Dahulu, sewaktu Nazi yang dipimpin oleh Hitler, ada sebuah teori propaganda yang dimotivasi oleh salah satu tokoh mereka, Paul Joseph Goebbels. Ia mengeluarkan sebuah diktum bahwa ketika kita menyebarkan suatu kebohongan secara berulang kepada publik, maka publik bisa percaya bahwa yang disebarkan itu adalah sebuah kebenaran. Artinya, kesan tentang kebenaran itu bisa tercipta, sekalipun terhadap sesuatu yang faktanya bertentangan dengan sesuatu yang kita yakini.
Anggaplah Anda memiliki sebuah tugas untuk mengantarkan sebuah barang kepada seorang wanita muda nan cantik. Ketika Anda memberikan barang itu, di saat yang sama ada orang yang melihat kejadian itu. Di tengah pantauan, Anda ternyata memberikan sebuah informasi lebih lanjut tentang pengiriman barang itu dan tanpa diduga, orang menyuruh Anda itu menitipkan setangkai bunga. Anda juga memberikan bunga itu kepada wanita yang dimaksud. Saat itu, wanita yang menerima bunga itu senyum seperti tersipu malu.
Apa kira-kira yang terlintas di kepala orang yang memantau itu? Bisa macam-macam. Kalau menggunakan akal orang awam yang mudah terbawa dengan sebuah prasangka, orang yang melihat bisa menduga bahwa Anda itu pacaran dengan wanita yang Anda bawakan barang. Kenapa? Ada kesan yang kuat untuk sampai ke sana (dengan logika yang seperti itu). Itu dimulai Anda yang kelihatannya membawa sebuah barang, kemudian memberikan informasi lebih lanjut yang bisa saja membuat Anda lama berbicara, dan pada titik klimaksnya Anda memberikan setangkai bunga yang diikuti dengan senyuman manis yang menunjukkan perasaan tertentu. Kesan ini juga muncul karena tidak ada hal lain yang membantah kesan itu, seperti Anda hanyalah sebuah suruhan dari seseorang. Artinya, barang itu bukan berasal dari inisiatif Anda, tapi ada orang lain di balik itu.
Bagaimana jika seandainya orang yang memantau Anda ini adalah orang yang mulutnya bagai ember bocor yang apapun masuk ke isinya, airnya mengalir ke mana-mana? Memang kita jika melihat kebenarannya, kita akan berkata bahwa ini bukanlah hal benar. Tapi, bagaimana jika orang-orang yang tidak mengetahui kebenarannya main asal terima saja? Ditambah lagi tidak semua orang punya kecakapan dalam memilah sebuah informasi, mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya, berawal dari sebuah pertemuan yang berangkat dari tugas sebagai utusan, sampai Anda dipercaya oleh banyak orang kalau Anda sedang menjalin hubungan khusus. Coba bayangkan, hanya menjalankan tugas sampai kepada dilabeli pacaran dengan orang lain. Sangat tidak nyambung. Juga, poin yang disampaikan ini merupakan kesan tentang sesuatu yang dia lihat, bukan sebagaimana apa yang dia lihat dan bersih dari kesan-kesan tertentu.
Apa dampak informasi bagi kita? Kenapa sebegitu penting dipastikan kebenarannya? Informasi itu akan mempengaruhi pikiran kita. Semakin banyak informasi, maka pikiran kita bisa semakin terpengaruh. Begitu juga perbuatan, dia lahir dari pikiran. Semakin banyak informasi palsu sampai kepada kita lalu kita menerimanya begitu saja, maka saat itu perbuatan kita diperalat oleh kebohongan berita palsu itu. Pernahkah Anda mendengar orang lain membenci atau mencintai orang yang belum dia pernah temui? Ya, itu tidak lain karena informasi. Sikap cinta dan benci itu bisa lahir tergantung bagaimana informasi yang sampai kepada kita.
Apa kaitannya dengan ilmu hadis? Kaitannya, sama-sama membicarakan tentang transmisi informasi. Ilmu hadis membicarakan bagaimana hadis itu sampai kepada kita dan bagaimana keutuhan isi (matan) dari hadis tersebut. Semakin ke sini, kebenaran transmisi sebuah hadis perlu diteliti semakin mendalam. Sebab, hadis salah satu sumber otoritatif dalam agama kita. Makanya sangat penting menjaganya. Saya tidak perlu panjang lebar menjelaskan pentingnya menjaga keaslian dari hadis. Karena secara umum sudah dipahami. Ini secara garis besar yang berfokus kepada periwayatan. Sebenarnya, ilmu ini memiliki dua poin besar; 1) Riwâyah. 2) Dirâyah. Tapi, bukan tempatnya membahas dua hal ini secara mendalam pada tulisan ini. Semoga ada waktu untuk membahasnya. Di sini, saya hanya akan memberikan gambaran umum saja.
Sebelum itu, perlu dicatat kalau ilmu hadis dan hadis itu sendiri adalah dua hal berbeda. Karena ilmu hadis berkaitan dengan metodologi seputar hadis, entah membahas bagaimana cara memahaminya, aspek periwayatan, keaslian isi hadisnya, dan lain sebagainya. Sedangkan hadis itu sendiri merupakan objek yang dikaji oleh ilmu hadis. Ini gambaran umum juga, karena nanti ilmu hadis sangat banyak cabangnya.
Sikap Kritis
Dalam menerima informasi apapun, kita harus memiliki sikap kritis. Maksud dari sikap kritis ini adalah kita bersikap sebagaimana seharusnya. Sebuah informasi yang berasal dari orang lain, tentu tidak harus kita terima mentah-mentah begitu saja. Di samping kita melihat bagaimana orang yang menyampaikan ini berpotensi berbohong, kita juga melihat konten yang diriwayatkan atau disampaikan ini berpotensi mengalami distorsi informasi. Saya berikan Anda sebuah ilustrasi.
Anggaplah Anda adalah seorang pemimpin negara. Di tengah Anda menjabat, ada beberapa pengusaha ikan dan ayam yang selalu mengkritisi Anda selaku pemimpin. Mereka juga tidak mau patuh dengan peraturan yang Anda buat. Di sisi lain, Anda mau makan dan di sana ada peliput berita yang melihat plus membawa kamera untuk mengabadikan aktivitas Anda. Di atas meja, ada ikan, ayam, telur, daging sapi, nasi, dan sayur. Semua Anda makan, kecuali ikan dan ayam. Ingat, di ini ada banyak wartawan yang melihat itu dan bentuk-bentuk cerita yang mungkin saja disampaikan di media;
Pertama, pemimpin negara ini memiliki dendam pribadi dengan pengusaya ayam dan ikan. Itulah kenapa pemimpin ini tidak mau memakan produk mereka. Ditambah lagi, ini depan media. Jelas, ada niat terselubung dari pemimpin ini.
Kedua, pemimpin ini tidak suka makan ikan dan ayam. Makanya dia sengaja tidak makan itu.
Ketiga, pemimpin ini tidak makan ikan dan ayam karena merasa tidak butuh. Mungkin juga tidak suka ramai.
Keempat, pemimpin ini alergi ikan dan ayam. Makanya, dia tidak makan keduanya.
Dan masih banyak lagi kemungkinan lain yang bisa muncul di sana. Juga, coba perhatikan keempat narasi yang dibuat oleh wartawan itu. Fakta yang telihat di sana adalah pemimpin tidak makan ikan dan ayam. Titik. Terus, kita bisa bertanya begini, dari mana munculnya narasi bahwa pemimpin ini punya dendam? Pemimpin ini tidak suka makan ikan dan ayam? Merasa tidak butuh? Dan alergi ikan dan ayam? Tentu ini hanya kesan atau “dongeng” atas fakta yang dibuat oleh wartawan itu. Kesan atas fakta, sifatnya subjektif, bukan fakta itu sendiri. Sedangkan fakta itu sifatnya objektif.
Ini disebabkan otak manusia lebih suka sebuah narasi yang memiliki tekanan-tekanan emosi dibanding narasi informatif-deskriptif saja. Ini bisa dibuktikan dengan menuliskan otobiografi. Apakah orang yang menuliskan biografinya itu akan menggunakan narasi yang datar-datar saja tanpa ada bagian-bagian tertentu yang agak melebih-lebihkan? Tentu tidak, sebab manusia ketika menceritakan sesuatu, selain membicarakan fakta, kesan terhadap fakta juga dia sisipkan di sana. Sehingga ketika sampai di telinga orang, fakta dan “dongeng” yang dibuat atas fakta itu juga ikut di sana. Ini yang kadang membuat orang sulit membedakan mana fakta dan kesan atas fakta itu sendiri.
Makanya sikap kritis ini sangat diperlukan ketika menerima informasi baru. Sebab, ketika kita bisa memisah-misahkan mana fakta dan yang bukan fakta, maka kita akan mengetahui kebenaran atau yang dekat dengannya. Sebab, kebenaran itu sebenarnya bisa disampaikan tanpa ada unsur emosi di sana.
Selain itu, kita juga menguji kelogisan sebuah informasi yang muncul. Jangan sampai informasi yang sampai kepada kita itu tidak logis kan? Seperti keempat narasi di atas. Apa bukti konsekuensi logis keempat narasi itu dengan fakta itu sendiri kan? Dalam kajian hadis, ini juga bisa terlihat dalam hadis-hadis palsu. Isinya selalu tidak logis, seperti hadis palsu yang menyatakan bahwa jika siapa saja yang makan terong yang dijual oleh pedagang tertentu, maka penyakitnya otomatis sembuh. Atau ada juga hadis palsu yang menyatakan barangsiapa yang mengucapkan zikir tertentu, maka langsung dijamin masuk surga tanpa hisab. Kita bisa bertanya, bagaimana kalau dia bermaksiat dengan meninggalkan salat dan kewajiiban lainnya? Di sini ada sisi yang bertabrakan dengan riwayat lebih kuat dan terdapat kontradiksi dengan hal yang cukup penting; lolos dari hisab tidak semudah itu.
Di sinilah pentingnya studi kritis matan hadis. Sebab, selain ada perawi yang perlu diuji, konten yang dibawakan juga perlu diperiksa keotentikannya, jangan sampai di tengah perjalanan ada distorsi atau pergeseran redaksi matan yang berubah dari satu perawi ke perawi yang lain. Sebabnya bisa banyak, bisa karena tidak adil dalam menyampaikan informasi seperti menyusupkan kesannya atas fakta, bisa jadi karena level hafalannya yang rendah sehingga keakuratannya menurun.
Distorsi
Di antara aktivitas pertukaran informasi yang kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari adalah gosip. Saya perhatikan gosip ini memiliki rantai sanad yang bisa dibilang cukup luas dan masif, apalagi kalau circle orang ini luas. Ceritanya bisa kemana-mana. Hari ini mungkin hanya orang rumah saja tahu ceritanya. Besoknya, negara sebelah sudah bisa tahu informasinya.
Anggaplah begini, Anda memiliki anak yang lulus beasiswa pemerintah di luar negeri. Kebetulan Anda memiliki relasi yang cukup kuat dengan pemerintah. Orang sekitar Anda tahu juga kalau Anda memiliki relasi yang kuat dengan pemerintah. Faktanya, hanya sampai di sini, tidak kurang dan tidak lebih.
Namun, ketika orang bergosip, di sana tidak ada “filter kebenaran”, sehingga asumsi atau dugaan saja bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran. Saya bisa buktikan dengan membuat sebuah premis keliru:
Premis 1: Anak Anda lulus beasiswa pemerintah di luar negeri.
Premis 2: Anda memiliki relasi kuat dengan pemerintah.
Konklusi: Anda bersekongkol dengan pemerintah untuk meluluskan anak Anda (?)
Padahal, ada kemungkinan lain yang bisa ada itu dinafikan begitu saja. Kan bisa saja anak Anda itu lulus tanpa ada permainan orang dalam, sekalipun di saat yang sama Anda adalah orang yang memiliki relasi kuat dengan pemerintah. Kemungkinan ini juga logis adanya. Tapi, karena sebagian orang lebih suka konten narasi yang ada tekanan emosinya, makanya kalau ada dugaan yang tidak-tidak itu lebih mudah diterima daripada kebenaran yang deskriptif saja. Juga, kalau kita berhenti pada dua premis di atas tanpa melanjutkan ke konklusi itu akan lebih aman dari kesimpulan yang keliru dan tidak berdasar.
Ini belum lagi kalau ini dilanjutkan kepada orang lain, semakin banyak kesan baru yang bisa bertambah. Misalnya, di orang selanjutnya yang sudah mendengar gosip ini, akan menghadirkan lagi asumsi baru: “Oh, kalau begitu berarti si A ini menggugurkan orang lain dong, karena anaknya lulus dengan haknya orang lain”. Di sini, sudah ada kesan bersekongkol, ada lagi kesan bahwa Anda mengambil hak orang. Padahal, fakta yang ada hanya dua: 1) Anak Anda lulus beasiswa. 2) Anda memiliki relasi yang kuat dengan pemerintah. Itu saja, selebihnya hanya kesan yang diduga kebenaran. Kenapa dikira kebenaran? Karena selain diketahui secara meluas, berita itu disampaikan secara berulang-ulang. Ini seperti pada teori propaganda yang saya sampaikan pada paragraf pertama.
Dalam ilmu hadis, nanti ada istilah sanad ‘ali dan nâzil. Maksudnya sanad ‘ali ini adalah hadis yang perawinya sedikit dan bersambung sanadnya. Sedangkan yang satunya perawinya banyak. ‘Ali itu artinya tinggi. Dinamakan demikian karena kualitas hadinya lebih tinggi. Sedangkan nâzil artinya bawah. Dinamakan demikian karena kualitasnya ada di bawah hadis yang sanadnya ‘ali. Kenapa sanad ‘ali kualitasnya lebih tinggi? Karena kemungkinan distorsinya dan kesalahan hadisnya berkurang. Sebab, semakin panjang rantai sebuah informasi, kemungkinan bergesernya redaksi asli informasi bisa semakin bergeser. Inilah juga yang menjadi alasan kenapa sanad nâzil kualitasnya ada di bawah.
Ini belum lagi melihat kualitas orang-orang yang menyampaikan informasi itu ke orang lain. Bisa saja ada yang kuat hafalannya sehingga hal-hal detail yang tidak diingat orang lain bisa dia ingat. Ada juga yang meriwayatkan orangnya aslinya jujur, tapi hafalannya lemah sehingga ingatannya teracak-acak. Ada juga yang menyampaikan cuman mau tenar, gengsi menyematkan nama orang yang tidak terkenal dan tidak terpandang yang diambil informasi darinya sehingga sanadnya terputus. Ada yang mencampuradukkan fakta dan asumsinya, sehingga kalau orang mendengarnya, mengira semua yang disampaikan itu fakta. Ada bahkan mengada-ngada lalu mengklaim kalau yang dia sampaikan adalah sebuah kebenaran. Di sinilah pentingnya mengkaji para periwayat hadis dan mengidentifikasi orang yang menyampaikan informasi ke kita. Gunanya tidak lain untuk menjaga keotentikan hadis itu. Ini juga berguna dalam kehidupan sehari-hari, supaya kita tidak mudah termakan hoax.
Skeptis
Imam Al-Ghazali dalam Mizân Al-‘Amal menyampaikan bahwa skeptis itu membawa kita kepada kebenaran. Sebab, orang skeptis itu menggunakan akalnya dan tidak mudah percaya begitu saja. Ini terlihat bagaimana sikap Sayyidina Abu Bakar Al-Shiddiq, Sayyidina Umar bin Khattab, dan beberapa sahabat lain sangat berhati-hati dalam menerima hadis. Bukan hanya ditanyai saksi “transaksi informasi” itu, tapi juga kadang sampai disuruh bersumpah. Ada juga kadang yang menunggu satu tahun lalu dicek pada tahun selanjutnya, apakah informasi yang dia dapatkan dari Nabi itu konsisten atau tidak. Jika tidak, maka keabsahan informasinya dipertanyakan. Inilah di antara sebab, kenapa para sahabat itu sulit terpapar berita palsu. Tidak lain adalah sikap skeptis.
Begitu juga kalau kita mendengarkan informasi dari orang baru, kita harus mengecek lagi, apa iya yang disampaikan ini sebuah kebenaran? Atau apakah dia sendiri ada di kejadian itu? Ini juga diamalkan oleh para jurnalis, sebuah berita yang datang dari orang yang tidak ada di kejadian tertentu dan tidak ada tempat dia merujuk kecuali pikiran atau asumsinya saja, dianggap hoax. Sebab, itu tidak membicarakan fakta, tapi kesan atau dugaan saja.
Jadi, titik kegunaan ilmu hadis dalam kehidupan kita adalah filterisasi informasi. Kalau kita melihat ilmu hadis tidak sekedar di dalam hadis saja kegunaannya, maka kita bisa melindungi diri dari paparan informasi palsu. Sebab, sekali lagi, informasi apapun bisa mempengaruhi perbuatan kita, baik informasi itu benar atau tidak. Maka penting memastikan informasi yang kita terima benar, supaya perbuatan kita berlandaskan informasi yang benar.
Wallahu a’lam