Sering kali ketika kita bersalawat, mendapati sang nabi disifati dengan “Ummi”. Begitu juga ketika kita membaca sejarah, sifat-sifat, bahkan keterangan dari para ulama. Untuk menepis tuduhan bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad Saw., dengan menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang ummi.
Apa itu ummi? Paling populer, ulama mendefinisikannya dengan “lâ yaqra’ wa lâ yaktub” (tidak membaca dan tidak menulis). Artinya, semasa hidup beliau, tidak ada aktivitas menulis maupun membaca yang beliau lakukan. Keterangan ini saya dapatkan dari ulama tasawuf Mesir yang ternama sekaligus mursyid tarekat Syadziliyyah, Syekh Yusri Jabr.
Masalah yang kemudian datang adalah tuduhan dari sebagian orang bahwa nabi adalah orang yang bodoh‒Na’udzubillah‒ karena menurut mereka, kalau kita melihat orang zaman sekarang tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca, itu adalah simbol kebodohan. Bahkan kalau tahu membaca tapi tidak bisa berpikir, maka itu sudah dikatakan bodoh. Apalagi kalau tidak bisa membaca. Bagaimana mungkin orang muslim mengikuti orang seperti itu?
Kita bisa menjawab begini, sebenarnya fungsi menulis dan membaca itu apa? Apakah itu bisa menjadi simbol kecerdasan karena dia sendiri adalah pengetahuan itu ataukah hanya sekedar wasilah ilmu? Mari kita uji. Kalau melihat paparan di atas, ada adigium bahwa ketika kita melihat ada orang yang bisa membaca tapi tidak bisa berpikir, maka dia bodoh. Jika seandainya membaca adalah lambang kecerdasan, kenapa tetap dikatakan bodoh? Berarti inti dari kecerdasan bukan kemahiran dalam membaca, tapi bagaimana mengolah informasi yang dimiliki.
Jika dikatakan, bagaimana mungkin orang bisa berpikir kalau membaca saja tidak bisa? Nah, di sini masalahnya. Ketika orang mengatakan bahwa ilmu atau pengetahuan itu pasti didapat kalau kita bisa membaca atau bisa menulis, maka dengan “sebab” itulah ilmu dan pengetahuan itu bisa kita dapatkan. Pertanyaannya, apakah ilmu itu membutuhkan wasilah untuk sampai ke dalam diri kita? Jawabannya belum tentu. Jawaban seperti ini tentu membutuhkan bukti.
Dalam beberapa tulisan lalu, saya telah membahas hukum akal dan juga sudah membahas wasilah ilmu. Dua pembahasan ini cukup krusial untuk menjawab syubhat yang seperti ini. Karena selain membuktikan bahwa hal yang di luar kebiasaan seperti mukjizat, karamah, ma’unah, dan istidraj bisa terjadi, juga menjelaskan dengan apa saja kita bisa mendapatkan pengetahuan. Mendapatkan pengetahuan melalui wasilah adalah hal yang termasuk dalam kebiasaan (‘adiy). Jika ada hal biasa, maka hal tidak biasa (khâriq ‘an al-‘âdah) juga ada dan itu mungkin terjadi secara akal (mumkin al-‘aqliy); mendapatkan pengetahuan tanpa melalui wasilah-wasilah pengetahuan itu.
Pertanyaannya, apakah menurut sejarah, nabi adalah orang yang bodoh? Jelas tidak. Kita bisa melihat bagaimana beliau mengelola negara, menjadi pebisnis yang sukses, mengatur hidup, dan hal-hal ideal lainnya. Juga dalam ilmu akidah, seorang nabi itu mustahil bodoh. Kenapa? Bagaimana mungkin nabi yang merupakan manusia pilihan tuhan yang diutus untuk membawakan risalah-Nya itu tidak bisa menjawab pertanyaan kaum-Nya dan tuduhan-tuduhan lain? Sedangkan dalam riwayat-riwayat, para nabi itu bisa berdebat. Selain mendatangkan bukti rasional, juga mendatangkan bukti-bukti empiris.
Kalau kita melihat bahwa seorang nabi itu adalah sosok cerdas dan jenius, lantas apa alasan para nabi itu butuh kepada membaca dan menulis? Sedangkan yang mengajarkan nabi pengetahuan langsung adalah âlim al-ghaib wa al-syahâdah (Yang Maha Tahu tentang ghaib dan yang lahir). Ummi ini, alih-alih kelemahan, justru dia mukjizat beliau. Kalau mengukur pakai tarakan kebiasaan, bagaimana bisa ada orang yang bisa sangat cerdas tanpa melewati tahap-tahap umum, seperti membaca? Secara akal, ini mungkin. Tapi, secara kebiasaan tidak ada orang yang bisa sampai di sana kecuali para nabi dan orang yang diberikan ilmu ladunni, itupun dikategorikan keluar dari kebiasaan.
Jika kita melihat ada orang yang berumur 7 tahun dan dia baru belajar membaca. Apa tanggapan kita? Kita akan mengatakan itu adalah hal yang biasa. Tapi, bagaimana jika kita melihat ada anak yang berumur 7 tahun tapi memiliki kapasitas pengetahuan seperti profesor dan mengajar para dosen? Kita akan mengatakan itu luar biasa. Begitu juga nabi, ketika beliau menjadi sangat cerdas, beliau tidak perlu tahap belajar seperti membaca apalagi berguru langsung kepada manusia. Tapi, faktanya beliau cerdas kok tanpa tahap itu. Tentu akal kita akan mengatakan kalau itu adalah hal yang luar biasa.
Kemudian, ada juga syubhat lain. Jika memang Allah Maha Tahu, lantas kenapa wahyu pertama berbunyi “Iqra!” (Bacalah)? Apakah Allah tidak tahu kalau Nabi Muhammad itu tidak membaca? Jika memang Nabi Muhammad Saw tahu membaca, tentu beliau akan mematuhi perintah Allah. Sederhananya, pertanyaan ini secara tidak langsung ingin mendakwa kalau Allah itu melakukan taklîf bi al-muhâl (Membebankan hukum dengan sesuatu yang mustahil kepada nabi-Nya), sedangkan Allah sendiri berfirman kalau Allah tidak akan membebankan hukum kepada hamba-Nya di luar kemampuannya. Kontradiksi.
Untuk menjawab ini, sederhana saja. Kita hanya perlu menanyakan, ada berapa makna kata qara’a yang hanya kita kenal dengan makna “membaca” saja? Kalau kita melihat penafsiran ulama, maka kita akan mengatakan tidak. Semisal, tafsir Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606) dalam Mafâtih Al-Ghaib, makna ayat “Iqra’ bismi rabbik” adalah:
Pertama, bacalah Al-Qur’an dengan membaca basmalah lalu membaca isi Al-Qur’an.
Kalaupun ada yang mengatakan bahwa membaca di sini sama dengan membaca yang ada dalam konsep ummi (membaca sebagaimana kita membaca tulisan yang bertuliskan di atas kertas) itu, maka perlu diingat juga, ketika ada seorang anak di samping Anda tanpa memegang Al-Qur’an lalu Anda meminta kepada dia untuk membaca Al-Fatihah lalu dia membacanya. Apakah di sini ada kertas yang bertuliskan surah Al-Fatihah agar anak itu membaca Al-Fatihah? Jawabannya tidak. Sama-sama menggunakan kata “membaca” tapi maksudnya beda. Ini biasa kita sebut dengan “melantunkan”.
Kedua, di sana bermakna meminta tolong. Sebab, ketika malaikat Jibril berkata kepada nabi “Iqra!”, lalu nabi membalas dengan mengatakan “mâ anâ bi qâri’” (Saya tidak bisa membacanya) sampai tiga kali. Kemudian, barulah dengan lengkap dibaca oleh malaikat “Iqra’ bismi rabbik”. Imam Al-Razi mengatakan kalau yang dimaksud dengan ayat ini adalah “Minta tolonglah dengan nama Allah”. Juga ayat ini bermakna menurut Imam Al-Razi bahwa ketika kita kesulitan, maka bacalah basmalah.
Ketiga, makna dari ayat ini adalah menjadikan perbuatan kita untuk dan karena Allah. Itu seperti kita membangun sebuah bangunan menggunakan atas nama penguasa. Artinya, kita melakukan pembangunan itu karena dan untuk penguasa itu.
Dengan ini, maka yang memahami bahwa Nabi Muhammad Saw., itu membaca sebagaimana kita membaca tulisan batal dengan sendirinya. Memang benar kata Syekh Salim Abu ‘Ashi dalam pengantar bukunya Tanzîh Al-Qur’an ‘an Al-Mathâ’in, bahwa orang-orang yang melemparkan tuduhan yang tidak-tidak terhadap Al-Qur’an itu sebenarnya tidak memahami bahasa Arab sampai akar-akarnya. Akhirnya, mereka memahami Al-Qur’an menggunakan pemahamannya yang tidak jelas kerangka dan metodologinya. Asal jadi.
Wallahu a’lam.