Suatu hari, saya bersama sahabat saya mengelilingi salah satu pabrik roti khas Mesir, isy namanya. Roti isy merupakan makanan pokok orang Mesir, sebagaimana kita menganggap nasi sebagai makanan pokok. Ternyata, isy itu terbuat dari gandum, tepung, ada sedikit gula, dan lain sebagainya. Nanti, bahan-bahan itu dijadikan adonan lalu dipotong kecil agar nanti bisa dimasukkan ke oven lalu mengambang menjadi isy yang sering disaksikan di pinggiran jalan kota Kairo.
Beberapa lima menit pertama, adalah momen saat roti itu masih panas dan hangat. Banyak kawan yang suka dengan roti isy menit awal. Karena ada kesan “kriuk”-nya sedikit dan aromanya enak.
Kalau kita perhatikan, isy itu ada setelah mengalami prosedur khusus, yakni melewati proses pembuatan di pabrik untuk ada. Begitu juga panas dan aroma khas yang meliputi roti tersebut.
Di sini, ada dua hal yang kita sebut dengan “ada”. Yakni, roti isy dan panas yang melekat pada roti isy itu. Ulama kalam mengistilahkan konsep keberadaan roti isy ini dengan al-ajrâm atau al-jirm. Sedangkan suhu panas dan aroma khas yang meliputi roti itu, diistilahkan dengan al-a’râdh. Ini adalah dua konsep al-maujȗd dalam ilmu kalam. Ada lagi dua konsep keberadaan lainnya yang sangat berbeda dengan konsep keberadaan roti isy itu, maka totalnya ada empat. Inilah yang diistilahkan dengan al-maujȗdât al-arba’ah.
Kata al-maujudât berasal dari kata al-maujȗd yang bermakna sesuatu yang ada, sementara al-arba’ah berarti empat. Jika dijadikan sebagai satu frasa al-maujȗdât al-arba’ah, maknanya adalah empat konsep tentang keberadaan.
Sebelum kita membahas keempat konsep itu, kita akan mengenal dua istilah penting memudahkan memahami konsep tersebut.
Al-Mukhassish dan Al-Mahal
Dua istilah ini berkaitan dengan sesuatu yang ada, tapi dilihat dari segi sesuatu itu sendiri dan sesuatu yang meliputinya. Misalnya, ada orang bernama Isra dikenal dengan karakternya yang asik di tongkrongan. Isra, sebagai entitas yang ada di alam semesta, dia itu butuh kepada sesuatu yang lain untuk mengadakannya. Keterbutuhan Isra kepada sesuatu yang mengadakannya, inilah yang nanti disebut dengan butuh kepada al-mukhassish.
Apa itu al-mukhassish? Al-mukhassish bisa diartikan mengkhususkan. Apa yang dikhususkan? Sesuatu yang umum. Apa yang dimaksud dengan sesuatu yang umum? Sesuatu yang mumkin. Segala hal yang ada selain Tuhan, maka dia tergolong mumkin. Mengapa? Karena selain Tuhan menerima peluang dan kemungkinan ketiadaan, atau sebaliknya. Misalnya, saat ini manusia ada. Bisa saja esok hari tidak ada. Bisa saja hari ini sedang krisis akhir bulan, tapi bisa saja beberapa menit mendatang, ada giveaway miliaran rupiah tanpa disangka-sangka.
Jadi, karena sesuatu yang mumkin ini memiliki dua peluang atau lebih, maka ia “terkhususkan” oleh entitas yang diistilahkan dengan al-mukhassish. Misalnya, pada jam dua siang, saya memiliki dua kemungkinan untuk beberapa waktu mendatang; Pertama, tiba-tiba menikah karena ada satu lain hal. Kedua, tetap pada status jomblo. Ketika memasuki waktu berikutnya, ternyata saya masih jomblo. Berarti, pada saat saya memasuki waktu tadi, saya “terkhususkan” oleh al-mukhassish.
Siapa itu al-mukhassish? Entitas mutlak yang mengkhususkan sesuatu sesuai kehendak-Nya. Seperti, mengadakan, meniadakan, dan lain sebagainya. Satu-satunya yang berhak menyandang istilah itu adalah Tuhan saja.
Kembali ke sosok Isra yang asik. Kita fokus kepada sifat asik yang melekat pada sosok Isra. Sifat asiknya Isra, tidak mungkin melekat kepada sesuatu selain Isra. Karena jika melekat kepada selain Isra, maka dia tidak bisa ada. Karena sifat, tidak bisa ada kecuali memiliki tempat berinang‒dalam hal ini, Isra sebagai tempat berinang bagi sifat-sifatnya. Tempat berinangnya sifat ini disebut dengan al-mahal.
Singkatnya, al-mukhassish itu sesuatu yang mengkhususkan, sedangkan al-mahal adalah tempat berinangnya sifat atau al-aradh. Karena tabiat sifat sejak awal, berinang. Bukan berdiri secara independen.
Dari dua istilah ini, lahirlah empat hal; sesuatu yang tidak membutuhkan al-mukhassish dan al-mahal. Sesuatu yang tidak butuh al-mukhassish, tapi ada di al-mahal. Sesuatu butuh al-mukhassish, tapi tidak butuh al-mahal. Sesuatu yang butuh al-mukhassish dan al-mahal.
Al-Maujȗdât Al-Arba’ah
- Sesuatu yang tidak membutuhkan al-mukhassish dan al-mahal.
Bagian pertama ini hanya layak bagi Tuhan. Hal ini jelas, Tuhan tidak butuh kepada apapun, karena Dia sendirilah yang menjadi al-mukhassish.
Imam Al-Sanusi (w. 895 H) menjelaskan bagian ini dengan beberapa fragmen di dalam bukunya yang berjudul Syarh Al-Muqaddimât. Kita akan bagi menjadi beberapa poin:
Pertama, Tuhan tidak butuh al-mahal. Dasarnya, Tuhan itu bukan sifat. Karena yang ber-mahal itu hanya sifat. Seandainya Tuhan itu sifat, maka tidak mungkin Tuhan disifati dengan sifat. Mengapa? Untuk apa menyifati Tuhan dengan sifat jika Tuhan itu sendiri sifat? Ini mustahil. Karena kenyataannya Tuhan itu disifati dengan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, maha dipastikan Tuhan bukan sifat.
Kedua, Tuhan tidak butuh al-mukhassish. Seandainya Tuhan itu butuh kepada al-mukhassish, maka Tuhan tidak lagi memiliki sifat qidam dan baqâ’. Alasannya, kedua sifat tersebut menafikan kemungkinan ketiadaan. Jika qidam itu meniadakan keberawalan, maka sifat baqa’ meniadakan keberakhiran. Sesuatu yang butuh kepada al-mukhassish, pasti memiliki peluang untuk tiada. Jika Tuhan memiliki peluang untuk tiada, maka pada saat itu ia tidak memiliki perbedaan dengan makhluk lain; hudȗts. Pada saat itu, Tuhan tidak lagi menjadi Tuhan. Tentu, hal ini mustahil terjadi pada Tuhan.
Jika seandainya Tuhan itu terkhususkan, maka yang mengkhususkan itu lebih layak menjadi Tuhan, daripada yang diasumsikan Tuhan ini. Jika Tuhan terkhususkan, tapi tidak ada yang mengkhususkan, maka akan terjadi tarjîh bi lâ murajjih; sesuatu terberatkan tanpa ada yang memberatkan. Hal ini mustahil juga. Karena hukum akal universal mengatakan bahwa sesuatu yang tersebabkan, harus memiliki sebab, sebagaimana sesuatu yang terberatkan dan terkhsuskan, butuh kepada sebab. Dengan kata lain, ini meniscayakan ada akibat tanpa sebab. Ini titik kemustahilannya
Dari bagian kedua ini, ada dua keniscayaan, yaitu Tuhan bukan lagi bagian dari hal fisikal tiga dimensi (jirm) dan tidak bisa disandarkan kepada-Nya kekhususan hal fisikal.
Hal fisikal itu pasti huduts, butuh kepada al-mukhassish yang mengkhususkan keberadaannya, memiliki ukuran, ruang, waktu, sifat, dan arah yang terkhususkan. Karena hal fisikal itu terkhususkan. Ini disucikan dari Dzat Tuhan.
Kemudian, yang dimaksud dengan kekhususan benda fisikal adalah diliputi massa, waktu, ruang, arah, dan sifat yang berubah-ubah. Ini disucikan juga dari Tuhan.
- Sesuatu yang tidak membutuhkan al-mukhassish, tapi ada di al-mahal.
Hal ini hanya berlaku bagi sifat Tuhan saja. Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, sifat itu pada dasarnya mustahil ada jika tidak berinang pada sesuatu yang disifati. Namun, untuk sifat Tuhan, ia tidak butuh kepada al-mukhassish, karena jika butuh kepada al-mukhassish, maka dia pasti memiliki kemungkinan lain‒dalam hal ini, mungkin tiada. Hal ini mustahil.
Lalu, apa yang menjadi argumen dasar bahwa sifat harus berinang kepada Dzat? Dengan kata lain, apa yang menunjukkan kemustahilan sifat itu ada dengan sendirinya tanpa berinang kepada objek sifatnya (al-maushȗf)? Jawabannya, seandainya tidak ada sifat, maka tidak ada makna pada Dzat. Seandainya, sifat tidak ada pada Dzat, maka tidak mungkin sifat itu menjadi sifat bagi sifat untuk Dzat, tidak pula untuk sesuatu yang lain. Dengan kata lain, sifat itu tidak akan ada. Maka dari itu, sifat harus berinang pada Dzat.
Apakah ini berarti sifat Tuhan “butuh” kepada Dzat Tuhan karena tidak mungkin ada sifat jika tidak ada Dzat? Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dikritik oleh Imam Al-Sanusi, karena menyandarkan keterbutuhan (al-iftiqâr) kepada sifat Tuhan. Sebab, keterbutuhan itu sendiri meniscayakan kekurangan kepada Tuhan, termasuk pada sifat itu sendiri. Seperti orang yang lapar butuh makanan. Saat ia berada dalam keadaan lapar, saat itu ia ada dalam keadaan butuh kepada makanan. Ia kehilangan sesuatu. Ini adalah titik kekurangannya.
Lantas, bagaimana menepis syubhat yang mengatakan bahwa sifat Tuhan itu “butuh” kepada Dzat? Sifat itu adalah konsekuensi logis dari keberadaan Dzat dan konsekuensi ini tidak menunjukkan keterbutuhan kepada Dzat. Karena dia sebatas konsekuensi.
- Sesuatu yang butuh al-mukhassish, tapi tidak butuh al-mahal.
Hal ini berlaku pada hal fisikal, seperti manusia, tumbuhan, batu, Bumi, planet, bintang, dan lain sebagainya. Keterbutuhan makhluk kepada penciptanya ini jelas, karena kaitannya ada pada relasi sebab-akibat.
Tapi, jika ditanya, apa bukti keterbutuhan hal fisikal ini kepada sesuatu yang mengkhususkannya? Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan benda fisikal itu yang berawal dari ketiadaan. Dengan kata lain, ia sebelumnya menyandang status tiada.
Lalu, apa dasar ketidakbutuhan benda fisikal atau materi ini kepada al-mahal? Perlu diingat, materi ini adalah inang bagi sifatnya, dialah yang seharusnya disifati. Tapi, jika kita mau mengasumsikan materi berinang kepada materi lain, maka akan terjadi penyatuan ruang (ittihâd al-hayyiz) pada kedua materi tersebut. Sebagai konsekuensi logisnya, kedua materi tersebut menjadi satu entitas. Hal tersebut mustahil. Tapi, bukankah dua materi yang tercampur itu mungkin? Sebagaimana tercampurnya terigu dan air dalam satu adonan? Kita tidak punya waktu untuk membahas perbedaan antar penyatuan materi dan menyatunya benda seperti adonan tadi. Semoga ada waktu untuk membahas itu secara khusus.
Konsekuensi lainnya, jika hal tersebut terjadi, maka akan sampai kepada apa yang disebut dengan tarjîh bi lâ murajjih. Karena tidak ada yang menjadikan salah satu dari dua materi yang menyatu itu lebih utama dari yang lainnya.
Lebih sederhananya, anggaplah ada materi A dan B. Materi A itu berinang kepada B. Otomatis, materi B lebih utama daripada A, karena B ini yang dibutuhkan oleh A. Tapi, ketika keduanya menjadi satu, secara tiba-tiba B termuliakan dengan sendirinya, tanpa ada yang menyebabkannya. Ini titik tarjîh bi lâ murajjih-nya. Ini mustahil secara akal.
Asumsi selanjutnya, jika ada materi yang berinang kepada materi, otomatis materi yang berinang ini memiliki al-mahal yang nantinya diinangi lagi oleh sesuatu yang lain. Jika al-mahal dari materi yang berinang ini diisi oleh materi lain yang memiliki al-mahal juga, maka dua kemungkinan; pertama, al-mahal dari materi yang bergantung ini ada di al-mahal materi yang diinangi, kemudian materi yang digantungi ini berinang pada al-mahal dari materi yang bergantung, maka akan terjadi daur. Mengapa? Karena dua materi ini saling menyilang kebergantungannya. Dan ini mustahil.
Kedua, jika lingkaran kebergantungannya itu diputus, lalu terjadi keberinangan antar materi tanpa putus, maka akan terjadi tasalsul dan itu mustahil. Mengapa? Karena seandainya ada materi A yang memiliki al-mahal, lalu materi B mengisi al-mahal itu. Pasti, materi B memiliki al-mahal. Karena yang namanya materi, ia meniscayakan al-mahal. Bagaimana jika al-mahal dari B ini diinangi oleh materi C, lalu al-mahal dari materi C ini diinangi oleh materi D dan seterusnya? Maka akan terjadi tasalsul. Jika diasumsikan pada materi, maka akan terjadi infinite matter, materi tak terbatas. Ini mustahil.
Maka dari itu, yang namanya materi, butuh kepada al-mukhassish dan tidak butuh kepada al-mahal.
- Sesuatu yang butuh al-mukhassish dan al-mahal.
Ini hanya ada pada sifat (al-aradh) atau kita istilahkan dengan aksiden. Yang dimaksud dengan aksiden ini seperti warna, bau, suhu, gerak, dan lain sebagainya. Ia butuh kepada al-mukhassish, yakni Tuhan. Dia juga butuh kepada al-mahal. Karena gerak misalnya, ia tidak bisa ada jika subjek yang bergerak itu tidak ada. Hal tersebut terbukti dengan pengamatan empiris.
Empat hal inilah yang disebut dengan al-maujȗdât al-arba’ah. Klasifikasi seperti ini sangat penting dalam ilmu kalam, karena ini membantu kita untuk memisahkan mana hal yang bisa dan tidak bisa disandarkan kepada Tuhan, seperti enam hal yang menjadi kekhususan materi.
Wallahu a’lam