Percaya itu mudah, sedangkan mempertanyakan itu susah. Apalagi mempertanyakan kenapa percaya, itu lebih sulit lagi. Dalam kehidupan, ada beberapa orang kadang menganggap saya aneh karena selalu mempertanyakan sesuatu. Namun, akal saya masih tidak terima, kenapa orang percaya tanpa pernah mempertanyakan? Sebenarnya siapa yang waras? Apakah merasa waras tanpa pernah melakukan validisasi adalah sebuah kewarasan? Saya tidak tahu, apakah tolok ukur akan berubah karena orang hanya menyepakati, khususnya tolak ukur waras.
Ketika ada kabar atau informasi yang sampai kepada kita, apakah kita percaya begitu saja? Apakah hanya sekedar sampai saja kepada kita lantas informasi itu benar? Padahal orang itu berpotensi jujur dan bohong. Akhirnya saya bertemu pada salah satu jawaban dalam dunia jurnalistik, bahwa kebenaran sebuah berita dapat kita validisasi dengan satu rumus yang dikenal dengan 5W + 1H (What, who, when, why, where, dan how). Ya, kita akan mendapatkan kebenaran dengan bertanya secara detail.
Guru-guru di Al-Azhar selalu mengajarkan kami untuk selalu bertanya. Kenapa? Jangan sampai kita tidak paham, salah paham, atau malahan meragukan apa yang disampaikan guru. Kadang, kita kena marah karena tidak bertanya. Karena itu menunjukkan kita kurang berpikir, kurang kritis, dan kurang perhatian. Karena kalau kita bertanya, maka kita memiliki perhatian lebih dari yang kita tanyakan. Andai kita tidak punya perhatian, untuk apa kita bertanya? Ya, sekali lagi, ada perhatian. Perhatian kepada apa? Kepada kebenaran.
Dalam berakidah atau percaya dalam masalah ketuhanan pun kita diajak untuk kritis, bahkan ulama mazhab bilang kalau dalam masalah akidah (jangan ikutkan fikih) itu selama kita bisa berpikir, maka kita sudah bisa lepas dari taklid, sudah bisa mencapai kebenaran dalam bertuhan dan percaya.
Kapan sebuah informasi dikatakan hoax? Jawabannya ketika tidak memenuhi standar; 5W + 1H. Bagaimana jika ada orang yang datang kepada kita menyampaikan suatu informasi? Perlu dilihat, dari mana dia dapat? Jika dia tidak dapat dari siapapun atau hanya membuat-buat saja tapi yang dibahas adalah sesuatu yang ada di alam nyata, maka yang disampaikan adalah hoax. Tapi, jika sumbernya jelas dari mana dia dapatkan informasi itu, maka infomasinya bisa dikatakan valid.
Kenapa orang percaya hoax? Karena banyak orang tidak melakukan validisasi, entah karena tidak bertanya, tidak menyelidiki, malas mencari, atau ketiga-tiganya. Di sinilah titik lemahnya kepercayaan manusia, hanya meletakkan kepercayaan pada hati (perasaan) tanpa melibatkan akal, akhirnya manusia hanya dipermainkan oleh hatinya.
Kenapa orang percaya bahwa orang lain berpikir sama dengan caranya berpikir? Karena dia hanya mengandalkan perasaan, dugaan semata. Dia tidak menanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Kenapa orang mudah percaya kalau orang lain membencinya? Karena dia hanya percaya, tidak melihat kebencian itu secara langsung atau paling tidak indikasinya. Percaya yang terlalu cepat ini hanya membuat manusia menjadi boneka perasaannya, dimainkan oleh ilusi dan segenap kecenderungannya. Sebab, dua hal yang bisa mengisi kepala manusia, tapi tidak bisa bertemu; akal dan emosi. Jika manusia tidak menguasai dirinya dengan akalnya, maka dia diperbudak oleh emosinya.
Tapi, kenapa Bani Israil menjadi semakin ribet urusannya setelah banyak bertanya? Bukankah dalam sebagian hadis juga kita dilarang banyak bertanya? Saya pernah menanyakan ini kepada salah seorang syekh di Mesir, Syekh Ayyub. Pasalnya, saya merasa heran saja, kenapa guru-guru di kelas, majelis, dan di tempat pembelajaran lainnya banyak menyuruh kita bertanya? Sedangkan ada ayat dan hadis yang melarang banyak bertanya. Beliau menjawab kalau yang dilarang, bukanlah esensi dari bertanya itu. Tapi, yang masalah adalah kenapa bertanya dan apa tujuannya bertanya. Kalau tidak penting, tidak usah ditanyakan. Kalau penting, menyangkut kemaslahatan dan pertanyaan itu berfaidah, maka silahkan banyak bertanya dalam hal ini.
Ketika Bani Israil itu bertanya, mereka bertanya bukan karena mereka tidak tahu, tapi mereka tahu dengan jelas tapi mereka mempertanyakan hal yang sudah jelas dan pertanyaan mereka itu tidak penting, akhirnya itu malahan memberatkan mereka.
Justru kalau kita melihat ayat lain, ada di sana anjuran bertanya kepada para ahli jika kita tidak tahu. (Q.S. Al-Nahl: 3 dan Q.S. Al-Anbiya’: 7). Ini berarti ada hal-hal yang parsial dari bertanya itu yang dilarang. Ini terlihat juga dari keterangan Imam Al-Nawawi dalam Syarh Arba’in Al-Nawawi, bahwa pertanyaan itu ada beberapa jenis; Pertama, pertanyaan yang penting. Kedua, pertanyaan yang menyangkut kehidupan masyarakat secara luas. Ketiga, pertanyaan yang tidak penting. Yang ketiga inilah justru yang memberatkan. Sedangkan yang pertama dan kedua itu yang diizinkan dalam agama. Karena jika tidak bertanya, justru akan membuat kita tersesat. Itulah yang kita sering dengar dari ungkapan bijak “Malu bertanya, sesat di jalan”.
Di sini, ada yang salah dipahami oleh sebagian kawan sehingga memilih untuk percaya secara membabi-buta saja terhadap apapun, bahkan dalam masalah akidah sekalipun. Juga meyakini kalau dalam masalah agama kita tidak boleh banyak bertanya. Padahal, dengan tidak bertanya justru akan membuat orang memahami ayat dan hadis seenaknya.
Kenapa Allah mencela orang kafir? Karena mereka tidak berpikir dan sombong (menolak kebenaran). Seandainya mereka mau berpikir dan tidak begitu angkuh kepada kebenaran (plus dapat jawaban tepat tentunya), maka pasti mereka akan menjadi orang yang beriman. Karena dengan berpikir itu, justru orang semakin kokoh dalam beragama, alih-alih ragu atau murtad. Terus kenapa ada orang murtad atau menjadi agnostik karena banyak bertanya? Karena ketika mereka mencari, mereka tidak menemukan orang yang tepat. Yang mereka temukan justru orang yang salah, yang menolak berpikir secara mendalam. Entah disebabkan doktrin abad pertengahan atau apa.
Apapun dan siapapun di alam semesta ini, tidak mudah saya percayai. Saya selalu meragukan apapun. Sebab, ketika saya percaya dengan mudahnya, maka saya akan semakin ragu jika saya berada pada kebenaran. Justru dengan meragukan, saya percaya bahwa saya sedang mencari kebenaran. Jadi, jangan pernah berpikir ketika saya mendiamkan sesuatu maka saya percaya. Justru kadang saya diam karena saya ragu, apakah orang ini adalah orang yang benar-benar percaya atau hakikatnya dia juga ragu? Dan ketika saya bertanya, apakah pertanyaan saya penting dan akan dijawab atau tidak. Ini pertimbangan saya pribadi.
Mengutip ucapan Imam Al-Ghazali di bagian akhir Mizân Al-‘Amal, beliau menjelaskan bahwa ragu itulah yang mengantarkan kita kepada kebenaran. Karena barangsiapa yang tidak pernah ragu, maka dia tidak pernah berpikir. Barangsiapa yang tidak pernah berpikir, maka dia tidak akan pernah melihat. Barangsiapa yang tidak pernah melihat, maka dia terus-menerus buta dan tetap ada dalam kesesatan.
Wallahu a’lam.