Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Hukum Akal; Gerbang Besar Ilmu Akidah

Oleh Muhammad Said Anwar
11 Mei 2022
in Ilmu Kalam
Apakah Filsafat itu Sulit?
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Sebagaimana yang saya katakan pada tulisan sebelumnya, hukum akal merupakan hal sangat penting dan vital dalam ilmu akidah, juga bagaimana urgensi akal dalam beriman itu sendiri. Pada tulisan kali ini, saya akan membahas tentang hukum akal ini sendiri. Secara umum tentang pembahasan ini, pernah saya sentuh dalam salah satu video di Youtube, mungkin pada tulisan kali ini agak rinci.

Bagan Hukum

Hukum

Definisinya: Isnâd al-amr li amr aw nafyuhu ‘anhu (Menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain atau menafikannya).

Dari definisi ini, ada beberapa hal yang bisa ditarik; Pertama, definisi ini mencakup penghukuman yang positif dan negatif. Kedua, hukum baru bisa terbentuk jika ada peng-iya-an dan tiga tashawwur. Ini pernah saya bahas dalam pembahasan mantik, juga salah satu video di Youtube.

Misalnya saya mengatakan “Rumah itu besar” ini berarti saya menghukumi rumah sebagai sesuatu yang besar. Di dalam definisi disebutkan, ada penyandaran (terlihat dari frasa “isnâd”). Iya, kita menyandarkan sifat besar kepada rumah. Karena rumah adalah objek penghukuman, maka dia menjadi objek penyandaran dari atribut penghukuman juga. Mengenai proses penyandaran atribut ke objek penghukuman dibahas dalam aqd al-haml di ilmu mantik. Ini dalam bentuk positif.

Adapun dalam bentuk negatif, maka tidak ada bentuk penyandaran atau menafikan sesuatu dari sesuatu yang lain. Contohnya: “Rumah itu tidak besar”. Di sini, saya menafikan penyandaran sifat besar kepada rumah. Di sana terdapat kata negasi. Tentu di sini jelas, bahwa negatif adalah meniadakan keterkaitan, tidak ada sama sekali peyandaran. Tapi, pernah ada kekeliruan berpikir dalam hal ini, contonya ketika statemen “Tuhan kita bukan orang Arab” itu viral. Ada yang memahami bahwa di sini yang mengucapkan sedang menyandarkan keorangan kepada Tuhan. Padahal, di sana tidak ada sama sekali bentuk penyandaran keorangan kepada Tuhan. Itulah kenapa di definisi disebut “meniadakan atau menafikan” penyandaran antara atribut penghukuman dan objek penghukuman.

Yang jelas, baik penyandaran atau penafian penyandaran antara atribut penghukuman kepada objek penghukuman, itulah yang disebut hukum.

Kemudian, hukum terbagi menjadi tiga; 1) Hukum Syar’i. 2) Hukum ‘Adiy. 3) Hukum ‘Aqliy. Hukum syar’i tidak kita bahas pada tulisan kali ini, lebih relevan membahasnya dalam ilmu ushul fikih. Maka kita akan terfokus pada dua hal saja; hukum ‘adiy dan ‘aqliy.

BacaJuga

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)

Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)

Hukum ‘Adiy

Definisi: Isnâd al-amr li amr aw nafyuhu ‘anhu yatawaqqaf ‘ala al-tikrâr (Menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain atau menafikannya, berdasarkan kepada keberulangan).

Untuk frasa “menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain atau menafikannya” sudah jelas pada tulisan di atas. Tapi yang mau dibahas adalah frasa selanjutnya “berdasar kepada keberulangan”. Keberulangan apa yang dimaksud? Saya akan berikan dua contoh: “Makanan itu mengenyangkan” dan “Api itu membakar”. Menurut kebiasaan, makanan itu mengenyangkan. Kasus itu banyak kali berulang, sehingga kita membenarkan ungkapan tersebut berdasarkan kebiasaannya. Sebagaimana api yang membakar, menurut kebiasaan dia memang membakar. Dan kebiasaan ini terulang banyak kali. Tapi, perlu dicatat bahwa yang namanya kebiasaan, tidak menafikan hal-hal yang menyimpang dari kebiasaan itu. Seperti makanan yang tidak mampu mengenyangkan dan api yang tidak membakar (sebagaimana pada kisah Nabi Ibrahim As.).

Ada hal menarik yang bisa kita tarik dari poin ini, bahwa karena hal tersebut terjadi berdasarkan kebiasaan dan sewaktu-waktu bisa saja terjadi hal-hal yang menyimpang dari kebiasaannya, maka makanan tidak bisa menjadi sebab mutlak akan kekenyangan, sebagaimana api tidak bisa menjadi sebab mutlak untuk membakar. Berarti ada yang lebih kuasa yang lebih layak dan pantas menjadi sebab mutlak atau memberikan efek/dampak terhadap sesuatu; Allah Swt. Karena inilah, kita bisa mengafirmasi mungkinnya terjadi hal-hal yang menyimpang di luar kebiasaan lainnya seperti mukjizat, karamah, ma’unah, dan istidraj. Karena itu semua di luar hal yang biasa (khâriq ‘an al-‘âdah). Tolak ukur dari sesuatu dikatakan biasa adalah adanya keberulangan.

Kemudian, ini dibagi menjadi dua; 1) Adiy qauli. 2) Adiy fi’liy. Apa maksudnya? Jika pertama adalah kebiasaan dalam bentuk ucapan, maka yang kedua adalah kebiasaan dalam bentuk reaksi. Contoh untuk yang pertama adalah kaidah-kaidah umum dalam ilmu bahasa, seperti fa’il (pelaku/predikat) itu hukumnya marfȗ’. Maf’ȗl (objek) itu hukumnya manshȗb. Namun, kalau berbicara kemungkinan, apakah ada kemungkinan naskah bahasa Arab melanggar ketentuan itu? Kalau melihat naskah klasik atau bahkan syair bahasa Arab yang kadang-kadang bisa melanggar ketentuan dalam ilmu nahwu, hal demikian mungkin saja terjadi. Adapun yang kedua, itu seperti contoh di atas tadi, makanan itu mengenyangkan dan api itu membakar. Juga sama-sama bisa terjadi di luar kebiasaan.

Sekali lagi, saya ingin menekankan bahwa bukan berarti seringnya terjadi sesuatu, maka yang sekilas terlihat sebagai sebab adalah sebab mutlaknya, seperti sebab membakar adalah api. Tapi, bisa saja hanya korelasi, kebetulan saat ada suatu peristiwa, ada juga sesuatu yang diduga sebagai sebab itu muncul. Atau contoh lebih jelas lagi, obat dan kesembuhan. Memang ada orang sembuh karena obat. Tapi tidak jarang juga ada orang sembuh tanpa obat, bahkan meninggal walaupun sudah mengonsumsi banyak obat. Bukan berarti obat menjadi sebab hanya karena adanya keberulangan orang sembuh setelah mengonsumsi obat, tapi ada sesuatu yang lebih layak dan kuasa yang menyembuhkan itu.

Hukum ‘Aqliy

Definisinya: Isnâd al-amr li amr aw nafyuhu ‘anhu min ghair tawaqquf ‘ala al-tikrâr (Menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain atau menafikannya tanpa harus bergantung kepada keberulangan).

Dari definisi ini terlihat, kalau yang membedakan antara hukum akal dan hukum ‘adiy adalah keberulangan. Kalau ‘adiy pakai keberulangan, maka akal tidak. Di sinilah teori-teori dan hipotesis muncul, karena teori itu tidak bergantung pada kejadian saja, tapi kadang-kadang teori ada berdasarkan kemungkinannya terjadi di alam nyata, tapi belum terjadi.

Seperti misalnya ada universitas yang melihat dari proses belajarnya itu sudah sangat sulit. Menurut rekam jejak mahasiswanya, mahasiswa paling cepat selesai itu lima tahun. Sedangkan menurut pihak universitas, dua tahun itu sudah bisa lulus. Kalau kita jadikan sebagai proposisi “Di universitas ini dua tahun sudah bisa lulus”. Ungkapan ini bisa kita benarkan karena secara teori atau menurut kemungkinan, orang lulus dua tahun itu bisa. Tapi, bukan berarti semua yang bisa itu benar-benar terjadi di alam nyata. Kita menerima proposisi ini berdasarkan aktivitas akal, bukan keberulangan yang terjadi di alam nyata.

Contoh lain, di Mesir itu sangat dinamis. Ada orang yang fokus talaqqi, ada yang fokus kuliah, ada yang fokus organisasi, ada yang berbisnis juga. Tapi, ketika dikatakan begini, mahasiswa ideal itu adalah mereka yang bisa menjadi paling jago dan rajin di talaqqi, paling aktif berkomunikasi dengan dosen, memegang jabatan tertinggi di organisasi dan semua warganya di organisasi itu sejahtera, kebutuhannya terpenuhi, dan dalam bisnis dia paling sukses dan jaringan bisnisnya sampai di tingkat internasional. Adakah mahasiswa yang seperti itu sekarang? Sampai tulisan ini dibuat, belum ada mahasiswa yang bisa sampai sehebat itu. yang ada, mungkin jago dalam tiga bidang, tapi lemah dalam bidang lain. Namun, kalau ditanya, apakah mungkin ada mahasiswa seperti itu? Jawabannya tentu bisa. Jadi, kalau dijadikan proposisi “Mahasiswa ideal adalah mahasiswa yang rajin talaqqi, aktif kuliah, paling hebat dalam organisasi, dan paling sukses bisnisnya” mungkin kita bisa menerima ini sebagai proposisi, tapi dia dibentuk bukan berdasarkan keberulangan, tapi aktivitas akal.

Kurang lebih demikian gambaran umum hukum akal.

Kemudian, hukum akal terbagi menjadi tiga: 1) Wajib. 2) Mustahil. 3) Mumkin.

  1. Wajib

Definisinya: Mâ lâ yaqbalu al-intifâ. (Sesuatu yang tidak menerima negasi).

Dalam definisi ini, jelas bahwa kata “wajib” yang dimaksud ini bukan dalam definisi ilmu fikih, tapi dalam definisi sebagai salah satu hukum akal. Maka ketika kita membahas wajib dalam ilmu akidah, tidak ada sangkut pautnya dengan pahala atau dosa, tapi berkaitan kepada keniscayaan akal akan keberadaan sesuatu. Dalam hal ini contohnya: Keberadaan Tuhan.

Kenapa keberadaan Tuhan itu wajib? Karena akal tidak bisa menerima keberadaannya. Mungkin di sini masih ada yang bingung dengan ungkapan ini. Karena itu, saya akan memberikan sebuah pembuktian akan keniscayaan akal.

Alam ini ada. Tentu kita sepakat akan ini. Tapi, kita akan membincang mengenai proses keberadaannya. Apakah alam ini ada karena ada karena dirinya sendiri atau ada karena sesuatu yang lain? Jika dikatakan alam ada dengan dirinya sendiri, maka ada dua kemungkinan. Pertama, alam menjadi subjek sekaligus objek. Kedua, ada perbuatan tanpa pelaku.

Bagaimana maksudnya? Kan, sudah dikatakan bahwa alam menciptakan dirinya sendiri. Tentu saja, yang menjadi pelaku dari penciptaan sekaligus objek adalah alam itu sendiri. Tapi, kalau kita berbicara masalah cipta-mencipta, ini sangat erat kaitannya dengan sesuatu yang ada setelah mengalami ketiadaan. Artinya, ini berbicara tentang ada dan tiada. Karena perbuatan menciptakan ini berbicara tentang mengadakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), maka salah satunya harus ada, dan satunya lagi tiada. Setelah terjadi perbuatan cipta ini, barulah keduanya (pelaku dan objek) itu ada. Namun, yang membedakan status keberadaannya adalah ada yang lebih dulu dan ada yang lebih terkini. Tentu pelaku penciptaan itu yang lebih dulu ada daripada yang diciptakan.

Jika alam dikatakan menciptakan dirinya sendiri, maka terjadi kontradiksi. Mengapa? Karena sebelum terjadi perbuatan penciptaan, alam menjadi pelaku penciptaan, di sini alam dikatakan sebagai sesuatu yang ada (sebagai pencipta). Sedangkan di saat yang sama, alam juga tidak ada, karena dia menjadi objek dari penciptaan itu sendiri. Berarti, sebelum terjadi penciptaan, alam dikatakan sebagai sesuatu yang ada sekaligus ada. Ini tidak bisa diterima akal. Maka argumen ini batal.

Jika dikatakan ada perbuatan atau reaksi tanpa adanya inang dari perbuatan atau reaksi itu, bagaimana mungkin? Sementara syarat dari keberadaan reaksi atau perbuatan itu adalah adanya inang atau pelaku. Maka opsi ini juga batal. Berarti alam ada karena adanya sesuatu yang menciptakan.

Kemudian, dilihat lagi yang menciptakan alam ini adalah sesuatu yang hâdits (sesuatu yang ada setelah mengalami ketiadaan, sesuatu yang memiliki awalan) atau qadîm (Kebalikan dari hâdits)? Jika yang menciptakan alam ini adalah sesuatu yang hâdits, maka dilihat lagi, apakah penciptaan ini berujung kepada sesuatu yang qadîm atau tidak? Jika tidak berujung, maka akan terjadi dua hal, daur atau tasalsul. Ini mustahil, tidak diterima oleh akal.

Secara sederhana, daur itu adalah keberadaan sesuatu yang bergantung kepada keberadaan sesuatu yang lain. Proses ini meniscayakan penciptaan yang berputar. Misalnya A ada karena ada B. B ada karena C. Kemudian, C ada karena adanya A. Ini mustahil dan ditolak secara akal. Begitu juga tasalsul. Hanya saja, bedanya dia tidak memiliki skema berputar, tapi bersilsilah tanpa ujung. A ada karena ada B. B ada karena ada C. C ada karena ada D. Dan seterusnya tanpa ujung. Dua hal ini yang terjadi jika seandainya alam diciptakan oleh sesuatu yang hâdits dan penciptaannya tidak berujung.

Jika alam diciptakan oleh sesuatu yang hâdits dan penciptaannya berujung kepada sesuatu yang qadîm, maka ini akan diterima. Yang qadîm ini, itulah Tuhan. Karena salah satu sifat Tuhan adalah qadîm. Begitu juga jika alam diciptakan oleh sesuatu yang qadîm, maka ini tidak ditolak akal.

Namun, timbul pertanyaan, apa yang menciptakan yang qadîm? Pertanyaan ini keliru. Kenapa? Karena sesuatu yang qadîm itu tidak diciptakan. Karena jika diciptakan, maka dia tidak akan berbeda dengan konsep hâdits. Dia ada tanpa diciptakan karena itulah yang menjadi titik pembeda antara qadîm dan hâdits. Yang harus dicari penciptanya adalah hâdits. Karena hâdits sendiri sesuatu yang memiliki awalan dan ada setelah mengalami ketiadaan. Tentu ini layak terjadi pada sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Bagaimana mungkin ada penciptaan yang terjadi (dalam artian, pada objek penciptaan) pada sesuatu yang sudah ada? Penciptaan hanya terjadi pada sesuatu yang belum ada. Sedangkan qadîm tidak pernah mengalami ketiadaan.

Atas dasar inilah kenapa keberadaan Tuhan itu menjadi niscaya (wajib). Karena ketiadaan Tuhan secara otomatis ditolak oleh akal.

  1. Mustahil

Definisinya: Mâ lâ yaqbalu al-tsubȗt (Sesuatu yang tidak menerima keberadaan).

Contoh untuk bagian ini adalah terhimpunnya dua hal yang kontradiktif. Misalnya ada dan tidak ada. Tidak mungkin dua hal ini terhimpun dalam satu hal, semisal laptop ada sekaligus tidak ada. Yang seperti ini pasti ditolak secara akal keberadaannya.

Dalam kasus lain, keberadaan sekutu tuhan juga ditolak oleh akal keberadaannya. Artinya, akal sudah tidak memunculkan kemungkinan akan keberadaan sekutu tuhan dan memastikan ketiadaannya. Ini juga memerlukan pembuktian, sebagaimana keberadaan tuhan yang niscaya tadi.

Jika ada dua tuhan, maka ada beberapa kemungkinan. Alam ini tercipta karena dua tuhan atau satu tuhan. Jika alam tercipta karena satu tuhan, maka tuhan kedua tidak diperlukan lagi dan keberadaannya sia-sia. Sedangkan Tuhan tidak mungkin sia-sia keberadaannya. Maka kemungkinan ini tertolak. Jika alam ada karena ada dua tuhan, maka dilihat lagi, apakah dua tuhan ini memiliki kekuatan yang setara ataukah tidak? Jika memiliki kekuatan setara, maka hakikatnya kedua tuhan ini tidak memiliki kekuatan sempurna, karena jika dipisah, maka kekurangannya tampak dan keduanya saling membutuhkan. Sedangkan tuhan tidak mungkin memiliki kekurangan dan tidak mungkin membutuhkan. Ini juga batal. Jika dikatakan salah satunya lebih kuasa, maka tuhan yang lainnya tidak lebih kuasa. Maka tuhan yang tidak lebih kuasa ini bukan tuhan. Karena yang namanya tuhan pasti maha kuasa.

Melihat pembuktian di atas, semua opsi yang mungkin saja terjadi jika ada dua tuhan, semuanya bermuara pada satu hal, kalau bukan batal, ya mustahil. Maka opsi keberadaan sekutu tuhan otomatis tertolak. Yang bisa diterima adalah keberadaan Tuhan yang esa. Dalam mantik, cara pembuktian seperti ini dinamakan burhân al-khulf. Di sinilah kita menemukan kesimpulan bahwa keberadaan sekutu tuhan adalah sesuatu yang mustahil dan tidak bisa diterima secara akal. Akal hanya bisa menerima keberadaan tuhan yang esa.

  1. Mumkin

Definisinya: Mâ yaqbalu al-tsubȗt wa al-intifâ’ (Sesuatu yang menerima afirmasi dan negasi).

Sederhananya, mungkin itu bisa iya, bisa juga tidak. Seperti keberadaan manusia, bisa ada bisa tidak. Artinya, seandainya ada alam semesta tanpa keberadaan manusia sekalipun, akal tidak menolak kemungkinan itu. Kalaupun juga manusia itu ada, maka akal tidak menolak kemungkinan itu.

Ini juga mencakup keberadaan malaikat, jin, akhirat, dan lain-lain. Berangkat dari konsep kemungkinan akal ini, maka hal-hal gaib itu bisa diafirmasi. Kenapa? Karena hal-hal gaib sejatinya tidak bertentangan dengan hukum akal. Jika ada, mana titik kebertentangan hal gaib dengan hukum akal yang ada? Apakah ada kontradiksi? Tidak ada.

Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan yang mungkin, seperti perbuatan manusia itu sifatnya mungkin. Kenapa? Karena manusia adalah sesuatu yang mungkin. Otomatis yang berkaitan dengan manusia juga itu mungkin, dalam hal ini adalah perbuatannya.

Persoalan: Mumkin ‘Adiy dan Mumkin ‘Aqliy

Ini menjadi salah satu biang kerok, kenapa ada anggapan mukjizat itu sebagai sesuatu yang mustahil padahal sejatinya mukjizat adalah sesuatu yang dimungkinkan akal. Kenapa? Karena banyak orang tidak bisa membedakan antara mustahil secara kebiasaan dan mustahil secara akal. Mustahil menurut akal, sebagaimana yang dicontohkan di atas tadi. Sedangkan mustahil secara kebiasaan itu, seperti api yang tidak membakar.

Contoh lain, dalam definisi riwayat mutawatir, dikatakan bahwa sesuatu yang diriwayatkan oleh sebagian besar orang yang menurut “kebiasaan”, mustahil sepakat untuk berdusta. Artinya, orang yang meriwayatkan ini, jumlahnya sangat banyak, bisa jadi juga karena saking banyaknya, tinggal di tempat yang saling berjauhan, dan saling tidak kenal. Menurut kebiasaan kita, mana mungkin kita bersepakat dengan orang yang tidak kita kenal, apalagi dalam jumlah banyak? Tapi, walaupun secara kebiasaan mustahil, belum tentu mustahil secara akal. Karena akal masih bisa memungkinkan adanya persekongkolan berdusta dalam jumlah orang yang banyak dan tidak saling kenal.

Seperti juga kasusnya yang menjalankan studi di universitas yang mungkin lulus dalam dua tahun tadi. Realitanya, orang itu bisa lulus paling cepat lima tahun. Secara kebiasaan mustahil lulus dalam waktu dua tahun. Tapi, akal masih bisa menerima kemungkinan adanya lulus dalam waktu dua tahun.

Dalam dunia sains juga demikian. Kita bisa pergi ke galaksi Andromeda dengan waktu yang berabad-abad atau melakukan perjalanan dengan kecepatan cahaya. Secara akal (ungkapan yang sering dipakai: secara teori), itu mungkin dengan cara demikian. Tapi, realitanya, umur manusia itu rata-rata tidak sampai satu abad. Juga, tidak ada manusia yang bisa tahan dalam kecepatan cahaya. Maka, ini mustahil secara kebiasaan (‘adiy) tapi, tidak mustahil secara akal (‘aqliy). Tapi, hal yang mustahil secara akal, sudah pasti juga mustahil secara kebiasaan.

Wallahu a’lam.

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi
Ilmu Kalam

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi

Oleh N. Arifin. H.
29 Desember 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)

Oleh Muhammad Said Anwar
23 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)

Oleh Muhammad Said Anwar
20 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)

Oleh Muhammad Said Anwar
17 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Pendahuluan (Bag. 1)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Pendahuluan (Bag. 1)

Oleh Muhammad Said Anwar
4 September 2024
Artikel Selanjutnya
Beberapa Kaidah Umum Ilmu Akidah

Beberapa Kaidah Umum Ilmu Akidah

“Terlalu Cepat Percaya”

“Terlalu Cepat Percaya”

Hadis Al-Arba’in Al-Nawawiyyah (Bagian 6)

Ummi, Bukan Cacat Bagi Nabi

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan