Suatu hari, saya menyatakan perasaan serius saya kepada seorang wanita, sembari mengajaknya menikah. Karena ini adalah ajakan serius yang sedikit pun tidak ada terbesit untuk bermain-main dengan perasaan wanita, tentu jawabannya membutuhkan pertimbangan dan penalaran serius pula. Jelas, dia tidak langsung menjawab.
Pada kesempatan lain, ternyata dia diberikan informasi oleh temannya tentang saya dan ada juga yang dia saksikan langsung. Jelas, informasi itu positif dan bukan berangkat dari kedustaan.
Tapi, apa respon wanita ini? Menurutnya, informasi itu benar. Tapi, tidak memuaskan dan seandainya orang tidak memberikannya informasi tentang saya, itu jauh lebih baik. Kenapa? Karena informasi itu melalui transmisi atau periwayatan. Meskipun yang menyampaikan adalah orang yang adil, tapi tidak semua sampel data yang disaksikan melebur menjadi proposisi yang bisa dipahami. Bisa saja ada kesan atau makna tertentu yang tidak terbungkus oleh bahasa. Pun, walau sama benarnya dengan penyaksian langsung, tapi penglihatan langsung itu jauh lebih memuaskan dan berkesan.
Intinya, walau informasi melalui transmisi itu benar, tapi jauh lebih memuaskan kebenarannya jika ia mengetahuinya secara langsung, tanpa melalui perantara apapun. Karena selain kemungkinan distorsi itu tidak ada, makna yang tidak terbahasakan juga diketahui.
Dari ilustrasi di atas, kita bisa menangkap bagian penting yang akan menjadi sorotan utama pembahasan kita. Bagian yang dimaksud adalah kesaksian wanita itu kepada saya secara langsung, tanpa melalui perantara. Para logikawan, filusuf, dan teolog, menyebut informasi langsung itu dengan al-mahsûsât (sensible) yang jika diterjemahkan bermakna sesuatu yang terindera, karena disaksikan oleh pancaindera. Disebut juga dengan al-musyâhadah yang berarti pandangan secara langsung.
Kebenaran Asasi
Dari enam proposisi yang kebenarannya bersifat asasi, al-musyâhadah ini masuk salah satu yang tidak bisa diingkari kebenarannya. Seandainya ada yang mengingkarinya saat berdebat, maka ia termasuk dalam kategori orang yang berdebat hanya ingin mencari kemenangan, bukan kebenaran atau diistilahkan dengan al-mukâbarah. Karena kebenarannya jelas.
Kembali ke ilustrasi tadi, ketika misalnya wanita itu melihat saya sebagai sosok yang tidak peka melalui kedua bola matanya secara langsung, apakah ada celah untuk mengingkari kebenaran itu? Jawabannya, tidak. Pun, ini terlalu jelas jika ingin dibuktikan.
Epistemologi
Kesaksian ini diperoleh melalui pancaindera; 1) Penglihatan, 2) Pengecapan, 3) Pendengaran, 4) Penciuman, dan 5) Peraba. Setiap bagian ini memiliki tugas dan objeknya masing-masing.
Seperti penciuman, saya bisa menyaksikan bau tertentu. Dengan penglihatan, bisa melihat warna, gerak, bentuk, dan sebagainya. Dengan pengecapan, saya bisa mengetahui rasa. Dengan pendengaran, saya bisa mengetahui suara. Dan dengan peraba, saya bisa kepadatan, suhu, atau kelenturan sesuatu. Tidak mungkin saya mengetahui bau melalui penglihatan. Sebagaimana tidak mungkinnya saya mengetahui warna melalui penciuman.
Tanbîh: Kesaksian Tidak Salah
Perlu diketahui, bahwa pancaindera hanya menangkap pengetahuan yang bersifat tashawwur. Sedangkan tashawwur itu tidak mungkin salah. Yang mungkin salah adalah tashdîq. Tashdîq itu salah karena di sana bisa terjadi penghukuman. Yang memberikan penghukuman itu bukan pancaindera, tapi nafs al-mudrik yang dikenal dengan qalb atau hati. Karena di sanalah akal. Karena pancaindera tidak memberikan penghukuman, maka pancaindera itu tidak salah.
Ada sebuah kaidah yang berbunyi “Lâ hajra fi al-tashawwur” (Tidak ada ruang batas pada tashawwur), karena tashawwur masih bisa membayangkan kesalahan, keberadaan sekutu Tuhan yang jelas-jelas mustahil, bahkan tashawwur itu sendiri. Mengapa? Karena kesalahan itu hanyalah kategorisasi akal; keberadaannya tidak ada di alam nyata. Toh, kesalahan itu sendiri adalah “ketidaksesuaian dengan realitas”. Sedangkan untuk memverifikasi bahwa sesuatu itu betulan salah, harus ada penyandaran untuk dua hal; objek penghukuman, atribut penghukuman, dan relasi antar keduanya. Sesuai atau tidak dengan realitas, tidak mungkin diketahui jika tidak ada penyandaran.
Lalu, bagaimana kalau misalnya kita berada di padang sahara, lalu melihat penampakan bayangan hitam lalu dikira sebagai manusia, padahal realitanya adalah kaktus? Informasi yang diperoleh langsung melalui pancaindera itu adalah satu hal. Ini adalah tashawwur. Sementara menyatakan bahwa gambaran yang diperoleh pancaindera sebagai manusia adalah hal lain. Inilah tashdîq. Alasannya, kita menyandarkan makna kemanusiaan kepada gambaran yang diperoleh pancaindera itu.
Kalau kita membuka sebagian kitab tauhid, seperti Syarh Al-Kharîdah Al-Bahiyyah yang ditulis oleh Imam Ahmad Al-Dardir, beliau mengatakan yang maknanya, sesuatu yang wajib secara akal, mustahil di-tashawwur-kan ketiadaannya. Ini berarti, tashawwur terbatas. Lantas, bagaimana mempertahankan kaidah tadi? Imam Al-Amir dalam Hasyiyah ‘ala Ithâf Al-Murîd menjawab bahwa itu hanyalah majaz atau lafaz paralel semata. Karena yang dimaksud adalah tashdîq. Karena menyatakan tashdîq dengan menggunakan lafaz tashawwur itu hal yang sudah biasa (al-haqîqah al-‘urfiyyah) di kalangan teolog dan ini dimaklumi. Maka dari itu, pengetahuan tashawwur itu tidak salah.
Nuktah: Frame Kesaksian
Dalam pembahasan hukum pidana dalam ilmu fikih, ada bagian yang mensyaratkan para saksi itu harus memberikan kesaksian yang sama dan waktunya harus sama. Alasannya, pengetahuan pancaindera itu tidak menangkap objek pengetahuan secara bersamaan dalam satu waktu, tapi per-frame atau per satuan waktu terkecil.
Misalnya, ketika saya membakar tisu, saya membutuhkan waktu tiga detik untuk membakarnya. Detik pertama, saya baru mulai menyalakan korek. Detik kedua, api sedang membakar tisu. Detik ketiga, tisu tersebut lenyap menjadi abu. Nah, tiga detik ini tidak menjadi secara bersamaan, tapi terjadi secara berurutan. Karena kejadiannya demikian, maka yang disaksikan pancaindera itu hanya kejadian secara berurutan itu. Satu detik, satu frame sederhananya, walau frame itu sebenarnya sejajar dengan satuan waktu terkecil. Masing-masing frame itu adalah potret dari realitas.
Kembali ke persamaan kesaksian. Kesaksian ini harus sama dari segi waktunya. Misalnya dalam kasus perzinahan. Kasus ini membutuhkan empat saksi (yang memenuhi syarat) paling minimal, disaksikan secara langsung, dan keterangan waktu dan tempatnya harus sama persis. Ini melihat kejadian tersebut terjadi pada waktu tertentu dan pasti yang menyaksikannya (kalau semuanya jujur dan ingatannya tepat) akan memberikan kesaksian para frame yang sama. Mengapa hal ini disyaratkan? Selain untuk menegaskan kebenaran terjadinya perbuatan tersebut yang notabenenya memiliki kekuatan kebenaran amat kuat, hal itu berangkat dari tangkapan informasi pancaindera per frame-nya.
Nuktah: Saksi Rasa
Syekh Mahmud Abu Daqiqah, Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, dalam karyanya yang bertajuk Al-Qaul Al-Sadîd fi ‘Ilm Al-Tauhîd menjelaskan bahwa al-musyâhadah selain melalui kesaksian indera, al-musyâhadah juga bisa didapatkan melalui rasa (al-wijdân) atau indera batin.
Inilah bagian spesial dari penyaksian itu sendiri. Di samping ia menyaksikan secara langsung sesuatu itu, rasa juga menyaksikan sesuatu itu sendiri. Tidak ada rung untuk ingkar. Seperti, prosesi lamaran di atas. Ketika wanita itu menyaksikan sesuatu atau momen tertentu dari saya, ini adalah kesaksian dari indera zahirnya. Tapi, ketika ia mendapatkan kesan atau rasa tertentu dari kesaksian yang diperoleh dari alam nyata mengenai saya, maka saat itu dia mendapatkan kesaksian rasa. Maka, wajar saja kalau ia merasa lebih baik tidak mendapatkan informasi apapun dari orang, dibanding mendapatkan infomasi benar dari orang lain. Bukan berarti ia menolak kebenaran. Tapi, kalau ada sumber yang tidak ada ruang untuk meragukan dan kesan batinnya lebih “sampai”, kenapa tidak, kan?
Jadi, ketika para teolog menggunakan istilah musyâhadah dalam membuktikan perubahan aksiden (‘aradh), maka yang dimaksud adalah hal-hal yang biasanya kita saksikan secara langsung tanpa melalui perantara. Misalnya, seluruh alam beserta komponennya itu berubah. Apa buktinya? Al-musyâhadah; kesaksian langsung. Tidak ada ruang untuk meragukan perubahan aksiden. Ini menjadi salah satu premis penting dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Jika premisnya memiliki kekuatan yang meyakinkan seperti ini dan menghasilkan kesimpulan yang sama meyakinkannya, kenapa lantas kita masih bisa meragukan keberadaan Tuhan?
Wallahu a’lam