Dalam filsafat epistemologi atau filsafat ilmu, kebenaran itu ada banyak jenis dan tingkatannya. Di antara beragam kebenaran itu, ada namanya kebenaran sosial. Artinya, kebenaran ini dianut oleh kelompok atau komunitas tertentu. Kelompok ini sifatnya umum, apa saja, entah itu etnis, suku, agama, geng, atau apalah itu. Misalnya, Anda hidup di tengah kelompok yang meyakini bahwa memakai sepatu ke sekolah sebagai suatu kebenaran. Anggaplah kebenaran ini dianut oleh sebagian kalangan dari guru atau orang yang semasa karena guru itu; entah mereka menganut itu karena ada konteks kejadian atau sejarah tertentu. Seperti inilah kebenaran sosial.
Tapi, kalau kita melontarkan satu pertanyaan, apakah kebenaran sosial ini pasti kebenaran mutlak? Sebelum menjawab, saya ingin menguraikan dua hal, apa yang kita sebut dengan zhâhir al-amr dan nafs al-amr. Yang pertama itu apa yang kita lihat dari sisi zahirnya. Misalnya kita melihat perbuatan tidur di depan kipas dalam keadaan tidak pakai baju sebagai sebuah kebenaran. Sebab, kita melihat ada orang kok yang tidak pakai baju tapi tidak kenapa-napa kok. Juga, orang-orang di sekitar sudah menilai itu sebagai hal yang biasa atau istilahnya “normalisasi”. Kita melihat dia sebagai kebenaran karena sesuatu yang lain, bukan karena dirinya sendiri.
Sedangkan yang kedua, kita melihat suatu perbuatan sebagai kebenaran karena perbuatan itu sendiri. Dalam tradisi filsafat, ada dua tolak ukur kebenaran; Pertama, koherensi, yakni konsistensi. Kita menganggap 1+1=2 sebagai sebuah kebenaran karena hasilnya konsisten. Kedua, korespondensi, yakni sesuai dengan realita. Seperti ungkapan “Saya orang jujur” dan melihat kenyataan memang orang yang bersangkutan memang jujur. Kita akan mengamininya sebagai suatu kebenaran karena memang sesuai dengan fakta. Adapun dalam agama, ada dua sumber primer kebenaran; Pertama, wahyu. Kedua, akal. Dengan kebenaran jenis kedua ini, kita tidak melihat lagi siapa dan embel-embel apa yang menyertai hal yang kita anggap benar itu, karena kita menganggapnya benar sesuai dengan hakikatnya.
Nah, kalau kita melihat jenis kebenaran sosial ini, kita melihat sesuatu itu dianggap benar karena “anggapan individu yang banyak”. Sesuatu yang dianggap benar, belum tentu benar, perlu diteliti lagi. Ini artinya, kebenaran seperti ini bisa disepakati oleh kelompok yang bersangkutan. Maka kebenaran seperti ini sifatnya intersubjektif. Pada dasarnya, bersifat subjektif tapi karena diamini oleh banyak orang, maka jadilah intersubjektif. Kita tidak bisa menganggapnya sebagai kebenaran mutlak, karena kebenaran jenis ini bisa dimasuki kepentingan suatu kelompok tertentu. Sedangkan kebenaran itu sendiri sifatnya tetap, tidak dimasuki oleh oknum tertentu.
Misalnya, ada anggapan bahwa memakai narkoba itu laki. Mungkin saja kan ada pergaulan tertentu yang mengamini doktrin itu. Sehingga karena kelompok ini mendapatkan anggota baru, maka anggota baru ini dicekoki dengan sesuatu yang mereka anggap benar. Karena hal yang awalnya dianggap benar ini diulang-ulangi kepada orang baru ini, akhirnya dia juga bisa mengamini kalau narkoba adalah sesuatu yang benar. Ini juga karena melihat kebenaran intersubjektif ini memiliki pengaruh.
Ini alasan logis tentang perhatian ke sebuah pergaulan, pertemanan, dan komunitas. Karena kebenaran apapun yang ada di dalam sana bisa menular kepada orang lain. Kalau ternyata kita terjebak dalam salah satu kelompok yang merusak dan sejak awal kita tidak memiliki perhatian tentang apa yang dianut dalam kelompok itu, kita bisa saja menelan mentah-mentah pandangan yang ada di dalam sana.
Kalau kita memiliki pendirian sejak awal, bisa membedakan mana sesuatu yang dianggap benar dan kebenaran itu sendiri, ini jauh lebih aman. Alasannya sederhana, orang kalau sehat akalnya dan kuat pendiriannya, sederas apapun doktrin dan retorika tentang “pemaksaan kebenaran” itu, dia tidak akan sudi menerima mentah-mentah sesuatu yang dianggap benar sebelum pada akhirnya dia mengujinya.
Sifat subjektif yang dianut banyak orang ini bisa menjadi pisau bermata dua. Alasannya, jika ada orang yang terjebak di perkumpulan buruk, maka dalam perkumpulan itu dia akan terus-terusan dicekoki dengan pandangan mereka. Karena orang merasa benar dengan perbuatannya. Beda lagi kalau dia berada di perkumpulan baik, kepalanya akan terus dicekoki dengan hal-hal subjektif yang dianggap benar oleh perkumpulan baik itu.
Memang sebuah ide itu subjektif, hanya menetap dalam satu kepala saja. Tapi, ketika ide itu disebarkan, maka dia bisa menjamur membentuk satu perkumpulan (menjadi intersubjektif) lalu bisa membuat pengaruh kepada orang lain. Sampai ketika banyak yang menganut ide itu, hal intersubjektif ini sampai bisa dianggap sebuah kebenaran karena disampaikan secara berulang-ulang. Hanya pikiran merdeka yang bisa lepas dari belenggu subjektif itu.
Wallahu a’lam.