Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa ilmu ini memang mengarahkan kita untuk berpikir dan memang fokusnya hanya kepada berpikir. Namun, untuk memikirkan sesuatu, harus ada sesuatu yang dipikirkan. Sesuatu ini, harus kita ketahui bahwa kita mendapatkannya melalui perantara atau media apa. Karena dengan mengetahui melalui perantara apa pengetahuan tersebut, kita bisa pula mengetahui kategori pengetahuan tersebut.
Misalnya, ada tidak tau ada makhluk yang dinamakan kursi dan sedikit pun tak ada bayangan anda tentangnya. Suatu hari anda berjalan-jalan di sebuah tempat lalu anda melihat “wujud” kursi itu, lalu anda bertanya kepada seseorang, “ini apa namanya?” Barulah orang itu menjawab “ini namanya kursi”. Anda yang sebelumnya tidak tahu kursi, kini anda mengetahui seperti apa wujud kursi itu. Poin yang ingin saya sampaikan, pengetahuan kita itu, tidak instan muncul begitu saja. Pengetahuan juga membutuhkan perantara untuk sampai di akal kita.
Tapi, sebelum jauh membahas tentang media pengetahuan, kita terlebih dahulu harus mengetahui apa itu pengetahuan atau ilmu tersebut. Tulisan kali ini akan menjawab pertanyaan tersebut.
● 𝑲𝒐𝒏𝒔𝒆𝒑 𝑰𝒍𝒎𝒖
Ilmu itu sering kita dengar sehari-hari, tapi tidak semua dari kita mengetahui makna dari kata ilmu tersebut. Maka kita akan mengetahui makna dari kata ilmu yang sering kita dengar itu. Ternyata, para ahli juga berbeda pendapat tentang makna ilmu, ada yang mengatakan ilmu itu harus sesuai realita (ma’rifah al-ma’lûm ‘ala ma huwa bihi fi al-wāqi’), ada juga tidak (idrāk al-muthlaq), Yang jelas ada gambaran kita terhadap sesuatu itu. Dan masih banyak yang lain.
Namun, dalam konteks ilmu logika ini, kita memakai konsep “idrāk al-muthlaq” karena menurut sebagian ahli, kan ilmu ini yang jelas kita sekedar tau saja, yang diuji juga pengetahuan kita terhadap sesuatu. Bukan kenyataannya atau realisasinya pengetahuan kita di dunia nyata ini. Tapi lewat manakah pengetahuan ini kita bisa peroleh? Tulisan berikut ini akan menjawabnya.
● Sebab Ilmu (Madārik al-‘Ulûm)
Madārik merupakan bentuk jama‘/plural dari “al-dark” yang berarti “memunculkan gambaran sesuatu di akal” (hushul shurah al-syai’ fi al-dzihn). Sedangkan kata al-‘ulum ini merupakan jama’/plural dari al-‘ilm yang berarti pengetahuan secara mutlak, baik gambaran tentang pengetahuan itu salah maupun benar. Jika anda memiliki gambaran kalau meja adalah tempat duduk, terlepas salah atau benar, itu termasuk ilmu menurut para ahli logika.
Pada pembahasan ini, kita lebih fokus kepada “media” atau perantara yang membuat kita mengetahui pengetahuan tersebut. Pengetahuan itu kita bisa peroleh melalui:
● 𝘗𝘢𝘯𝘤𝘢𝘪𝘯𝘥𝘦𝘳𝘢 (𝘏𝘪𝘴𝘴𝘪)
Seluruh pengetahuan yang kita temui dan kita ketahui detik ini, tidak lepas dari salah satu perantara ini, yaitu pancaindera. Anda yang menggunakan android, atau smartphone layar sentuh, anda tentunya ketahui seperti apa permukaan smartphone anda, apakah halus, kasar, ataupun lembut. Tapi, untuk mengetahui kasar, halus, dan lembut ini, tidak anda ketahui kecuali melalui pancaindera, yaitu sentuhan.
Misalnya lagi, anda memasak air. Anda melihat air itu mendidih, namun ketika anda ingin mematikan pemanas air, anda tidak sengaja menyentuh logam panas tersebut. Anda tentunya terkejut karena terkena benda yang bersuhu tinggi secara tiba-tiba. Nah, anda pasti merasakan panas ketika itu. Anda mengetahui panas tersebut melalui pancaindera, yaitu indera sentuhan.
Bukan hanya sentuhan, bisa penglihatan, pendengaran, pengecap, dan lain-lain anda mendapatkan informasi atau pengetahuan melalui perantara tersebut. Melalui penglihatan, anda mengetahui apa itu kecantikan, dengan pendengaran, anda mengetahui yang namanya ribut, dengan pengecap, anda merasakan manis, pahit, maupun asin.
● 𝘗𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘢𝘯 (𝘒𝘩𝘢𝘣𝘢𝘳)
Keseharian manusia, tidak pernah lepas dari pemberitaan atau informasi, apalagi di masa sekarang informasi kita bisa dapatkan melalui sosial media. Jika yang pertama anda ketahui melalui pancaindera, maka yang kedua ini anda mengetahui sesuatu melalui berita atau informasi.
Tidak semua pengetahuan yang kita rasakan sekarang hanya kita dapatkan melalui pancaindera saja, tapi ada juga pengetahuan yang kita dapatkan lewat pemberitaan ini. Misalnya, ada teman anda tiba-tiba datang kepada anda lalu memberitahu “mantanmu sudah menikah”.
Meskipun anda tidak melihat si mantan ini menikah, tapi anda memiliki pengetahuan tentang mantan, bahwasanya dia sudah menikah. Inilah yang disebut pengetahuan khabariy (bersifat pemberitaan).
Namun, yang perlu dicatat bahwa khabar ini bisa mengandung kejujuran, bisa juga dusta (mâ yahtamil ‘ala al-shidq wa al-kadzb). Jadi bisa saja, teman anda yang memberitahu anda bahwa mantan anda sudah menikah itu, hanyalah kebohongan semata. Di saat bersamaan juga mengandung kemungkinan benar.
● 𝘗𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 (𝘕𝘢𝘻𝘩𝘳/𝘍𝘪𝘬𝘳)
Ini bagian yang membedakan manusia dan hewan. Jika hewan tidak bisa mencerna pengetahuan, maka manusia bisa, maka manusia disebut “haiwan nāthiq” (literalnya, makhluk yang berakal. Mengenai makna yang dimaksud, ada pembahasan khususnya) yang jelas, manusia itu memiliki akal.
Adapun contohnya, manusia bisa mengetahui yang sebelumnya ia ketahui, tanpa diberitahu ataupun mengindra. Misalnya, untuk mengetahui seseorang itu bohong atau tidak, cukup melalui wawancara, raut wajah, ataupun menguji. Bahkan dengan berbincang ringan saja, ia bisa mendapatkan sesuatu yang tidak dibahas dalam perbincangan tersebut.
Secara umum, hanya 3 saja yang benar-benar mendominasi pengetahuan kita. Ada juga seperti nurani, kepercayaan, dan ilusi hanya kita tidak akan membahasnya di sini.
Yang perlu dicatat, pengetahuan yang kita peroleh dari pancaindera itu pengetahuan tashawwur. Sedangkan pengetahuan yang kita dapatkan dari pemberitaan adalah pengetahuan tashdiq, itupun jika mencapai syarat tashdiq. Sedangkan melalui pikiran itu mencakup tashawwur dan tashdiq.
Ilmu logika ini akan terfokus pada bagian ketiga saja. Karena ilmu ini memang tentang berpikir dan bagian pertama dan kedua itu, sangat terbatas.
Wallahu a’lam.