Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Beberapa Kaidah Umum Ilmu Akidah

Oleh Muhammad Said Anwar
13 Mei 2022
in Ilmu Kalam
Beberapa Kaidah Umum Ilmu Akidah
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Pada tulisan sebelumnya yang mengulas tentang hukum akal, ibaratnya kita sudah meletakkan sebuah pondasi. Dari pondasi inilah kita kemudian membangun tiang-tiang yang di mana tiang ini akan menjadi penopang akidah kita, tidak mudah runtuh saat diserang dengan beragam pertanyaan nyeleneh. Selain itu, pada tulisan yang akan datang kita akan mencoba untuk praktik dari beberapa kaidah yang ada di sini. Maka dari itu, jika Anda belum membaca tulisan sebelumnya, saya sarankan untuk membacanya agar konek dengan tulisan ini.

Kaidah-kaidah ini saya dapatkan dari kitab Syarh Muthawwal karya Syekh Said Fodah saat belajar pengantar ilmu kalam kepada salah satu murid beliau. Kebetulan risalah itu yang sekitar 20-an halaman itu berisi banyak kaidah yang cukup penting untuk pembahasan yang akan datang. Tapi, perlu diingat bahwa kaidah-kaidah ini saya tulis secara acak, tidak berurutan sesuai dengan bab akidah.

Kaidah Pertama

“Al-imkȃn ‘illah ihtiyȃj” (Hal yang mungkin itu membutuhkan sebab).

Sebelumnya, kita sudah menjelaskan bahwa hal yang mungkin itu menerima keberadaan dan ketiadaan, dan wajib adalah sesuatu yang tidak menerima ketiadaan. Sebelum hal mungkin itu ada, maka ada sebab yang membuatnya ada. Karena sifatnya yang membutuhkan sebab dan ada setelah mengalami ketiadaan, maka ini sangat cocok (lazim) dengan hal-hal yang hȃdits. Karena dia ada setelah mengalami ketiadaan dan ketika menuju ke realita “ada”, dia membutuhkan sebab.

Atas dasar kaidah inilah yang bisa ditanyakan akan sebabnya adalah selain Allah. Sekali lagi, karena Allah itu wȃjib al-wujud, maka apapun yang berkaitan dengan Allah tidak ditanyakan. Karena jika mungkin butuh kepada sebab, maka yang wajib tidak butuh kepada sebab. Bagaimana mungkin kita menanyakan sebab, sedangkan yang ditanya itu sendiri tidak butuh kepada sebab? Inilah yang kemudian kita kenal dengan ungkapan lain “Mȃ jȃ’a fi al-ahl lȃ yus’alu ‘anhu” (Sesuatu yang muncul sebagaimana mestinya, tidak perlu ditanyakan akan sebabnya).

Inilah kemudian juga yang dikatakan oleh sebagian ulama kalam “al-mumkin dalȋl ‘ala wujud al-ilah” (Hal yang mungkin ini merupakan bukti keberadaan Tuhan). Karena butuh kepada sebab, maka harus bermuara kepada sesuatu yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan.

Kaidah Kedua

BacaJuga

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)

Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)

“Ahad tharfiy al-mumkin laisa aula bihi min al-akhar” (Salah satu dari dua sisi kemungkinan itu tidak ada yang lebih kuat).

Maksudnya, ini berbicara tentang kemungkinan ada dan tidaknya sesuatu (dicotomic probability). Kemungkinan ada tidak lebih kuat dari kemungkinan tiada itu sendiri. Melainkan sisi kekuatan keduanya itu sama. Jika diibaratkan dengan dua sisi timbangan, maka keduanya sama berat. Karena sama beratnya inilah yang akan berkesinambungan kuat dengan kaidah pertama tadi, “Hal yang mungkin butuh kepada sebab”. Untuk memberatkan salah satu kemungkinan itu butuh kepada sebab.

Di sini perlu saya jelaskan secara singkat apa yang disebut dengan al-quwwah dan al-fi’l. Secara sederhana, al-quwwah adalah potensi dan al-fi’l adalah aktualisasi. Ketika ada plastik, dia itu berpotensi menjadi benda lain, entah itu meja plastik, piring plastik, dan lain sebagainya. Tapi, saat benda itu masih sebatas plastik, dia tidak lebih dari sekedar plastik di alam nyata. Hanya saja alam pikiran kita dapat menjangkau segala kemungkinan yang akan datang.

Melihat dari plastik yang belum menjadi sesuatu lain pada waktu yang akan datang (anggaplah sesuatu itu meja plastik), maka di sini hakikatnya meja plastik itu dihadapkan dengan dua kemungkinan, ada atau tiada. Nah, plastik yang kita lihat saat ini itu statusnya “berpotensi” (bi al-quwwah) menjadi meja plastik di waktu yang akan datang atau mungkin menjadi meja plastik. Tapi, jika di waktu yang akan datang benar-benar terwujud menjadi meja plastik, maka saat itu secara “aktual” (bi al-fi’l) menjadi meja. Jika al-quwwah berbicara tentang mungkinnya menjadi atau sebelum dia menjadi sesuatu yang lain, maka al-fi’l berbicara saat dia menjadi sesuatu yang lain atau kemungkinan itu benar-benar terealisasi.

Nah, sebelum plastik menjadi meja, di sana ada dua kemungkinan yang sama berat, yakni kemungkinan plastik ini menjadi meja dan tidak menjadi meja. Untuk memberatkan slaah satu kemungkinan, dibutuhkan pemberat. Pemberat seperti apa yang dimaksud? Misalnya saya membawa plastik itu ke pabrik meja plastik. “Pemberat” yang dimaksud adalah sebab atau alasan. Dikatakan pemberat karena dia memberatkan salah satu kemungkinan, bukan pemberat secara hakiki yang memiliki beban atau massa.

Bagaimana dengan ketiadaan? Apakah ketiadaan itu memiliki sebab tiada? Jawabannya ada, sebab ketiadaannya adalah ketiadaan sebab keberadaannya. Maka baik sisi ada maupun sisi ketiadaan dari mungkin itu, sama-sama memiliki sebab.

Kaidah Ketiga

“Al-mumkin al-bȃqi muhtȃj fi baqȃ’ihi ila al-sabab” (Sesuatu yang mungkin tetap butuh kepada sebab, walaupun sudah terealisasi salah satunya).

Sebagaimana pada kaidah sebelumnya, ketika ada sesuatu yang sudah terealisasi maka pada hakikatnya dia tetap butuh kepada sebab. Dia tetap menjadi mungkin walaupun kemungkinannya sudah terealisasi, tidak menjadi wajib yang tidak butuh kepada sebab.

Inilah yang disebut juga di kaidah lain: “Al-haq tsȃbit, la yataghayyar” (Kebenaran itu tetap, tidak berubah). Artinya, pada hakikatnya atau dasarnya, yang namanya mungkin tetaplah mungkin, tidak menjadi wajib di kemudian hari hanya gara-gara terealisasinya hal mungkin tadi.

Kaidah Keempat

“Tarjȋh bi lȃ murajjih bȃthil” (Menguatkan salah satu kemungkinan tanpa adanya pemberat itu batil).

Ini kaitannya sangat erat dengan kaidah kedua. Jika kaidah kedua mengatakan dua kemungkinan itu memiliki kemungkinan yang sama, maka untuk memberatkan salah satunya butuh kepada pemberat. Karena memberatkan salah satu kemungkinan tanpa adanya alasan rasional adalah bentuk tindakan yang irasional atau batil.

Kaidah ini tidak hanya dipakai dalam ilmu rasional, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, setiap orang memiliki dua potensi; berbuat baik atau buruk. Ketika kita menuduh orang lain melakukan salah satu perbuatan; entah baik atau buruk, sama saja kita melanggar kaidah ini. Sebab, untuk memberatkan bahwa orang ini melakukan perbuatan baik atau buruk itu tidak ada. Kita hanya bisa menghukumi orang melakukan suatu perbuatan jika memang terbukti bahwa dia melakukan perbuatan baik atau buruk. Misalnya perbuatan buruk, tentu untuk menuduh dibutuhkan bukti.

Namun, timbul pertanyaan, bagaimana caranya membuktikan keberadaan Tuhan yang kita tidak lihat? Kalau berbincang dengan atheis, pertanyaan ini sangat relevan. Jawabannya, alam membutuhkan sebab untuk ada, karena alam memiliki dua kemungkinan; ada atau tidak. Untuk sampai kepada ada, alam membutuhkan keberadaan pencipta. Kalau alam sekonyong-konyong ada tanpa ada sebab, maka terjadi tarjȋh bi lȃ murajjih bȃthil. Maka untuk menghindari itu, kita harus ke sebab yang lebih cocok, yaitu keberadaan yang mengadakan alam ini.

Perlu dicatat, bahwa bukti itu tidak harus sifatnya empiris. Bisa juga rasional. Ini dipakai dalam pengadilan juga. Misalnya sudah terbukti melakukan sebesar 95%, maka sudah bisa menjadi tersangka. Kalau ditanya, apakah berangkat dari sesuatu yang empiris? Jawabannya iya. Tapi mengetahui sesuatu yang lain melalui sesuatu yang empiris, bukan berarti hal yang empiris itu menciptakan yang menjadi madlȗl (baca: dalalah).

Kalau melihat teori nafs al-amr atau sebut saja sebagai kebenaran mutlak, sebuah kebenaran itu bisa kita lihat melalui gejala-gejala yang lain. Ya, mengetahui suatu kebenaran melalui suatu gejala adalah satu hal, sedangkan keberadaan kebenaran yang lebih dulu adalah hal yang lain. Bukan berarti kita mengetahui kebenaran melalui suatu gejala itu lantas kebenaran itu diciptakan melalui gejala itu sendiri. Ketika saya mendengar suara Anda dari balik tembok, apakah suara Anda itu menciptakan Anda? Sementara di saat yang sama kita semua tahu kalau suara Anda itu tidak mungkin ada kecuali sebelumnya Anda sudah ada.

Kaidah Kelima

“Mȃ yu’addi ilȃ muhȃl fa huwa muhȃl” (Apapun yang mengantarkan kepada mustahil, maka dia juga adalah mustahil).

Kata “mengantarkan” dalam kaidah itu sangat kuat kaitannya dengan susunan silogisme dan pengambilan kesimpulan secara langsung, seperti dengan konversi (‘aks) dan teori lainnya. Atau bisa juga pertanyaan yang sifatnya menggiring dan hipotetik. Artinya, kalau ada sebuah premis yang disusun lalu menciptakan konklusi yang mustahil, maka premis itu ditolak. Misalnya:

“Siapakah yang menciptakan Tuhan? Jika iya Tuhan diciptakan, untuk apa dia diciptakan? Maka terjadi kontradiksi, karena Tuhan harusnya tidak diciptakan tapi diciptakan”.

Masalahnya ada pada bagian pertanyaan pertama “Siapa yang menciptakan Tuhan?”. Kenapa saya sebut bermasalah? Karena ketika Tuhan diciptakan maka pasti yang diciptakan itu bukan Tuhan dan jika Tuhan diciptakan, maka akan terjadi tasalsul dan daur. Maka opsi yang seharusnya dipilih adalah Tuhan ada tanpa pernah mengalami ketiadaan apalagi diciptakan.

Coba perhatikan dengan baik pertanyaan pertama yang dilempar, di sana sudah membuka peluang untuk sampai kepada kemustahilan. Akhirnya, yang membuka peluang ke sana juga ikut terkena kemustahilan juga. Buktinya ada paradoks atau kontradiksi yang dibuat. Dan kontradiksi itu bertolak belakang dengan akal.

Timbul pertanyaan, bukankah pertanyaan itu tidak memiliki unsur penghukuman? Jika tidak, bagaimana kita bisa menuduh atau mendakwa pertanyaan sebagai sesuatu yang keliru? Memang benar bahwa pertanyaan itu merupakan sebuah ungkapan yang tidak mengandung benar dan salah, dengan kata lain pertanyaan itu termasuk dalam ungkapan insya’iyyah. Tapi perlu diingat bahwa ada yang namanya lazim al-qadhiyyah atau hal niscaya dari pertanyaan. Misalnya saya bertanya: “Sudah berapa kali si suami itu melahirkan?”. Memang pertanyaan ini terlihat biasa saja, tapi dibalik pertanyaan “berapa” itu, di sana sudah diamini bahwa suami itu melahirkan. Hal yang diamini inilah yang disebut dengan lazim al-qadhiyyah. Karena adanya yang diamini ini, maka dia adalah satu hal yang bisa dinilai salah dan benarnya. Mengamini bahwa suami itu bisa melahirkan adalah hal yang keliru.

Ya, bertanya itu bukan sekedar bertanya, tapi juga harus logis. Sebagaimana pertanyaan yang dilontarkan, tidak semua pertanyaan ada untuk mencari tahu, kadang juga ada pertanyaan yang tujuannya itu menjatuhkan.

Kaidah Keenam

“Qalb al-haqâ’iq muhâl” (Memutarbalikkan kebenaran itu adalah hal yang mustahil).

Dalam salah satu tulisan kaidah dasar berpikir di ilmu mantik, di sana disinggung kalau A tetaplah A, dia tidak bisa dikatakan sebagai B. Sebab, memang esensi A adalah A, tidak bisa berubah hakikatnya menjadi B. Kalaupun sewaktu-waktu ada yang memaksanya berubah menjadi B, maka semua orang akan tetap mengamini bahwa yang dilihat sebagai B itu, hakikatnya A.

Misalnya, ada laki-laki yang melakukan ganti kelamin menjadi perempuan. Kita semua tahu bahwa pada dasarnya dia tetaplah laki-laki. Walaupun kemudian dia menggunakan obat atau produk tententu yang memunculkan hormon feminis, hakikatnya dia tetaplah laki-laki. Status kelaki-lakian ini adalah sebuah kebenaran yang tetap (nafs al-amr).

Nah, bagaimana kalau ada yang ingin mengubah status kebenaran bahwa laki-laki yang berganti kelamin itu adalah perempuan? Dengan kata lain, bagaimana jika ia ingin memutarbalikkan kebenaran bahwa laki-laki itu adalah perempuan? Jawabannya dia akan melakukan hal yang mustahil. Inilah yang disebut dengan qalb al-haqâ’iq. Mengapa? Kalau misalnya itu dilakukan, maka diferensia (fasl) atau pembeda itu tidak ada lagi gunanya. Kita akan tidak bisa membedakan mana lemari, mana kursi. Mana laptop, mana hp. Dan lain-lain.

Kaidah Ketujuh

“Al-daur muhâl” (Daur itu mustahil)

Jika ada A yang tercipta oleh keberadaan B, lalu keberadaan B ada karena adanya C, dan C ada karena ada A, maka inilah yang disebut dengan daur. Atau keberadaan sesuatu yang keberadaannya itu bergantung kepada keberadaan sesuatu yang lain. Ini dihukumi mustahil.

Mengapa dihukumi mustahil? Sebab, di dalamnya terdapat kontadiksi. Coba perhatikan contoh di atas baik-baik. Sebelum ada A yang tercipta oleh B, tentu kita hukumi A ini sebagai sesuatu yang tiada. Tapi, di sisi lain, kita melihat bahwa keberadaan C itu lebih duluan dibanding A. Di saat yang bersamaan, C ini ada karena ada A. Seolah-olah A ini ingin dikatakan sebagai sesuatu yang ada sekaligus tidak ada dalam saat yang bersamaan dan duluan sekaligus terlambat di saat bersamaan. Ini kontradiksi. Dan kontradiksi adalah sesuatu yang mustahil. Inilah yang terjadi jika orang mengatakan bahwa alam tercipta oleh dirinya sendiri.

Kaidah Kedelapan

“Al-tasalsul muhâl” (Regresi tanpa batas adalah sebuah kemustahilan).

Sederhananya, tasalsul itu adalah keberadaan A disebabkan oleh keberadaan B. Juga B ada karena keberadaan C. Lalu C ada karena keberadaan D. Begitu seterusnya sampai alam semesta kiamat tujuh kali. Adanya silsilah atau regresi yang tanpa batas, inilah yang disebut dengan tasalsul.

Ini bisa dibuktikan dengan burhân tathbîq (argumen penerapan). Saya berikan satu contoh kasus. Kita, sebagai orang yang berakal sehat pasti mengamini bahwa yang namanya keseluruhan itu pasti lebih banyak dari sebagian, juga keduanya adalah dua hal berbeda. Ini tentu tidak bisa diganggu gugat karena kebenarannya bersifat niscaya.

Coba misalnya dari rentetan A, B, C, D dan terus-menerus tanpa ujung itu ditarik salah satu individunya, dalam hal ini adalah D keluar dari rentetan itu. Pertanyaannya, apakah silsilah itu masih tidak terbatas? Jika konsisten menggunakan argumen atau nalar tasalsul ini, maka seharusnya mengatakan tidak terbatas. Kenapa? Jika mengatakan tidak lagi terbatas, berarti tidak konsisten dong. Itu pertama. Kedua, akal sehat akan mengamini keterbatasan setelah terjadi pemisahan individu dari keseluruhan itu. ini bertolak dengan apa yang diyakini oleh tasalsul itu sendiri. Di sini nalar sehat sudah mempertanyakan kerasionalan tasalsul.

Kemudian, ketika terjadi pemisahan, maka ada hal aneh lagi yang terjadi. Yakni mempersamakan antara keseluruhan dan sebagian. Memangnya kenapa jika ini terjadi? Di saat inilah kita melupakan konsekuensi logis, bahwa yang namanya bagian pasti lebih kecil daripada yang keseluruhan. Kenapa ini bisa terjadi? Ini disebabkan ketika menarik D keluar dari rentetan sebab akibat itu, dia menjadi sesuatu yang tidak terbatas, sebagaimana rantai asalnya. Tapi, kalau kita lebih jeli lagi, ternyata rantai baru dari D itu kurang dari tiga hal, A, B, dan C. Pada akhirnya suka atau tidak suka, kita akan mengatakan bahwa D itu terbatas.

Jika kita sudah mengamini keterbatasan D, selanjutnya kita harus juga mengamini bahwa rantai tempat D itu berasal adalah sesuatu yang terbatas. Karena D terbatas, maka dengan sendirinya, konsep yang berbau tasalsul itu batal dengan sendirinya. Dan kita tidak bisa memungkinkan yang namanya tasalsul ini.

Jika tasalsul ini memang benar-benar ada, maka kita harus mencobanya dalam satu skenario. Anggaplah saya ini seorang jomblo yang sudah sangat ngebet mau menikah. Tapi, kata orang tua, kalau mau menikah, kamu harus menunggu persetujuan dari keluarga mempelai perempuan. Ternyata, mempelai perempuan juga tidak bisa mengizinkan sebelum diizinkan oleh kerabatnya. Kerabatnya lagi menunggu perizinan dari kerabatnya yang lain. Begitu seterusnya. Akhirnya, karena menunggu persetujuan sampai manusia bisa hidup di Mars dan seabrek orang yang tidak ada ujungnya, saya pun menjomblo terus.

Namun, seandainya orang tua saya hanya menunggu persetujuan dari mempelai wanita saja dan disetujui, maka saya menikah. Artinya, jika rantai yang tanpa batas itu diputus, maka sesuatu yang diakibatkan hari ini pasti muncul.

Coba kalau kita tarik skenario ini kepada skenario penciptaan alam semesta. Jika seandainya Allah tidak ada dan regresi tanpa batas itu ada, maka alam ini tidak akan pernah ada. Tapi, alam semesta ada. Maka, ada Allah yang menciptakan alam dan tasalsul itu mustahil.

Kaidah Kesembilan

“Inna al-asyâ’ al-musâwiyah li syai’ wâhid, musâwiyah” (Hal-hal yang sama hakikatnya, maka sama).

Kalau kita melihat kaidah ini secara sekilas, pasti kita terima. Yang namanya sama, pasti sama. Ini berkaitan dengan kaidah hakikat yang ada di ilmu mantik. Merah adalah merah. Merah bukan biru. Ini kaidah yang diamini oleh akal sehat. Tapi, sejelas-jelasnya kaidah ini, masih ada yang melanggarnya. Buktinya, ada yang menyamakan makhluk dengan Allah dengan mengatakan Allah juga diciptakan. Ini sudah melanggar kaidah yang teramat jelas ini. Tuhan ya tuhan, makhluk ya makhluk.

Hal-hal berbeda, tidak bisa kita hukumi sama. Ini kemudian berkesinambungan dengan kaidah lain: “Inna hukma al-syai hukmu mitsluhu” (Penghukuman kita terhadap sesuatu, maka sama dengan penghukuman kita terhadap semisalnya). Itulah kenapa ada ayat yang menegaskan Tuhan itu beda dari makhluk (laisa ka mitslihi syai’). Karena ketika kita mengkategorikan Tuhan sama dengan makhluk atau menyifati Tuhan sama dengan makhluk, maka secara tidak sadar kita mengkategorikan Tuhan sebagai makhluk juga. Di sinilah perlunya kita mengenal sifat-sifat wajib Tuhan, agar tidak memberlakukan yang ada di makhluk kepada Tuhan.

Kaidah Kesepuluh

“Kullu maujȗd fa lâ yakhlu imma an yakȗna qadîman aw hâditsan” (Segala sesuatu yang ada, entah dia itu sifatnya qadîm atau hâdits).

Sebagaimana yang disinggung sebelumnya bahwa qadîm adalah sesuatu yang tidak pernah mengalami ketiadaan, sedangkan yang hâdits itu ada setelah mengalami ketiadaan. Dua hal ini pasti ada. Yang qadîm itu hanya Tuhan, sedangkan selain Tuhan itu hâdits.

Jika yang ada hanya yang hâdits maka akan terjadi tasalsul. Pada akhirnya, hâdits membutuhkan keberadaan qadîm. Hâdits tidak akan bisa ada tanpa qadîm, tapi bukan berarti yang qadîm itu tidak bisa ada tanpa hâdits. Karena hâdits adalah sesuatu yang diciptakan, sedangkan qadîm itu tidak.

Seandainya yang qadîm tidak ada, maka tidak ada kata ada, tidak akan ada eksistensi, tidak akan ada apapun. Tapi, banyak yang ada. Maka qadîm itu ada.

Kaidah Kesebelas

“Al-madzkȗr fi al-nafs, al-wâqi’ fi al-khayâl aw al-wahm, imma an yakȗna maujȗdan aw ma’dȗman” (Apapun yang kita ketahui/sebut dalam diri, terjadi dalam khayalan dan imajinasi, maka dia itu ada atau tidak ada).

Semua yang ada, terbagi menjadi wâjib dan mumkin. Sementara sesuatu yang tidak ada, terbagi menjadi mumkin dan mustahîl.

Ya, apapun yang kita bayangkan, baik menikah sama anaknya orang, Son Goku tempur dengan Iron Man dan dibuat celaka oleh Spongebob, itu memang hal yang tidak ada. Tapi, bukan berarti sesuatu yang tidak ada itu mustahil ada di alam nyata. Jika dianggap mustahil oleh akal, apa titik kontradiksinya dengan hukum akal? Begitu juga dengan keberadaan manusia, dia memang ada. Tapi bukan berarti keberadaannya itu menutup kemungkinan ketiadaannya. Sekali lagi, yang namanya mungkin itu bisa ada dan tidak. Jika ada atau tidak, maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum akal.

Kaidah Keduabelas

“Ma lâzim al-hâdits fi al-wujȗd, lâ yakȗna illa hâdits” (Sesuatu yang melazimi hâdits, maka dia juga demikian).

Contohnya, manusia itu terdiri dari dua hal; sisi esensial (jauhar) dan sisi aksidental (‘aradh). Manusia sebagai suatu esensi, dia itu sudah terkategorikan sebagai hâdits. Adapun hal-hal yang melekat pada manusia seperti bentuk, panjang, masuk dalam ruang, gerak, diam, dan lain-lain yang kita kenal dengan istilah maqȗlât (kategori), maka dia juga hâdits.

Sedangkan sifat pada Allah, dia bukan berkaitan dengan istilah jauhar dan ‘aradh. Sebab, keduanya merupakan sifat yang hanya ada pada yang hâdits. Allah dan sifat-Nya itu ada pada keterkaitan lâzim wa malzȗm (Baca: luzum). Karena dzat Allah itu qadîm, maka sifat-Nya juga qadîm.

Atas dasar kaidah ini, kita tidak bisa menyandarkan sifat apapun yang berkaitan dengan makhluk kepada Allah. Para ulama sudah membuat satu pengantar yang menjelaskan sifat-sifat makhluk. Itu bisa kita dapati di ilmu maqȗlât. Karena sebagaimana kaidah sebelumnya, yang sama hakikatnya kita hukumi sama. Sementara Allah dan makhluk-Nya itu beda.

Ini merupakan dua belas kaidah yang terbilang dasar dalam ilmu akidah dan cukup saya butuhkan dalam tulisan yang akan datang. Sebenarnya, masih ada kaidah-kaidah lain lagi, seperti kausalitas tesusun dan tidak, kaidah yang berkaitan dengan eksistensi, ilmu, dan lain-lain. Namun, saya rasa ini cukup untuk membantu dalam tulisan yang akan datang. Adapun jika diperlukan, akan ditambahkan sesuai dengan porsinya.

Wallahu a’lam.

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi
Ilmu Kalam

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi

Oleh N. Arifin. H.
29 Desember 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)

Oleh Muhammad Said Anwar
23 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)

Oleh Muhammad Said Anwar
20 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)

Oleh Muhammad Said Anwar
17 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Pendahuluan (Bag. 1)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Pendahuluan (Bag. 1)

Oleh Muhammad Said Anwar
4 September 2024
Artikel Selanjutnya
“Terlalu Cepat Percaya”

“Terlalu Cepat Percaya”

Hadis Al-Arba’in Al-Nawawiyyah (Bagian 6)

Ummi, Bukan Cacat Bagi Nabi

Filusuf, Jodohnya Sastrawati

Kenapa Tuhan itu Ada?

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan