Hampir semua kitab-kitab akidah setelah ilmu akidah mengalami perkembangan itu membuka pembahasan dengan hukum akal. Tanpa pembahasan ini, selain sulit memahami pembahasan dalam ilmu akidah, kita juga kesulitan untuk membantah orang yang menyerang akidah Islam. Saya juga merasakan kesulitan dalam membahas bab-bab ilmu akidah jika tidak lewat bab ini.
Tapi kenapa dalam kitab-kitab besar tidak memulai dari hukum akal, tapi memulai dari pembahasan ilmu, eksistensi, dan ketiadaan? Sebenarnya, pembahasan itu juga merupakan pengantar untuk memahami hukum akal. Bahkan, hukum akal dengan sendirinya terafirmasi dengan adanya pembahasan-pembahasan itu, hanya saja itu hanya ada di kitab-kitab besar, bukan untuk pemula. Sebelum itu, saya memberikan beberapa pengantar dulu. Tulisan yang akan datang membahas secara khusus hukum akal.
Akidah dan Akal
Sebelum jauh masuk ke dalam pembahasan hukum akal, ada satu pertanyaan yang ingin saya ajukan dan mungkin ini mewakili banyak orang “Bukannya dalam berakidah atau beriman kita cukup percaya saja? Kita tidak perlu pakai akal, karena akal kadang tidak menjangkau hal-hal gaib?” Sebenarnya, pertanyaan ini sah-sah saja. Hanya saja, ada poin yang kurang tepat, seperti hal-hal gaib yang tidak dijangkau akal. Mungkin doktrin atau adigium seperti itu tersebar luas karena luasnya diterima di tengah masyarakat, padahal tidak semua juga yang benar. Saya akan uraikan dalam dua poin:
Pertama, dalam beriman itu beda dengan berfikih. Secara gamblangnya, beriman itu ada dalam ranahnya ilmu akidah. Sedangkan berfikih itu dalam ranah ilmu fikih. Dua-duanya memiliki karakter berbeda dan ruang untuk bermazhab, tapi sikap bermazhabnya berbeda. Maksudnya, dalam akidah itu, kita tidak wajib bertaklid, sedangkan dalam fikih harus bertaklid kalau tidak sampai di level mujtahid. Kenapa? Karena dalam akidah tidak boleh ada keraguan sama sekali, sedangkan jalan untuk sampai ke level “tidak ada keraguan” itu melalui berpikir secara kritis. Bahkan ayat-ayat yang selalu berbicara tentang kekuasaan Allah dalam Al-Qur’an selalu diberengi dengan perintah berpikir.
Adapun dalam fikih itu punya metodologi tersendiri yang hanya bisa diakses oleh para ulama. Tentu berpikir hanya “salah satu” dari hal yang harus dipenuhi untuk sampai ke tahap tidak bertaklid dalam fikih dan itu sangat sulit. Sedangkan akidah berpikir adalah syarat utama untuk sampai kepada yakin dan tidak bertaklid. Ulama akidah di awal-awal kitab selalu menyebut kalau di antara manfaat mempelajari ilmu akidah adalah membawa kita dari tahap taklid menuju kepada yakin.
Bukannya orang-orang sekarang sudah yakin kalau agama Islam adalah agama yang benar? Tentu yakin yang dimaksud dengan ulama akidah dan masyarkat Indonesia itu berbeda. Yakin yang dimaksud oleh masyarakat Indonesia adalah taklid. Buktinya, coba tanya saja “Jika Allah maha kuasa, bisakah Allah mengubah status-Nya menjadi hamba?” tentu tidak semua menjawab. Ada yang bilang cukup beriman dan tidak usah bertanya seperti itu, sampai karena tidak bisa menjawab, malahan menjadikan pertanyaan seperti itu sebagai hal yang tabu. Justru ketidakbisaan dalam menjawab ini bukti bahwa dia sedang taklid. Justru kalau orang yakin, pasti bisa menjawab pertanyaan seperti itu. Karena untuk mencapai yakin (versi ulama akidah) harus banyak berpikir dan belajar, tidak sekedar percaya saja. Kita akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tabu pada tulisan yang akan datang.
Lantas untuk apa ada mazhab dalam akidah kalau kita tidak wajib bertaklid? Ini lagi yang menjadi titik pembeda antara mazhab akidah dan fikih. Jika mazhab fikih membuat kita bertaklid atau ikut pada salah satu mujtahid, maka mazhab akidah itu fungsinya membuat kita terlepas dari jeratan taklid. Kalau membaca kitab-kitab mazhab akidah, isinya tidak lain untuk melatih kita mendatangkan argumen demonstratif (burhân) akan kebenaran Islam.
Imam Al-Ghazali dalam Tahâfut Al-Falâsifah ketika ingin menghantam mazhab filsafat paripatetik, beliau di awal buku secara tegas menyebut kalau beliau itu menggunakan argumen-argumen yang ada dalam mazhab lain juga. Karena ketika kita berbicara akidah, yang kita lihat adalah kebenaran, sementara dalam setiap mazhab akidah memiliki kebenaran meskipun kita tidak setuju juga dengan beberapa argumen mereka.
Hal yang serupa juga yang dilakukan oleh guru kami Syekh Salim Abu ‘Ashiy dalam bukunya Tanzîh Al-Qur’an ‘an Al-Mathâ’in yang terinspirasi dari buku Qadhi Abdul Jabbar Al-Mu’tazili, Intelektual Muktazilah yang bertajuk Tanzîh Al-Qur’an ‘an Al-Mathâ’in. Beliau juga banyak menyertakan argumen dalam mazhab mereka. Lah, bukannya mereka itu keliru? Sekali lagi, dalam berbicara dalam bab akidah, yang kita lihat adalah kebenarannya. Berbeda kalau kita berada dalam mazhab fikih, kita harus mengikuti satu mazhab, karena metode yang amat rumit itu membuat kita tidak memiliki barometer untuk mengukur, mana argumen yang bisa diterima atau tidak.
Seandainya kita tidak boleh menggunakan akal dalam berakidah, lantas kenapa para nabi terdahulu mendatangkan argumen rasional kepada umatnya masing-masing? (Tentunya di samping menampakkan mukjizat). Misalnya, Nabi Ibrahim As. kenapa beliau menghancurkan berhala-berhala di Babilonia lalu menaruh kapak di tangan berhala paling besar? Tentu kalau kita melihat alasan Nabi Ibrahim, kita akan mengetahui jawabannya. Nabi Ibrahim mengatakan kalau berhala besar itulah yang menghancurkan berhala-berhala lain. Agar apa? Agar umatnya berpikir kalau “mana mungkin berhala besar itu bisa melakukan sesuatu?” Itu saja yang ingin dilakukan Nabi Ibrahim. Yang saya ingin sorot adalah “membuat berpikir” itu. Apa yang membuat kita tidak menggunakan akal dalam beriman, sedangkan nabi-nabi saja mengajak umatnya berpikir tentang akidah ini?
Justru orang-orang kafir itu justru menyembah berhala karena mereka tidak berpikir, hanya mengikuti doktrin generasi sebelumnya, hanya bermindset kalau ini sudah diajarkan nenek moyang kita, jangan ditanya dan jangan dipikir. Sedangkan kalau kita tidak boleh berpikir, untuk apa Allah memberikan kita akal, memuji orang yang menggunakan akal, dan mencela orang mengikuti hawa nafsu? Maka ungkapan “kita tidak perlu pakai akal” sangat tidak relevan dalam hal akidah.
Kedua, sebenarnya akal bisa menjangkau hal-hal gaib. Buktinya kita bisa memilirkan akan kemunginan dan kemustahilannya. Hanya saja saya tidak bisa menanggapi bagian ini sebelum menguraikan tentang hukum akal. Karena kunci untuk mengiyakan bahwa akal bisa menjangkau hal-hal gaib adalah melalui pembahasan hukum akal itu.
Akal dan Dalil Naqli
Mungkin ada yang akan mengatakan kalau kita cukupkan saja beriman dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan hadis. Tidak perlu berpikir lebih jauh. Sebenarnya, akal itu juga bisa dijadikan dalil. Itulah yang disebut oleh para ulama dengan dalil ‘aqli. Perlu digarisbawahi kalau dalil itu sangat luas, bisa bermakna argumentasi, bukti, dan lain-lain, tidak sekedar kutipan dari kitab suci.
Kalau kita berbicara dengan orang yang tidak percaya tuhan, maka kita berbicara menggunakan akal. Sebab, mereka tidak percaya dalil naqli. Tapi, perdebatan kita tidak akan bermuara akan kebenaran akhirat kalau sekedar stagnan di akal. Maka dari itu, kita ketika berdebat dengan mereka, salah satunya itu menggunakan akal untuk mengafirmasi kebenaran dalil naqli. Karena dalil naqli berbicara tentang akhirat. Kalau mitra debat kita percaya dengan dalil naqli, maka percaya akhirat adalah konsekuensi logisnya. Inilah yang disebut dengan ilzâm di dalam ilmu debat.
Jadi, dalil naqli itu bisa dipercaya setelah melewati pembuktian rasional oleh akal. Karena kalau kita menggunakan dalil naqli untuk percaya dalil naqli, akan terjadi daur.
Selain itu, akidah dan apa yang disampaikan dalam dalil naqli itu, sejalan dengan akal sehat. Ini penting saya utarakan. Karena ada anggapan bahwa akal bertentangan dengan hal-hal yang berkaitan dengan isi dalil Al-Qur’an dan hadis, seperti masalah mukjizat, akhirat, malaikat, jin, dan lain sebagainya. Sejatinya tidak. Akan saya buktikan pada tulisan yang akan mendatang. Namun satu syarat, jika Anda sudah memahami syarat kontradiksi yang delapan, maka Anda baru bisa sampai ke kesimpulan “Agama sejalan dengan akal sehat”. Sebab, ada beberapa orang yang terlampau mudah dalam mengatakan kontradiksi hanya bermodal ada kata “sekaligus”. Ini kaitannya dengan ilmu mantik langsung.
Wallahu a’lam