Pada tulisan sebelumnya kita sudah membahas tentang hukum akal. Di sana ditegaskan bahwa di antara hukum akal itu, ada sesuatu yang wajib. Kemudian, sesuatu yang wajib itu terbagi menjadi dua; dharȗriy dan nazhariy. Sudah juga dikatakan bahwa sesuatu yang dharȗriy itu seperti keberadaan sebab sebelum adanya akibat. Karena akal kita tidak bisa menerima ada akibat tanpa adanya sebab. Maka keberadaan sebab sebelum akibat itu wajib.
Akan tetapi, disebutkan juga bahwa keberadaan Tuhan itu wajib secara nazhariy. Masalahnya, ada yang mengingkari keberadaan Tuhan. Tulisan kali ini bertugas membuktikan keberadaan Tuhan. Namun, jika Anda berharap keberadaan Tuhan dibuktikan secara empiris, maka harapan itu sia-sia. Karena Tuhan bukan entitas empiris. Maka pembuktiannya menggunakan argumentasi rasional.
Argumen populer yang banyak digunakan oleh para teolog adalah kebaruan alam. Apa yang dimaksud dengan kebaruan alam? Sebelum memahaminya lebih dalam, kita perlu berkenalan dengan dua istilah terlebih dahulu; qidam dan hudȗts.
Qidam dan Hudȗts
Sesuatu yang ada itu terbagi menjadi dua dari segi apakah keberadaannya didahului dari ketiadaan atau tidak. Pertama, sesuatu yang ada tanpa didahului ketiadaan. Kedua, sesuatu yang ada setelah mengalami ketiadaan. Yang pertama ini disebut dengan qidam, sedangkan yang kedua ini disebut dengan hudȗts.
Apa contoh dari qidam? Keberadaan Tuhan. Karena keberadaan Tuhan itu ada tanpa didahului ketiadaan. Adapun pembuktiannya, ada pada segmen mendatang. Sedangkan contoh dari hudȗts adalah semua selain Tuhan. Segala selain Tuhan itu disebut dengan alam.
Sesuatu yang padanya ada sifat qidam ini disebut dengan qadîm, sedangkan yang ada padanya sifat hudȗts disebut dengan hâdits.
Kebaruan Alam (Hudȗts Al-‘Alam)
Imam Al-Dardir dalam Syarh Al-Kharîdah Al-Bahiyyah menjelaskan bahwa kebenaran itu sifatnya tetap dan kebenaran bahwa alam ini ada itu tetap. Hal ini diamini oleh seluruh penganut agama, tidak ada yang menolaknya. Nah, kemudian alam ini dahulu tiada kemudian ada. Keberadaan alam yang ada setelah mengalami ketiadaan inilah yang disebut dengan hudȗts al-‘âlam atau kebaruan alam.
Argumen singkatnya, kita menyaksikan alam ini seluruhnya mengalami perubahan. Baik itu benda yang bergerak atau tidak, hakikatnya mengalami perubahan. Semua yang berubah itu pasti baru. Maka, disimpulkanlah bahwa alam itu baru.
Kemudian, karena alam itu sebelumnya tidak ada kemudian ada, maka pasti dia ada karena ada yang mengadakannya. Maka, alam itu ada karena ada yang mengadakannya.
Namun, kalau kita melihat dua paragraf terakhir, seluruhnya berisi klaim besar yang memerlukan pembuktian. Jika kita merunutkan klaim itu, maka kita akan bertemu dengan poin-poin sebagai berikut:
- Alam ini mengalami perubahan.
- Semua yang mengalami perubahan itu baru.
- Alam dari tiada kemudian ada.
- Semua yang baru membutuhkan pencipta.
Kita akan membedah setiap klaim kunci ini dengan deretan argumen juga. Kita akan mulai dari yang pertama.
Pertama, tentang alam ini mengalami perubahan. Hal ini terbukti secara empiris. Karena kita semua menyaksikannya secara langsung. Para teolog menyebutnya dengan dalîl al-musyâhadah. Apa itu al-musyâhadah? Kita sudah membahasnya pada salah satu tulisan. Silahkan dibaca.
Kesaksian seluruh manusia di Bumi akan perubahan alam semesta ini, tidak bisa dibantah. Karena sifatnya konsensus. Perlu diingat sekali lagi, bahwa alam yang dimaksud tidak terbatas pada entitas kosmos saja, tapi selama sesuatu itu selain dari Tuhan, maka dia disebut alam. Bisa juga disebut makhluk.
Kemudian, terjadinya perubahan dalam alam semesta ini menunjukkan bahwa alam semesta ini terdiri dari dua komponen; substansi (jauhar) dan aksiden (‘aradh). Tapi, mata kita hanya bisa melihat aksiden saja. Kalau mata hanya bisa melihat aksiden, lantas di mana substansi itu? Substansi bukan sesuatu yang fisikal, melainkan keberadaannya diketahui melalui aksiden.
Misalnya, saya memiliki buah apel berwarna merah. Apel itu merupakan substansi. Sedangkan, bentuk, warna, kepadatan, dan hal lain yang meliputi apel itu merupakan aksiden. Karena kita hanya melihat kulit apel, isi apel, dan lain sebagainya seputar apel, bukan apel itu sendiri. Berarti, mata kita hanya melihat aksiden dari apel, bukan apel itu sendiri.
Tapi, tidak mungkin aksiden itu bisa ada tanpa adanya substansi. Karena kita bisa mengetahui warna merahnya apel itu ada karena adanya apel. Begitu juga bentuk apel kita ketahui karena kita mengetahui bahwa di baliknya ada apel. Berarti, ketika kita menyaksikan aksiden, itu menjadi bukti bahwa substansi di baliknya itu ada.
Sementara hukum yang serupa berlaku pada alam semesta juga. Karena alam semesta bisa kita saksikan langsung seluruhnya. Ditambah lagi kita melihatnya berubah. Segala sesuatu yang berubah, itu menunjukkan bahwa di sana ada aksiden. Karena yang berubah adalah aksiden, bukan substansi. Buktinya, kalau laptop kita rusak, berarti aksidennya berubah. Kualitas baiknya bergeser menjadi kualitas buruk. Tapi, berubahnya kualitas itu, tidak mengubah substansi laptop itu. Tidak mungkin ketika aksiden laptop rusak, kemudian ia tidak disebut laptop atau sesuatu selain laptop.
Pada poin ini, akhirnya kita bisa mencatat bahwa perubahan alam ini menunjukkan bahwa alam ini terdiri dari substansi dan aksiden.
Kedua, semua yang mengalami perubahan itu baru. Poin ini ingin menekankan bahwa substansi dan aksiden itu dulu tidak ada kemudian ada. Apa yang membuktikan hal tersebut? Jawabannya, baik substansi maupun aksiden itu memiliki gerak. Gerak ini memiliki awal dan akhir. Hal ini bisa kita saksikan.
Misalnya, saya melempar batu. Batu ini sejak saya lepaskan dari tangan, maka di sana akan memulai gerak yang baru. Sebelum gerak itu ada, maka status batu itu adalah diam. Diam adalah bentuk ketiadaan dari gerak. Gerak ini bagian dari aksiden. Nah, kalau salah satu aksiden ini saja mungkin tidak ada, lalu kemudian ada, apa yang menghalangi aksiden lainnya untuk mungkin tidak ada? Kalau aksiden seluruhnya mungkin tidak ada, maka hal itu berlaku juga bagi substansi. Karena substansi itu memiliki sifat yang sama dengan aksiden dan sifat itulah yang memungkinkan keduanya tiada kemudian ada dan ada kemudian tiada; kontigen (al-imkân).
Keberadaan sifat kontigen ini diketahui melalui adanya perubahan dan temporalnya aksiden yang meliputinya. Dan tidak mungkin aksiden melekat kepada sesuatu yang tidak memiliki sifat setara dengannya. Tapi, faktanya aksiden melekat kepada sesuatu yang memiliki sifat setara dengannya; kontigen.
Kemudian, sesuatu yang kontigen itu keberadaannya bisa diterima akal, demikian juga ketiadaannya. Hal itulah yang berlaku kepada seluruh alam; keberadaannya dan ketiadaannya bisa diterima akal. Tapi, alam itu ada. Maka, keberadaan alam itu baru. Karena keberadaannya tidak menabrak hukum kontradiksi apapun.
Ketiga, keberadaan alam itu seluruhnya baru. Konsekuensinya, alam ini ada dari ketiadaan. Tapi, bagaimana mungkin alam ini ada dari ketiadaan, sementara kita biasanya menyaksikan materi yang terbentuk dari sesuatu yang ada? Misalnya, saya membuat kue. Bahan-bahannya adalah sesuatu yang ada, bukan dari sesuatu yang tidak ada.
Jawabannya, kalau kita melihat kue dan segala materi fisikal yang memiliki mekanisme yang sama saja, itu ibaratnya menilik episode pertengahan, tanpa melihat episode awal. Tapi, pangkal dari keberadaan semua materi adalah ketiadaan. Sebab, materi adalah sesuatu yang tersusun. Ujung dari materi yang tersusun adalah materi tunggal yang tidak tersusun (al-juz alladzi la yatajazza’).
Materi tunggal yang tidak tersusun ini mustahil tersusun. Karena jika materi ini tersusun, maka sejatinya dia tidak tunggal, tapi tersusun. Konsekuensinya, melanggar hukum identitas. Karena tidak tersusun, bukan sesuatu yang tersusun. Namun, jika tetap dipaksakan ketersusunannya, maka akan terjadi regresi tanpa batas (infinite regretion), alias tasalsul. Dan ini mustahil. Maka, materi itu harus bermuara pada materi tunggal yang tidak tersusun.
Kemudian, materi tersebut tidak mungkin sekonyong-konyong ada, harus ada yang menyebabkan keberadaannya. Sebab, materi tersebut tergolong kontigen dan segala sesuatu yang kontigen itu tidak bisa menjadi sebab kepada dirinya sendiri, harus ada sesuatu yang lain menyebabkan keberadaannya di luar sesuatu yang kontigen. Sesuatu yang menjadi sebab keberadaan segala yang kontigen itu adalah sesuatu yang wajib. Sebab, akal tidak bisa menerima keberadaan akibat tanpa adanya sebab. Sesuatu yang wajib itu menjadi wajib, karena akal tidak bisa menerima ketiadaannya, lantaran alam ini ada. Alam ini menjadi akibat, sedangkan sesuatu yang wajib menjadi sebabnya.
Keempat, ujung dari poin ketiga sudah memberikan bocoran bahwa keberadaan alam semesta ini membutuhkan pencipta, karena tidak mungkin alam ini ada dengan sendirinya. Seandainya alam ada dengan sendirinya, maka di sini ada dua paradoks:
Pertama, ketika alam menciptakan dirinya sendiri, maka terjadi kerancuan waktu. Sebab, ketika peristiwa penciptaan terjadi, di sana harus ada subjek dan objek. Jika alam menjadi subjek, maka dia harus lebih dulu ada daripada objeknya. Tapi, jika objek itu adalah alam itu sendiri yang menciptakan, maka terjadi kontradiksi. Karena sebelum alam menciptakan dirinya sendiri, kita harus mengatakannya ada sekaligus tidak ada. Ini mustahil. Dengan kata lain, ada sesuatu yang menjadi sebab sekaligus akibat dalam satu waktu dan bukan pada timeline realitas secara linear.
Kedua, ketika alam menciptakan dirinya sendiri, maka ada akibat yang tidak memiliki sebab. Alasannya, alam itu menjadi akibat. Saat alam menjadi akibat, maka harus ada selain alam yang menciptakan alam itu sendiri. Ketika itu tidak terjadi, maka ketika itu, alam yang notabenenya menjadi subjek bagi dirinya, tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Berarti, alam itu sekonyong-konyong ada tanpa sebab. Bagaimana ada sesuatu yang terberatkan, tanpa ada yang memberatkannya? Adanya akibat tanpa sebab, adalah sesuatu yang mustahil. Adapun keberadaan Tuhan yang tidak disebabkan, akan dibahas pada sifat qidam mendatang.
Kemudian, jika alam itu ada karena sesuatu yang lain, maka ada dua kemungkinan. Pertama, sisilah penciptaan semesta itu tidak memiliki ujung, dan kedua memiliki ujung. Jika tidak memiliki ujung, maka ada dua kemungkinan, ketiadaan ujung itu bisa saja dalam bentuk rantai linear tanpa batas atau dalam bentuk lingkaran tanpa ujung. Yang pertama disebut dengan tasalsul dan yang kedua adalah daur. Keduanya mustahil. Tapi untuk memahaminya, silahkan baca tulisan ini.
Karena keduanya mustahil, maka satu-satunya opsi logis yang bisa diterima adalah proses penciptaan alam semesta ini harus menemui ujungnya. Ujung ini adalah sebab yang tidak disebabkan. Itulah Tuhan.
Para Pengingkar
Seandainya ada yang menolaknya, hal itu akan kembali kepada pemahaman sofisme. Mereka memiliki tiga bentuk; 1) Orang yang menolak kebenaran mutlak, 2) Al-‘Inâdiyyah, dan 3) Agnotisisme.
Kelompok yang pertama menganggap bahwa kebenaran mutlak itu tidak ada. Segala bentuk kebenaran itu nisbi, alias relatif. Kelompok kedua, menganggap bahwa semua ini hanyalah khayalan semata, tidak ada kebenaran satu pun. Kelompok ketiga, meragukan segalanya karena dia tidak mengetahui apapun. Ketiga pandangan ini, tidak kita bantah secara detail pada tulisan ini, karena keterbatasan ruang.
Yang jelas, para pengingkar ini terjatuh dalam pengingkarannya karena mereka tidak percaya terhadap epistemologi yang sudah paten, seperti pancaindera, akal, dan khabar shâdiq. Kemudian, masalah mereka muncul karena bermasalah dalam ruang ontologis; tidak percaya akan keberadaan. Seandainya segala sesuatu itu tidak ada, kenapa bisa memberikan dampak?
Hal yang penting pada bagian ini adalah mengafirmasi keberadaan Tuhan, sekaligus menandai awal pembahasan ketuhanan. Bagian ini juga menjadi pembuka ke dalam pembahasan sifat. Mudah-mudahan kita bisa menyentuhnya pada bagian mendatang.
Wallahu a’lam


