Manusia bersepakat menikmati rasa, tapi berselisih tentang sikap atas rasa. Manusia tidak bisa merdeka dari dekapan rasa, karena inilah akar dari nilai realitas semu. Karena nilai, cinta dan patah hati hadir sebagai makna. Hidup bisa bernilai surga bagi orang-orang yang hidup dalam cinta, bisa pula menjadi neraka bagi mereka yang terpenjara dalam nestapa.
Kita hidup dalam tempur nalar di balik dinding sekolah, ajang lomba prestasi, dan persaingan yang tak berarti. Naasnya, berdamai dengan rasa pun tak kunjung terdengar dalam kurikulum yang katanya memanusiakan manusia. Olahraga yang turnamennya mendunia, tapi olah rasa masih terdengar unik.
Ibnu Sina, dalam Risalah fi Mâhiyyah Al-Huzn menyatakan bahwa sebuah kesedihan datang setelah hadirnya kehilangan di teras hati; tentang apa yang pernah dicinta, tentang hasrat yang sudah pudar.
Uniknya, walau sedih dan cinta berada pada kutub yang berbeda, mereka memiliki syarat yang sama; 1) Subjek. 2) Objek. 3) Rasa. 4) Pengetahuan. Cinta ada karena subjek yang berhasrat atas objek. Tatkala subjek kehilangan objek, maka di sinilah kesedihan itu timbul. Berarti, sedih adalah ketiadaan cinta, tapi setelah cinta hadir. Karena manusia hanya patah hati pada orang yang pernah dicintai.
Bukankah rasa ada setelah adanya pengetahuan baik dan buruk? Syekh Said Fodah dalam Syarh Muthawwal menyatakan bahwa tidak mungkin ada rasa jika tak ada ilmu (pengetahuan). Karena pengetahuan adalah stimulus yang mengundang rasa, sedangkan respon atas rasa adalah sikap. Maka, cinta pada pandangan pertama itu tidak ada.
Berdamai; Sebuah Sikap
Sebagai sebuah pengantar di paragraf awal, sebuah premis sudah terbangun; manusia bisa memilih sikap atas rasanya. Jika manusia tidak bisa memilih jatuh cinta kepada siapa, maka manusia tidak bisa menghindari pilu yang menunggu di alur tak diharapkan.
Sikap manusia adalah berdamai; mereka menerima atas apa yang terjadi; memaafkan pilu yang diamanahkan semesta. Manusia harus mendamaikan antara rasa dan pengetahuan; pengetahuan mendidik rasa agar tidak absurd, rasa mendidik pikiran agar lebih bijaksana. Inilah konklusi dari premis yang rindu akan makna utuh.
Filsafat memiliki satu pondasi primordial; sophos (bijaksana). Bijaksana adalah saat manusia tahu apa yang harus dia lakukan, apa yang dia harus tinggalkan. Ketika manusia tahu bahwa sedih adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja, maka manusia harus belajar bersikap untuk kapan pun.
Jauh di dalam hati, ada sebuah ruangan amat kecil untuk menerima sebuah kenyataan, sebelum pada akhirnya merasa baik-baik saja. Ingatlah, ruangan ini sebaik mungkin, agar ketika kenyataan tidak berjodoh dengan ekspektasi, jalan pulang selalu terbuka tanpa harus tersesat di hutan belantara.
Hasrat
Ibnu Sina, alih-alih menyarankan untuk menghilangkan hasrat, regulasi kepada arah semestinya menjadi sebuah solusi. Jika cinta menjadi fana karena objek fana, maka cinta menjadi kekal karena objek kekal. Keberadaan cinta bergantung dengan keberadaan objeknya. Objek cinta inilah yang menentukan ketahanan cinta.
Seperti dalam awal risalahnya, sedih ada karena kehilangan. Berarti, orang yang tidak pernah merasakan sedih adalah orang yang tidak pernah memiliki. Karena kehilangan ada setelah memiliki. Bagaimana cinta ada tanpa rasa memiliki?
Para pecinta yang terkejut adalah mereka yang kurang memperhitungkan sebuah konsekuensi. Mereka berani bermain api, tapi menolak terkena api. Walau cinta menghadirkan sebuah penasaran dalam hati, mereka lupa bahwa cinta bisa menjadi pisau yang menikam dalam kegelapan; saat mereka mencapai taraf overdosis dalam mencinta, sembari mengira tidak ada penderitaan yang bersembunyi di balik cinta.
Ketika kita mengamini cinta itu memiliki dua sisi, maka kita harus siap dengan konsekuensinya; entah itu menjemput dengan keberanian, menyimpan rapat dalam hati sambil dihantui penasaran, atau mematahkan asa yang terlanjur ada.
Cinta tidak pernah datang kepada orang yang siap, tapi orang-orang harus siap tentang apa saja yang akan dilakukan cinta; berbahagia tatkala cinta itu teramini dan berdamai ketika cinta itu pudar. Intaha al-kalam.
Wallahu a’lam