Saya barusan mendengarkan perbincangan seorang teman dengan kawannya di Indonesia, katanya “jangan belajar filsafat Barat sebelum mempelajari ilmu rasional secara sistematis (tadarruj)”. Takutnya, kata teman saya, jangan sampai terjatuh dalam keragu-raguan sampai pada puncaknya, memutuskan keluar dari agama Islam.
Mungkin ada dari kawan-kawan merasa keberatan dengan ungkapan kawan saya tadi. Tapi, saya perlu jelaskan apa maksud teman saya mengenai menjauhi filsafat Barat itu. Teman saya sudah melihat banyak orang yang meragukan agama karena ketidaktahuan terhadap agama itu sendiri. Maksudnya, dia memandang agama sebagai bentuk “doktrin-dogmatis” yang menghalangi kemerdekaan berpikir. Padahal kalau kita membaca buku-buku akidah yang sudah level advance, di sana pertanyaan kenapa-kenapa-an itu dijawab di sana.
Tapi, kalau kita mau fair, filsafat Barat itu sendiri tidak sepenuhnya menyesatkan. Ada juga yang bisa kita jadikan pelajaran. Misalnya kata Socrates: “Pahami sebelum komentar“. Apakah ungkapan ini menyesatkan? Jelas tidak, justru mengajak kita agar menjadi orang yang lebih bijak ketika berkomentar. Namun masalahnya, ketika bertemu dengan ungkapan pendiri mazhab nihilisme, Friedrich Willhem Nietzche: “Tuhan sudah mati“. Apakah ungkapan ini tidak cukup berbahaya kepada pemula dalam dunia pemikiran atau ilmu-ilmu rasional? Belum lagi jika yang membaca itu bukan orang yang pernah menyentuh khazanah akidah Islam dan tidak pernah mempertanyakan “Mungkinkah Tuhan mati?” Sedangkan salah satu sifat Tuhan adalah qadîm (tidak memiliki batas awal dan akhir). Ya, fakta-fakta seperti inilah yang membuat beberapa guru atau seperti teman saya itu mencegah orang membaca filsafat Barat sebelum menyelesaikan ilmu rasional.
Saya yakin, dari deretan ungkapan di atas akan mengundang segudang pertanyaan yang tidak akan saya jawab satu demi satu, tapi beberapa saja yang berkaitan dengan judul yang kita bahas kali ini. Misalnya saja, seandainya filsafat itu dilarang, bukankah kita berpikir dan filsafat itu berpikir? Dari pertanyaan ini, kita bisa menggarisbawahi kenapa pembahasan konsep filsafat itu penting sekali kita sentuh, bahkan dibahas panjang kali lebar oleh para sarjana filsafat. Sebab, kalau berangkat dari konsep saja keliru, apalagi pembahasan seterusnya. Filsafat diartikan sebagai berpikir, itu salah satu bentuk definisi yang terlalu umum. Kita belum petak-petakkan, filsafat mana yang sebenarnya “dianjurkan” untuk dihindari dan mana filsafat yang sebetulnya tidak perlu kita hindari. Perhatikan poin-poin berikut:
Pertama, Filsafat sebagai metodologi berpikir. Dari pertanyaan tadi, sebenarnya sedang menyasar filsafat yang masuk dalam bagian pertama ini. Kita berpikir karena tabiat dan kodrat manusia adalah berpikir, bahkan berpikir itulah yang membedakan kita dengan hewan dan tumbuhan. Filsafat yang masuk bagian ini sebetulnya tidak perlu kita hindari, sebab alih-alih menyesatkan, malahan dengan mendalami bagian ini akan membuat kita menjadi sosok yang kritis, menjujung tinggi kebenaran, menghindarkan kita dari kesalahan berpikir. Ilmu logika yang merupakan tahap awal filsafat, sebenarnya sudah masuk dalam filsafat bagian ini.
Kedua, Filsafat sebagai produk pemikiran. Nah, filsafat bagian inilah yang “mengandung” kesesatan. Sebagai pelajar yang berusaha mendalami akidah-filsafat, saya mengakui itu. Tapi, perhatikan sekali lagi, bahwa mengandung kesesatan, bukan berarti semuanya sesat. Lagipula, kesesatan itu bersumber dari tokoh yang bersangkutan sendiri. Apa kaitannya dengan tokoh? Kita sedang membahas filsafat dari segi “produk pemikiran”, artinya filsafat yang seperti ini sudah melewati proses pemikiran tokoh tertentu yang kadangkala sifatnya subjektif. Kenapa sifatnya subjektif? Karena tokoh-tokoh itu mengeluarkan pemikiran berdasarkan pengetahuan yang mempengaruhi pemikirannya. Lagipula, kita semua mengamini bahwa kebenaran tidak dipegang oleh individu tertentu. Di bagian ini masuklah filsafat Timur, Barat, dan lain-lain.
Dari poin kedua ini, mungkin ada pertanyaan, kenapa kita menghindari belajar filsafat Barat? Sedangkan kita sudah mengamini bahwa ada sisi yang salah dan benarnya kan? Begini, ada sebuah ungkapan bahwa “Ciri seorang alim, ketika dia bisa menemukan madu di wadah yang penuh racun“. Artinya, orang tidak bisa membedakan mana benar atau salah ketika tidak memiliki “bekal” untuk membedakan keduanya. Dengan demikian, ungkapan “Ambil benarnya saja” tidak cocok untuk orang awam, sebab mereka tidak memiliki bekal tertentu untuk memilah informasi. Apa bekal yang dibutuhkan itu? Itulah ilmu-ilmu rasional yang pernah saya singgung dalam salah satu tulisan yang lalu.
Sekarang, kita sudah tahu kalau masuk ke dalam filsafat produk pemikiran, itu berbahaya. Apakah hanya barat? Sebetulnya kalau kita melihat lagi, di dalam tubuh filsafat Timur juga ada bermasalah. Bahkan, ada banyak aliran dalam tubuh Islam sendiri yang produk pemikirannya iti bermasalah. Misalnya saja, ketika Imam Al-Ghazali mengkritik Ibnu Sina dalam Tahâfut Al-Falâsifah, bukankah Imam Al-Ghazali mengkritisi sosok filusuf Timur? Kalau kita membaca buku sejarah, terkhusus biografi Ibnu Sina, beliau termasuk filusuf Timur. Bisa dibaca lebih lanjut dalam buku Mausu’ah Al-Falsafah Al-Islâmiyyah karya Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq (Mantan Menteri Wakaf Mesir, Anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar).
Persoalan selanjutnya, kita sudah melihat kalau langsung masuk saja ke arena tempur pemikiran itu sangat berbahaya dan berisiko bagi orang yang belum matang di ilmu rasional. Tapi, bukankah ada kemungkinan selamat? Dan bukankah setelah matang ilmu rasional itu tetap ada kemungkinan jatuh dalam kesesatan? Kita bisa menjawab, iya. Namun, perlu dirincikan lagi, bahwa sekalipun kita tidak bisa lolos dari kemungkinan itu, bukan berarti kemungkinan itu memiliki taraf yang sama. Misalnya, bisakah orang jalan kaki dan berenang dari pulau Sulawesi ke pulau Jawa? Jawabannya, iya. Kalau ditanya mungkin sampai, kita jawab, iya mungkin sampai. Tapi, apakah jalan kaki dan berenang itu lebih memungkinkan dan efektif sampai ke pulau Jawa dibandingkan menggunakan transportasi? Mari panggil nalar sehat untuk berkata tidak. Nah, sama dengan persoalan tadi, mungkin saja orang selamat dari kesesatan ketika sudah membaca buku perang pemikiran. Tapi, seberapa besar kemungkinan selamatnya dibanding mereka yang sudah mantap dalam ilmu rasional? Seperti itu.
Oke, kalau misalnya kita sudah tahu berbahaya dan kita sudah melihat kemungkinan berbahayanya, lantas bagaimana solusinya? Jawabannya belajar ilmu rasional dan akidah secara sistematis. Cari guru yang berkompeten, yang ilmunya diakui oleh ahli dan sanadnya jelas. Tapi, bagaimana kalau di daerah kita orang yang layak mengajar itu tidak ada? Saya pribadi bisa memberikan dua alternatif; Youtube dan Bacaan. Tapi tetap mematuhi sistematika belajar ilmu rasional, seperti mulai dari logika (manthiq), kategori (maqûlat), debat (adab al-bahts wa al-munâzharah), dan al-umûr al-‘ammah. Ini juga bisa dibarengi dengan ilmu akidah, seperti ‘Aqîdah Al-‘Awâm, Syarh Al-Muqaddimât, Syarh Al-Sughrâ Sughrâ, Syarh Al-Sughrâ (Umm Al-Barâhin), Syarh Al-Wusthâ, Syarh Al-Kubrâ dan seterusnya. Ilmu akidahnya bisa mulai dari awal kalau ingin fokus di ilmu rasional dulu.
Untuk Youtube, saya bagi dua, ada berbahasa Indonesia dan ada berbahasa Arab. Untuk bahasa Indonesia, bisa buka link ini kalau ingin mulai dari kitab Sullam Al-Munawraq (mantik dasar). Kalau ingin Syarahnya: Idhâh Al-Mubham, bisa buka playlistnya di sini. Kemudian, kalau ingin lanjut ke Mughni Thullab (Syarah Isaguji), bisa buka link ini. Kemudian jika ingin lanjut lagi ke Tahdzib Al-Khabîshi (Syarh Tadzhîb karya Imam Al-Taftazani), bisa buka link ini. Dan ada lagi yang lebih tinggi dari kitab itu, yakni Al-Syamsiyyah. Sayangnya, saya tidak mendapatkan link berbahasa Indonesia untuk itu.
Kemudian, untuk ilmu kategori, ada beberapa kitab. Untuk kitab Ta’rîf Al-Maqûlat karya Imam Abi ‘Alyan Al-Syafi’i, bisa buka link ini. Kemudian untuk Al-Maqûlat Al-‘Asyarah, bisa buka link ini. Tapi saya lihat videonya tidak berbentuk playlist, jadi cukup buka link tersebut lalu cari urutan video di channel tersebut.
Sayangnya, ilmu debat yang dijelaskan secara khusus dalam bahasa Indonesia, tidak saya temukan. Begitu juga dengan al-‘umûr al-‘ammah. Dengan kata lain, saya bisa memberikan alternatif di sini, yakni mempelajari Risâlah Aqsâm Hukm Al-‘Aqli di link ini.
Adapun tahapan ilmu akidah, bisa di petakkan menjadi beberapa kitab. Mulai dari Al-Kharidah Al-Bahiyyah, di link ini. Kemudian, bisa masuk ke Jalâ’ul Afhâm (Syarh ‘Aqidah Al-‘Awam) di link ini. Lalu, masuk ke Jauhar Al-Tauhid di link ini. Bisa juga versi Habib Baghir Assaggaf di link ini. Kemudian masuk ke Tadzhîb Al-Kalâm karya Imam Al-Taftazani di link ini. Dan setelah kitab ini, saya tidak menemukan pembahasannya dalam bahasa Indonesia.
Adapun bacaan, untuk saat ini saya hanya bisa merekomendasikan buku dari dua orang, yakni Muhammad Nuruddin dan Dr. Kholilurrahman (Founder Tauhid Corner).
Kalau bahasa Arab, itu bisa dimulai dari belajar mendengar dan membaca, tapi secara mendalam. Artinya, indera penangkap kita harus dilatih dulu sebelum mendengar penjelasan para masyaikh kita. Bisa mungkin dulu belajar di tempat khusus (Seperti di Markaz Arabiyyah di Kampung Bahasa, Pare misalnya) yang fokusnya melatih kita mendengar dan membaca. Membaca ini dua fungsinya, melatih kita menelaah dan belajar.
Kemudian, kalau masuk ke dalam, bisa cari videonya Syekh Said Foudah, Syekh Husam Ramadhan, Syekh Abdul Hamid Al-Turmani, Syekh Ramadhan Al-Buthi (Khususnya Kubrâ Al-Yaqiniyyât), Syekh Jamal Fâruq, Syekh Hisyam Kamil, Syekh Hasan Al-Syafi’i, Syekh Salim Abu ‘Ashi dan lain-lain.
Tapi, khususnya al-‘umur al-‘ammah, saya hanya mendapatkan penjelasan itu melalui mazhab Syi’ah, Syekh Fadhil Al-Jazâ’iri. Sebagai gantinya, bisa membaca bagian awal-awal kitab Al-Qaul Al-Sadîd fi ‘Ilm Tauhîd, karya Prof. Dr. Abu Daqiqah. Bisa didownload di sini. Juga, buku Al-Madkhâl ilâ Al-Umûr Al-‘Ammah karya Syekh Ahmad Al-Syadzili. Namun akses kitabnya secara online, tidak saya temukan.
Lebih lanjut mengenai akses referensi para guru-guru di Al-Azhar, khususnya dalam kitab akidah, bisa hubungi penulis melalui akun sosial media, seperti Facebook, Instagram, dan lain-lain.
Ini solusi yang bisa ditawarkan oleh saya pribadi bagi yang belum mendapatkan guru yang pas untuk belajar. Jawaban saya seperti ini sudah disetujui oleh salah satu guru di Mesir. Juga, beliau memberikan tambahan bahwa kalau tidak dapat guru, rajin-rajin bersalawat. Karena salawat adalah guru bagi yang belum menemukan guru. Juga kalau filsafat Barat itu merupakan tuntutan kampus, ya silahkan dilanjutkan. Juga harus dibarengi dengan kajian ilmu rasional dan akidah secara sistematis. Sebab, belajar lompat-lompat itu tidak menghasilkan ilmu yang kokoh.
Wallahu a’lam