Dalam beberapa “tongkrongan”, ada saja kaumnya yang mendewakan cara berpikir tertentu, khususnya ketika buku Filosofi Teras karya Herny Manampiring menggapai langit kepopuleran di Indonesia. Ketika ide stoikisme banyak didakwahkan oleh para konten kreator, banyak yang berlomba-lomba mengaku stoikis; terlepas apakah pengakuan itu sebatas flexing atau betulan menjadi penganut. Yang jelas, stokisime di sini menjadi bintang utamanya.
Betul, stoikisme menawarkan cara berpikir yang realistis, preventif, tenang, dan lain sebagainya. Ada banyak hal baik lagi keren dalam mazhab yang ditawarkan sejak era Zeno sampai Marcus Aurelius ini, jika kita membacanya secara holistik. Tapi, lagi-lagi, apa pun produk dari manusia, selalu saja memiliki kelemahan. Dan stoikisme juga merupakan produk dari manusia; tepatnya, produk pemikiran. Misalnya saja, stoikisme dalam dosis yang berlebihan hanya mempertontonkan “kehidupan hambar”, karena mazhab ini mengajarkan untuk tidak terlalu menampakkan emosi dengan dalih, kondisi “netral” itu menunjukkan ketabahan dan ketangguhan seseorang. Dampaknya, terlihat dalam bersosial; orang susah mendekat karena tidak menemukan relevansi emosi.
Dasar filosofis atau pemikiranlah yang membuat karakter seseorang menjadi semakin kental. Misalnya, ketika seseorang memiliki visi yang yang amat jauh ke depan, ini membuat karakter visioner dalam diri seseorang itu semakin menguat. Begitu juga ketika seseorang menganggap hal-hal yang ada di pikiran idealnya harus terjadi, ini menguatkan karakter idealisme dalam diri.
Landasan Filosofi Hidup
Manusia dibentuk oleh lingkungan, termasuk pemikirannya. Pemikiran yang terhasilkan dalam perjalanan hidup ini, mengantarkan seseorang memiliki landasan tertentu dalam hidup. Tapi, lingkungan, bahkan sejarah (jika dilihat lebih luas) manusia itu berbeda. Dampaknya, manusia memiliki landasan filosofi hidup yang berbeda.
Di antara filosofi hidup yang terpancarkan pada perbuatan manusia dan bisa kita amati, ada beberapa:
Pertama, idealis. Filosofi ini memiliki dasar yang berada di “alam ide” jika kita meminjam istilah dari salah satu sesepuh para filusuf; Plato. Misalnya, ketika kita menyaksikan ada pejabat atau pemerintah yang korup, menurut ide kita, idealnya pejabat atau pemerintah itu tidak korupsi, karena dapat menciptakan kehancuran, minimal melalui efek domino. Akal moril kita menginginkan kalau instansi yang seharusnya memiliki tanggung jawab kepada seluruh rakyat, menerapkan keadilan. Dan keadilan itu sifatnya harus menyeluruh, bukan terjadi pada pihak tertentu saja.
Nah, keinginan akal moril inilah yang disebut dengan “alam ide”. Alam ini merupakan rujukan orang-orang idealis mengenai realitas. Sebagian filusuf menyebut alam ide ini ada “di atas”. Bukan “atas” dalam konteks arah, tapi dalam konteks derajat. Seperti ketika kita menyatakan: “Pemimpin itu ‘di atas’ rakyat”, maksudnya derajat pemimpin di atas derajat rakyatnya. Sampai pada tahap, ada filusuf yang detail dalam melihat realitas melalui kacamata idealismenya, seperti Al-Farabi dengan konsep idealisme politik di al-madînah al-fâdhilah dan Plato dengan konsep kota atlantisnya. Pada intinya, kedua filusuf ini ingin menyampaikan bahwa kota yang ideal itu, di dalamnya hanya ada keadilan. Tidak ada kezaliman.
Ini manis didengar. Tapi, mari kita sama-sama membuka mata dengan kesadaran penuh, lalu bertanya, apakah hal seperti itu realistis? Jawabannya, tidak. Mau sesempurna apa pun bentuk realitas itu di alam kita, tetap saja di sana kita menjumpai kekurangan. Kejahatan akan tetap ada. Karena setiap manusia memiliki potensi berbuat baik dan jahat. Semakin banyak manusia, semakin kompleks pula realisasi kemungkinan, sehingga kita tidak bisa membendung adanya realisasi kejahatan di alam nyata.
Ini di antara titik gelap idealisme sebagai dasar mutlak filosofi hidup. Begitu juga ketika mereka diiming-imingi dengan tawaran yang secara akal itu mungkin, tapi realitas mengatakan itu mustahil. Contohnya, ada bisnis nonton iklan yang hasilnya bisa membuat orang kaya sampai punya rumah seperti istana. Orang yang terlalu idealis akan gampang percaya, karena rujukan mereka hanya alam ide, bukan realitas yang dia jalani.
Kedua, realisme. Ini kebalikan dari jenis pertama. Kalau idealisme rujukannya hanya alam ide, realisme rujukannya hanya fakta dan bukti teramati saja. Kelebihan dari filosofi ini adalah mereka sangat realitastis, tidak “ngomong doang”, dan mereka tidak percaya kecuali ada bukti ril.
Kendati demikian, mereka hanya berhenti pada sesuatu yang terjadi saja. Adapun sesuatu yang sifatnya mungkin, belum terjadi, dan visioner, mereka tidak terlalu suka hal demikian. Dampaknya, mereka hidupnya mengalir begitu-begitu saja, tidak ada perkembangan. Kalau lapar, mereka makan. Adapun besok, tidak perlu dipikirkan. Biar besok terjadi dengan sendirinya. Jadi, tidak ada langkah konkret yang dilakukan untuk masa mendatang.
Tidak ada mimpi yang benar-benar besar bagi mereka. Karena mimpi hanyalah “kebohongan” pikiran yang tidak nyata. Sedangkan kita hidup dalam kenyataan.
Akhirnya, mereka berada dalam kesempitan hidup karena terlampau membatasi opsi dan berkutat pada kepastian jika membuat rencana, sambil membuang kemungkinan yang mereka anggap ilusi.
Ketiga, pragmatis. Salah satu hal penting dalam landasan filosofi ini adalah kebergunaan. Kalau ada sesuatu yang terlalu njlimet walaupun benar, tapi kebergunaannya tidak jelas dan tidak signifikan, maka sesuatu itu tidak perlu.
Ini juga sangat dekat dengan corak realisme, karena titik fokusnya sama-sama terfokus kepada realitas. Tapi, pragmatisme lebih spesifik karena mempertimbangkan aspek kebergunaan.
Memang bagus, tapi mereka gampang diombang-ambing oleh situasi. Karena ketika mereka mendapatkan sesuatu yang berguna hari ini, lalu esoknya tidak berguna, mereka akan mencari sesuatu yang berguna. Dengan kata lain, mereka tidak memiliki pendirian tetap.
Kemudian, mereka rentan terjebak dengan kepentingan. Ketika sesuatu sesuai dengan kepentingan mereka, maka itu akan dianggap benar. Sedangkan, kalau sesuatu itu benar, tapi tidak berguna bagi mereka, maka mereka tidak peduli dengan sesuatu itu.
Selain itu, inilah yang membuat mereka tidak terbiasa dengan hal njlimet, karena itu tidak banyak berdampak secara signifikan dan dalam waktu dekat. Misalnya, ilmu matematika itu mengandung kebenaran eksak. Tapi, sebagian orang menganggapnya tidak perlu karena tidak berguna secara signifikan. Sampai di titik ada yang menganggap “Untuk apa dipelajari? Kegunaannya tidak banyak berguna untuk hidup.” Akhirnya, kuantitas orang-orang yang berpikir secara radikal, fundamental, dan mendalam menjadi berkurang.
Keempat, pembangkang. Dasar ini menganggap bahwa manusia itu secara umum palsu, tidak tulus, dan tidak jujur. Jadi, mereka berharap kalau hal baik itu tidak disandarkan kepada manusia secara umum.
Efek samping dari basis ini adalah mereka banyak kehilangan kebahagiaan. Karena mereka tidak bisa merasakan kebaikan orang lain. Alih-alih merasa terhormat, hanya ada rasa curiga yang mereka simpan untuk orang lain ketika mereka menerima perbuatan baik.
Tapi, sisi positifnya, mereka tidak mudah percaya kepada orang lain. Mereka memiliki kepekaan terhadap manipulasi balas jasa dari orang lain. Jadi, ketika mereka akan dimanfaatkan, mereka tidak bisa digunakan seenaknya. Yang jelas, mereka bisa membaca kejahatan orang lain yang dibalut dengan sampul kebaikan.
Kelima, skeptisisme. Ini adalah dasar untuk meragukan segalanya. Sisi positif dari filosofi skeptis adalah tidak mudah percaya dengan sesuatu. Pun, kalau mereka sampai kepada kebenaran, tidak akan nganggung.
Akan tetapi, jika berlebihan ragu, mereka menghabiskan waktunya dalam mempertanyakan yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan atau tidak butuh banyak pertanyaan. Pada akhirnya, mereka kehabisan banyak kesempatan, karena peluang-peluang action yang sebenarnya bisa digunakan untuk aktualisasi, habis digunakan untuk mempertanyakan.
Keenam, stoikisme. Dasar ini mendorong seseorang untuk mengendalikan emosinya ketika menerima reaksi tertentu. Tentu, hal ini sekilas sangat baik, karena kita tidak mudah memberikan reaksi terhadap sesuatu secara berlebihan.
Tapi, jika overdosis, orang tidak lebih banyak berekspresi. Karena berekspresi secara total itu tidak termasuk dalam emosi terkendali. Padahal, ada beberapa bagian dalam hidup yang perlu diekspresikan. Kalau tidak, hidup kita terasa hambar. Ujungnya, kebahagiaan kita terasa terbatas.
Sebenarnya, masih banyak lagi jenis pemikiran yang mendasar warna karakter seseorang. Sampai saat ini, keenam dasar tersebut sudah mewakili karakteristik seseorang secara umum.
Dosis Tepat
Seperti obat, ragam pemikiran ini memiliki fungsinya masing-masing. Jika kelebihan, maka sampai pada taraf overdosis yang merugikan. Jika tidak pada fungsinya, akan ada sesuatu yang buruk terjadi.
Skeptisisme misalnya, itu cocok digunakan untuk orang-orang yang terlampau mudah percaya terhadap sesuatu. Tapi, ketika berlebihan, ia akan meragukan sesuatu secara berlebihan yang sebetulnya tidak perlu. Pun, jika dipakai bukan pada tempatnya, hanya akan membuat jengkel orang lain dan membuang waktu.
Hal yang sama berlaku pada pemikiran lain. Selama tidak sesuai tupoksi, berlebihan, dan bukan pada tempatnya, apa pun pemikiran itu, ujungnya selalu tidak baik.
Filsafat yang menjadi induk dari semua pemikiran tadi, memberikan penawaran yang pas; kebijaksanaan. Kebijaksanaan ini menuntun kita untuk melakukan sesuatu sesuai porsinya dan sebagaimana mestinya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, kita perlu pintar-pintar untuk melihat, apakah sudah pas ketika menjadi idealis? Apakah tepat jika mengambil tindakan realis? Dan lain sebagainya. Karena seperti yang kita lihat di segmen sebelumnya, bagaimana pun kita menganggapnya canggih, tetap saja di sana kita menemukan kekurangan itu.
Jadi, kita tidak perlu mendewakan produk pemikiran tertentu, apalagi hanya terpaku pada satu corak saja. Perspektif yang sangat luas ada agar kita bisa mengukur keakuratannya. Bukan berarti kebenaran mutlak itu tidak ada, tapi menemukan kebenaran tidak lantas membuat kita menjadi manusia yang kaku.
Wallahu a’lam.