Setelah kejadian bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar kemarin, kembalilah heboh pembahasan mengenai bom bunuh diri dari berbagai perspektif. Baik itu dari kalangan muslim, maupun non-muslim sendiri.
Sebelum itu, penulis turut berduka cita kepada para korban dan mengecam atas perilaku tersebut.
Media-media Barat di sana, sudah jauh-jauh hari mempublikasikan konsep yang keliru tentang Islam. Banyak di antara mereka yang menghukumi Islam sebagai teroris dan mengidentikkannya dengan jihad (jihad menurut orang-orang yang belum menyelaminya, adalah peperangan, kekerasan, dan pembunuhan. Termasuk bom bunuh diri).
Padahal, jauh-jauh sebelum membicarakan masalah “bom bunuh diri adalah jihad” kita harus memiliki konsep yang kuat dulu. Apa itu jihad? Apa syarat-syarat jihad? Kapan dikatakan jihad? Apa itu bom bunuh diri? Apa keterkaitan antara jihad dan bom bunub diri? Apakah sah bom bunuh diri dikatakan jihad? Apakah sesuai dengan prinsip syariat? Ini semua kita harus jawab dan patenkan konsepnya dulu. Sebagai orang yang bergelut dalam dunia ilmu rasional, tentu saja penulis menggunakan pendekatan rasional, salah satunya masalah konsepsi ini dulu.
Dalam fikih sendiri, ada namanya al-maqâshid al-syar’iyyah (tujuan-tujuan syariat) yang di mana semua tujuan itu tidak lain adalah mewujudkan kemaslahatan. Dalam pendekatan filsafat, salah satu tolak ukur kebenaran adalah muthâbaqah (sesuai dengan realita).
Kita melihat, bom bunuh diri itu, apakah sesuai dengan al-maqâshid al-syar’iyyah? Mari kita uji. Kita lihat al-maqâshid al-syar’iyyah terdiri dari lima unsur:
– Hifzh Al-Din (Menjaga Agama)
– Hifzh Al-Nafs (Menjaga Jiwa)
– Hifzh Al-‘Aql (Menjaga Akal)
– Hifzh Al-Nasl (Menjaga Keturunan)
– Hifzh Al-Mâl (Menjaga Harta)
Kalau kita bandingkan dengan bom bunuh diri, pertama, apakah akan menjaga agama? Tentu hanya akan menciderai agama itu sendiri. Kita melihat, agama hanya akan dicap buruk oleh orang-orang, seperti orang-orang Barat misalnya. Jadi, ini tidak sesuai dengan tujuan pertama dalam agama, yaitu menjaga agama.
Kedua, apakah bom bunuh diri itu menjaga jiwa? Tentu tidak, malahan bom bunuh diri itu, membahayakan bahkan membunuh jiwa. Namanya juga bom “bunuh diri”. Membunuh diri, itu membunuh jiwa, bukan menyelamatkan jiwa.
Ketiga, apakah bom bunuh diri menjaga harta? Malahan bom bunuh diri itu sendiri menyebabkan kerugian nyawa dan materi. Misalnya bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar kemarin, apakah menjaga harta? Tidak, malahan itu merusak di sekitar yang pada akhirnya berdampak kepada kerugian. Alih-alih menjaga harta, malahan menguras harta.
Di sini kita sudah bisa menyimpulkan, berdasarkan pendekatan filsafat dan fikih, bahwa bom bunuh diri tidak sesuai dalam syariat islam. Karena alih-alih mewujudkan maslahat, malahan menyebabkan mudharrat yang besar. Mana mungkin Tuhan mensyariatkan sesuatu yang berbahaya bagi orang disyariatkan itu sendiri?
Setelah itu, mengenai pertanyaan “apakah Islam pelakunya?” Di sini kita bisa menjawab tidak. Mengapa? Sekali lagi, ajaran tersebut tidak ada dalam Islam.
Sampai di sini mungkin masih bisa dipertanyakan, “Lalu, kenapa yang terlibat dalam kejadian-kejadian bom bunuh diri atau teror itu seorang muslim? Jika Islam tidak mengajarkan bom bunuh diri, kenapa ada muslim yang bunuh diri?”
Penulis akan memberi analogi yang sederhana. Taruhlah ada universitas yang ternama, memiliki mahasiswa yang amat banyak dan rata-rata berprestasi. Sampai karena namanya yang begitu besar, universitas itu diidentikkan dengan prestasi. Sampai suatu hari, ada mahasiswanya yang tiba-tiba melakukan hal-hal yang di luar dari ajaran universitas tersebut, dia melakukan pembunuhan massal misalnya. Lalu apakah sah kalau kita menghukumi universitas itu mengajarkan pembunuhan massal karena ada satu mahasiswanya yang melakukan itu? Tentu tidak.
Tindakan sapu rata ini, bukan sebenarnya mengarah kepada Islam. Ada lebih sederhana, misalnya ketika ada wanita diputuskan lalu tiba-tiba bilang “semua laki-laki itu sama saja!” Apa respon laki-laki? “Ya belum tentu lah, ada juga laki-laki yang tidak seburuk itu”. Dengan kata lain, perbuatan oknum, tidak mewakili lembaga atau latarbelakangnya.
Sama juga misalnya dalam Islam, yang berbuat salah adalah oknum, bukan Islamnya. Dalam ilmu logika, ada sebuah kaidah “istidlâl al-juz’iy ‘ala al-kulliy lâ yuntaj” (menginduksi/menyapurata sesuatu yang khusus kepada yang umum, itu tidak diterima kesimpulannya). Induksi pun ada kaidah-kaidahnya, kalau pun induksi itu sah, maka penghukumannya berkekuatan dzann (dugaan), karena berangkat dari penelitian yang kurang komprehensif (istiqra’ nâqish).
Juga, kalau kita ingin mengetahui seperti apa hakikat jihad, maka kita harus menilai jihad melalui jihad itu sendiri. Karena jika konsep masalah jihad bermasalah, maka penghukuman mengenai jihad juga bermasalah. Karena penghukuman tidak mungkin ada kecuali ada konsep. Masalah konsep dan penghukuman, sudah pernah dibahas oleh penulis di FP Ilmu Logika, mengenai tashawwur dan tashdiq.
Ilmu agama seperti ini harus kita pelajari melalui guru yang jelas rekam jejak pendidikannya. Karena guru yang benar, akan memberikan pemahaman yang benar. Tidak mungkin orang yang berguru dan mempelajari agama dengan benar, akan secara serampangan melakukan bom bunuh diri.
Jihad juga sengaja diletakkan bagian belakang bab fikih, karena jangan sampai ada orang yang tidak paham masalah agama, tiba-tiba diberikan gambaran yang mengerikan tentang agama, itupun hanya “sepotong”. Karena jihad lebih luas maknanya dari sekedar perang dan pertumpahan darah. Jihad bisa bermakna melakukan segala bentuk ketaatan. Misalnya dalam kitab Zâd al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsîr:
وقوله تعالى: {وجاهدوا في الله} في هذه الجهاد ثلاثة أقوال. أحدها أنه فعل جميع الطاعات. وهذا قول الأكثرين.
Dalam firman Allah: {Berjihadlah kalian di jalan Allah} jihad di sini, ada tiga pendapat ulama mengenai kata tersebut. Salah satunya perbuatan melakukan segala ketaatan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Bahkan, jihad bisa dikatakan sebagai “memerangi hawa nafsu” sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر
Kita telah pulang dari pertempuran kecil, lalu ke pertempuran besar. (H.R Al-Darimi).
Kalau pun memang jihad diartikan sebagai “peperangan” maka kita perlu mengenal dulu yang namanya maqshûd li dzâtihi dan maqshud li ghairihi. Yang pertama bermakna maksud inti kita. Misalnya dalam berperang, kita membela Islam ketika diserang dari musuh-musuh luar. Membela islam inilah maqshud li dzâtihi, sedangkan perang untuk mewujudkan kemaslahatan agama ini adalah maqshud li ghairihi.
Maqshud li ghairihi, tidak semuanya kita harus lakukan, selama ada cara yang paling maslahat, kenapa bukan itu saja kan? Lagi pula, tujuan yang pasti harus dipenuhi adalah maqshud li dzâtihi. Selama ada cara lain semisal berunding, maka itulah cara yang paling direkomendasikan pada waktu itu juga. Sekali lagi, maqshud li ghairihi tidak harus semuanya dilakukan, jika maqshud li dzâtihi sudah terpenuhi. Jika tujuan sudah terpenuhi, untuk apa sibuk pada wasilah yang merupakan jembatan menuju tujuan kan?
Sebagaimana kata Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi al-Syafi’i dalam Hasyiyah I’anah al-Thâlibîn:
وجوب الجهاد وجوب الوسائل لا المقاصد إذ المقصود بالقتال إنما هو هداية وما سواها من الشهادة وأما القتل الكفار فليس بمقصود حتى لو أمكن هداية بإقامة الدليل بغير جهاد أولى من الجهاد
Kewajiban jihad, itu kewajiban wasâ’il (wasilah, atau seperti yang penulis sebut tadi maqshud li ghairihi), bukan tujuan (maqshud li dzâtihi). Karena tujuan perang itu hanya semata-mata memperantarai hidayah. Maka dari itu, membunuh orang, bukan tujuan sebenarnya. Sehingga kalau hidayah itu bisa sampai hanya dengan mengemukakan argumentasi, maka itu lebih baik daripada jihad (dalam artian perang).
Maka sekali lagi, kita akan mengetahui hakikat jihad melalui pembahasan jihad itu sendiri. Dan wasilah yang menyampaikan kita kepada pemahaman benar adalah dengan berguru dengan guru yang jelas rekam jejak pendidikannya. Sebab, guru akan mengarahkan kita kepada pemahaman yang benar dan dengan guru, kita akan mengetahui kesalahan kita sendiri.
Dengan konsep jihad yang tidak lengkap bahkan keliru, apakah mewakili Islam itu sendiri? Tentu tidak. Sebagaimana teori konsepsi, konsep jihad dalam islam berbeda dengan konsep yang dipahami oleh pelaku-pelaku perbuatan teror itu. Berbeda konsep, maka hakikatnya sudah berbeda walau sama-sama jihad namanya. Jadi, bukan Islam yang mengajarkan hal tersebut. Lalu, siapa? Entahlah, yang jelas perbuatan teror itu berangkat dari kesalahpahaman terhadap konsep jihad.
Akhir kata, orang bijak akan menilai sesuatu melalui sesuatu itu sendiri, bukan melalui pecinta ataupun pembenci. Karena pecinta hanya akan membicarakan yang baik-baik, sementara pembenci hanya membicarakan yang buruk-buruk.
Wallahu a’lam.