan sebagai objek teramati. Tuhan sendiri sudah ada sebelum objek teramati itu ada dan Tuhan tidak memiliki rupa fisikal tiga dimensi, seperti keyakinan sebagian orang dan kaum ateis pada umumnya. Tuhan itu entitas metafisik, jadi alur pembuktiannya harus menggunakan hukum metafisika yang bersemayam di balik fisik semesta. Ini juga menjadi masalah kaum saintis yang mencoba mengamati Tuhan melalui metode pengamatan empiris itu. Karena sejak awal sains memiliki ruang fisik saja, sementara agama mencakup ruang metafisik. Bagaimana caranya mendeteksi entitas metafisika melalui barometer fisik? Ini ibarat mengukur suhu menggunakan timbangan barang. Yang ditimbang lain, alat timbangannya lain. Alat ukurnya tidak pas.
Metode Pembuktian
Sebagai pemanis, Imam Al-Sanusi, Teolog Madrasah Muta’akhirîn, menulis dalam pengantar Al-‘Aqîdah Al-Wustha:
فهذه جمل مختصرة تخرج المكلف بفهمها إن شاء الله من التقليد المختلف في إيمان صاحبه إلى النظر الصحيح المجمع على إيمان صاحبه
“Ini (Al-‘Aqîdah Al-Wustha) jika dipahami, maka akan mengeluarkan para mukallaf dari iman taklid yang diperselisihkan, ke arah iman yang berdasar kepada aktivitas berpikir (sehat), insya Allah” (Al-Sanusi, Al-‘Aqîdah Al-Wustha, Damaskus: Dar Al-Taqwa, Hal 87).
Orang sebesar Imam Sanusi pun, mengajak kepada seluruh umat untuk menggunakan akalnya dengan maksimal. Karena iman muqallid (orang bertaklid) atau dengan kata lain, iman orang yang berdasar pada dogma semata, bukan pada penalaran rasional, imannya diperselisihkan. Kalau Mazhab Muktazilah, mereka sudah menjatuhkan vonis kafir duluan. Sedangkan dalam Ahlussunnah, orang yang tidak menggunakan akalnya, tetap dikatakan beriman. Tapi, ulama berbeda, apakah ia berdosa atau tidak? Sedangkan orang yang imannya tidak berdasar dogma, semuanya sepakat bahwa imannya diridai agama Islam.
Kalau demikian, apa solusi yang diberikan para ulama agar seluruh umat tidak lagi bertaklid? Sudah di singgung di atas bahwa Islam memiliki basis epistemologi. Di samping itu, Islam memiliki dua metode dalam meramu epistemologi itu secara holistik; 1) ‘Aqliy (Rasional) dan 2) Naqliy (Verifikasi transmisi). Dua metode ini digunakan secara mutlak.
Metode ‘aqliy itu mencakup pembahasan hukum dan ketentuan absah dalam berpikir, agar menghasilkan kesimpulan sah pula. Ini yang mendasari mengapa ilmu dalam Islam dilandasi dengan ilmu mantik. Dalam membuktikan keberadaan Tuhan, para sarjana Islam sudah selesai membahas itu panjang lebar. Mereka membuka pembahasan melalui filsafat epistemologi dan ontologi, sehingga kesimpulan keberadaan Tuhan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kalau Anda mengatakan Tuhan tidak ada hanya dengan alasan tidak bisa dilihat, tidak bisa dirasakan, tidak bisa diraba, dan tidak bisa lainnya, para ulama sudah jauh-jauh hari membantah pemahaman seperti itu.
Sedangkan metode naqliy digunakan untuk verifikasi informasi dan keterpercayaan sumber informasi itu. Misalnya, untuk percaya bahwa Nabi benar-benar ada, dia tidak pernah berdusta dan menyampaikan Al-Qur’an apa adanya, harus melihat fakta historis melalui pengakuan orang sezaman Nabi Muhammad, apakah pernah terbukti berbohong atau tidak? Kalau terbukti berbohong, apakah datanya ada? Justru, para sejarawan mengafirmasi bahwa Nabi Muhammad tidak pernah berbohong. Kalau Nabi tidak pernah berbohong, berarti apa yang disampaikannya adalah kebenaran. Untuk mengetahui apa saja yang pernah dikatakan Nabi dan apakah penyandaran itu sah disandarkan kepada Nabi, membutuhkan metode verifikasi yang ketat.
Ulama kita memperkenalkan ilmu khusus untuk membuktikan keabsahan dan tingkatan kebenaran informasi itu dalam ilmu riwâyah (riwayat). Ilmu ini mencakup musthalah hadis, karena di dalamnya membahas tentang syarat-syarat sebuah riwayat dikatakan absah (sahih) dan tidak . Syarat itu bisa dibuktikan secara rasional pula. Kalau sahih, konsekuensinya apa. Kalau tidak, batas penggunaannya sampai mana. Terus, jika periwayatnya banyak, kenapa bisa terpercaya? Kalau sedikit, kenapa bisa diragukan? Dan lain-lain.
Kalau misalnya masih meragukan tentang keberadaan para periwayat, para ahli hadis juga meramu satu ilmu yang khusus membahas tentang perjalanan hidup para periwayat hadis secara detail dalam rijâl al-hadîts. Data historis terkait para periwayat itu lengkap di sana. Kalau misalnya ingin mengetahui apakah periwayat ini memiliki kredibilitas dalam meriwayatakan atau tidak, para ahli hadis juga merumuskan ilmu jarh wa ta’dîl. Untuk menyatakan perawi bisa dipercaya atau tidak, harus melalui kesaksian para ahli. Bahkan, para ahli yang menyatakan keterpercayaan periwayat yang mereka klaim itu harus dibuktikan dengan data historis pula, apakah mereka memiliki kredibilitas dan bisa dipercaya atau tidak? Sampai detail kecil, seperti membaca kearifan lokal dalam berbahasa pada masanya, para ahli juga membuat ilmu gharîb al-hadîts untuk melacak makna kosakata yang ada dalam hadis tapi tidak lagi digunakan hari ini. Metode yang digunakan para ahli hadis, tidak kalah canggih dengan metode historis yang diagung-agungkan di Barat.
Jadi, setiap jengkal dalam ajaran Islam, semuanya bisa dibuktikan secara ilmiah. Sisa kita membaca khazanah keislaman yang diwariskan dari masa lalu yang tersedia dalam rak literatur Islam.
Setelah semuanya membuktikan bahwa Islam memiliki metode ketat sedemikian rupa, tidak ada lagi ruang untuk menyatakan bahwa agama Islam itu agama yang berbasis dogma dan taklid buta. Kalau ada yang mengatakan demikian, sekarang saya mau tanya, apakah keyakinan bahwa Islam agama dogma adalah dogma atau bukan? Kalau bukan dogma, apa buktinya?
Wallahu a’lam