Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Kenapa Tuhan itu Ada?

Oleh Muhammad Said Anwar
19 Mei 2022
in Ilmu Kalam
Filusuf, Jodohnya Sastrawati
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Pertanyaan yang paling sering saya dapati, baik dari buku-buku atheis ataupun dari kaum beriman sendiri yang berpikir, ya pertanyaan “tabu” ini, kenapa tuhan ada? Kenapa tuhan tidak ada saja? Untuk menjawab pertanyaan ini, dibutuhkan penjelasan tentang apa itu jenis-jenis hukum akal, seperti apa itu wajib, mustahil, dan mungkin. Juga dari tiga bagian itu yang mana saja yang butuh dengan sebab. Ini sudah saya sentuh pada pembahasan hukum akal dan kaidah umum dalam ilmu akidah.

Umumnya, pertanyaan yang ada dalam ilmu akidah itu sering didapati keliru. Atas dasar ini, kita harus memperhatikan keabsahan pertanyaan dulu, apakah pertanyaan ini benar atau tidak? Sebab, jika pertanyaan yang sah saja bisa melahirkan jawaban yang keliru, terlebih lagi pertanyaan jika pertanyaan itu keliru. Jadi, sebelum saya menjawab pertanyaan ini, dibutuhkan beberapa pengantar. Juga, kita perlu mengenal sebagian dari dua puluh sifat wajib bagi Allah walau tidak detail. Karena ini akan sangat membantu dalam menjawab pertanyaan ini.

Masalah Pertama: Sifat Wujud, Qidam, Mukhalafah li Al-Hawadits, dan Qiyam bi Nafsihi.

Apa itu sifat? Kalau melihat uraian Imam Sayyid Syarif Al-Jurjani dalam Al-Ta’rifȃt, sifat adalah tanda yang niscaya ada pada zat yang disifati. Sederhananya begini, ketika kita berhadapan dengan orang lain, maka yang kita lihat adalah tubuh, rupa, dan bentuknya. Dengan melihat itu semua, maka kita akan mengetahui bahwa di sana ada entitas yang kita sebut manusia yang bernama Said misalnya. Memangnya orang bisa mengetahui kehadiran Said tanpa mengetahui sifatnya? Jawabannya tidak. Sebab, yang kita sebut sebagai manusia itu sebenarnya tidak pernah kita lihat di alam nyata; melainkan sifatnya saja. Dalam mantik, kita juga sudah menyinggung bahwa manusia itu adalah konsep universal (kulliy) dan yang namanya konsep itu di akal, bukan di alam nyata. Yang bisa kita lihat adalah bentuk partikularnya (juz’iy).

Begitu juga tuhan, dia memiliki sifat yang dengan sifat itu selain menunjukkan keberadaan-Nya, juga menunjukkan kekuasaan-Nya. Namun, perlu dicatat, bahwa sifat itu mengikuti tingkatan dzatnya. Jika dzatnya qadȋm, maka sifatnya juga demikian. Begitu juga jika dzatnya hȃdits, maka sifatnya juga demikian. Apa itu dzat? Dia adalah esensi atau hakikat, bukan dalam artian bahan yang merupakan pembentuk suatu benda.

Allah memiliki 20 sifat wajib. Ini sudah pernah saya singgung dalam tulisan yang lalu bahwa yang dimaksud wajib ini adalah sesuatu yang tidak menerima ketiadaan, tidak ada kaitannya dengan pahala dan dosa. Kita tidak bisa membayangkan atau tidak bisa menerima sesuatu sebagai tuhan jika tidak memiliki 20 sifat ini.

  1. Wujud

Ada perdebatan panjang mengenai apa itu ada. Namun, kita tidak punya waktu untuk menguraikan itu di tulisan kali ini. Kita tarik saja pendapat yang mengatakan bahwa ada adalah sesuatu yang aksiomatik dan tidak butuh definisi karena sudah terlampau jelas. Tuhan jelas memiliki sifat ini, karena jika tidak ada sifat ini, maka tuhan itu tidak ada dan tentunya kita juga tidak akan ada.

  1. Qidam

Makna sifat qidam adalah lȃ bidȃyah wa lȃ nihȃyah (Tidak memiliki awalan dan akhir). Artinya, Allah ada tanpa pernah mengalami ketiadaan. Sebab, jika ada yang mendahului-Nya, maka tentu yang lebih duluan ada itu lebih layak jadi tuhan. Bahkan yang ada belakangan itu adalah sesuatu yang ada setelah diciptakan. Jelas tuhan tidak diciptakan. Juga, dengan sifat ini, Tuhan tidak akan mungkin hancur kemudian hari, apalagi dikatakan mati.

BacaJuga

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)

Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)

  1. Mukhȃlafah li Al-Hawȃdits

Secara sederhana, sifat ini berarti tuhan itu berbeda dengan ciptaan-Nya. Kenapa sifat ini ada? Sebagaimana yang saya uraikan pada tulisan yang lalu bahwa sesuatu yang sama maka dihukumi sama dengan semisalnya. Tuhan berbeda dengan ciptaan-Nya, maka tuhan dihukumi berbeda dengan ciptaan-Nya. Jika makhluk ada karena memiliki sebab, maka tuhan ada tanpa memiliki sebab.

  1. Qiyȃm bi Nafsihi

Kalau sifat ini dijelaskan maknanya secara sederhana, maksudnya tuhan itu ada tanpa bergantung dengan apapun. Tuhan bisa ada tanpa ada pencipta, juga tanpa sebab. Jika makhluk butuh pencipta dan sebab untuk ada, maka Tuhan sebaliknya. Jika Tuhan ada karena bergantung kepada sesuatu yang lain, maka tuhan tidak lagi absolut. Karena kebergantungan itu tidak ada pada sesuatu yang bergantung kepada sesautu yang lain.

Ya, keempat sifat ini tergolong sebagai sifat salbiyyah (negasi). Ini bertujuan meniadakan sesuatu yang menjadikan tuhan memiliki kekurangan dan lemah. Karena tuhan maha suci atas segala kekurangan. Juga sifat ini satu sama lain saling melengkapi.

Masalah Kedua: Bisakah Sebuah Pertanyaan itu Keliru?

Lebih gamblang dari pertanyaan ini adalah “Bagaimana mungkin kita mengatakan sebuah pertanyaan sebagai sesuatu yang keliru, sedangkan sesuatu bisa keliru itu ketika penghukumannya atau pembenarannya (tashdȋq) sudah ada?”. Kita menerima bahwa sesuatu yang bisa dinilai salah atau benar adalah yang ada unsur pembenarannya di dalam. Karena ketika saat itu terjadi, maka pernyataannya tergolong sebagai khabari atau pernyataan yang mengandung kemungkinan benar dan salah (yahtamilu al-shidq wa al-kadzib).

Sebuah pertanyaan yang dihukumi salah atau yang kita kenal dengan ungkapan “Pertanyaan salah” itu bukanlah ungkapan yang hakiki, tapi majazi. Kalau majazi, berarti ada sesuatu lain yang dimaksud, tentunya di luar pertanyaan itu. Apa itu? Penghukuman yang tersirat (lȃzim al-qadhiyyah).

Misalnya saya bertanya kepada seorang laki-laki “Sudah berapa kali Anda melahirkan?” Apakah pertanyaan seperti ini bisa dijawab? Jawabannya tidak. Karena kita semua tahu bahwa pertanyaan ini salah alamat, karena ditanyakan kepada laki-laki. Memangnya kenapa kalau ditanyakan kepada laki-laki? Secara tidak langsung, kita menghukumi laki-laki itu sebagai sebuah spesies yang bisa melahirkan dan untuk memunculkan pertanyaan tentang melahirkan itu, tentu dibutuhkan pengantar, yaitu kemungkinan bisanya atau tidak dalam melahirkan. Kita tidak menanyakan sudah berapa kali melahirkan kalau sejak awal kita sudah sepakat bahwa laki-laki tidak mungkin melahirkan. Maka untuk menjawab pertanyaan “Sudah berapa kali Anda melahirkan?” itu harus kembali kepada permasalahan sebelumnya, mungkinkah laki-laki itu melahirkan?

Pada contoh di atas, saya sudah hadirkan pertanyaan yang salah alamat. Itu disebabkan karena secara tidak langsung di awal sudah mengamini bahwa laki-laki itu mungkin melahirkan. Inilah titik kesalahan itu. Hanya saja karena disematkan ke dalam pertanyaan, maka disebutlah sebagai pertanyaan salah.

Pertanyaan yang tidak dijawab itu bisa jadi karena jawabannya tidak diketahui, jawabannya diketahui tapi ada alasan lain, atau bisa saja pertanyaannya itu keliru.

Masalah Ketiga: Maksud “Kenapa”

Sebuah pertanyaan itu memiliki wajh al-mas’ȗl (sisi yang ditanyakan). Imam Al-Ghazali dalam Maqȃshid Al-Falȃsifah menjelaskan bahwa pertanyaan “kenapa” itu ada untuk menanyakan “sebab” (‘illah). Kemudian, jenis alasan ini kemudian terbagi menjadi dua; Pertama, alasan tentang keberadaan sesuatu. Ini seperti: “Kenapa manusia ada?”. Artinya, keberadaan manusia ini bergantung kepada sebab tersebut. Jika sebab itu tidak ada, maka keberadaan manusia juga tiada. Kedua, alasan klaim. Misalnya saya menanyakan: “Kenapa Anda mengatakan manusia itu ada?”. Saya menanyakan alasan, kenapa dia mengklaim bahwa manusia ada. Artinya, yang saya tanyakan bukan sebab keberadaan manusia itu, tapi apa asas atau argumen sehingga dia mengatakan bahwa manusia itu ada.

Jika disandingkan dengan pertanyaan yang ada pada judul tulisan ini, maka cocok jika memakai makna yang pertama, yakni menanyakan sebab keberadaan tuhan itu sendiri. Apakah pertanyaan ini sudah benar? Mari kita uji pada poin berikutnya.

Masalah Keempat: Apakah Keberadaan Tuhan Disebabkan Tujuan?

Aristoteles dalam Organon menyebut bahwa sebab itu ada empat jenis, salah satunya adalah sebab yang ada karena tujuan. Sederhananya begini, ketika kita sedang berjalan kaki ke mall, yang kita lakukan sebelum berjalan itu adalah memproyeksikan atau membuat tujuan ke mana kita pergi. Ketika kita sudah memiliki tujuan ke mall, saat itulah kita kemudian tergerak untuk menuju ke mall. Jadi, sebab perginya kita ke mall adalah adanya tujuan sebelum kita melakukan.

Kemudian, jika disandarkan kepada tuhan, apakah tuhan memiliki sebab untuk ada? Apakah tuhan memiliki tujuan untuk ada? Jawaban dari pertanyaan ini adalah:

Pertama, pertanyaan ini keliru karena tuhan itu ada tanpa memiliki sebab, terlebih lagi jika memiliki tujuan. Kenapa? Jika tuhan memiliki sebab untuk ada, maka sebelum sebab itu ada maka tuhan tidak ada dan sebab itulah yang lebih duluan ada daripada tuhan. Tentu ini mustahil. Sebagaimana pada uraian di atas bahwa tuhan memiliki sifat qidam yang tidak memiliki awalan dan akhir. Untuk menanyakan tujuan keberadaan tuhan, tentu ini terbantah dengan sendirinya dengan membantah keberadaan sebab eksistensi tuhan. Kenapa? Untuk sampai ke persoalan tujuan itu, harus melewati persoalan sebab itu.

Kedua, kita juga sudah menyinggung pada beberapa tulisan lalu bahwa tuhan adalah wȃjib al-wujȗd yang tidak perlu ditanyakan sebabnya. Karena kaidah mengatakan al-imkȃn ‘illah al-ihtiyȃj (Kemungkinan itu membutuhkan sebab). Artinya, kita keliru kalau menanyakan sebab kepada sesuatu yang tidak menerima sebab, dalam hal ini adalah wȃjib al-wujȗd. Jika kita melakukan ini, maka kita melakukan qalb al-haqȃ’iq dan itu mustahil. Karena yang layak ditanyakan sebabnya adalah yang mungkin. Inilah kemudian disebutkan dalam ayat:

لَا يُسۡ‍َٔلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسۡ‍َٔلُونَ

“Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tapi merekalah yang ditanya (tentang apa yang mereka perbuat)” (Q.S. Al-Anbiya: 23)

Ketiga, kalaupun tuhan ada, maka apapun yang dia lakukan tidak disebabkan oleh tujuan. Ini dijelaskan oleh penulis Syarh Al-Maqȃshid bahwa tuhan tidak disebabkan dan tidak butuh sebab oleh apapun, baik dzat maupun perbuatan-Nya. Kenapa? Jika tuhan disebabkan oleh sesuatu, maka keabsolutan tuhan menjadi terbatas. Bukankah tuhan itu absolut, bebas secara mutlak?

Jadi, tuhan ada tanpa sebab dan tidak ditanyakan “kenapa”. Alasannya seperti yang saya uraikan tadi, tuhan tidak butuh sebab. Bagaimana mungkin kita menanyakan kebagaimanaan sebab tuhan, sedangkan tuhan sendiri tidak disebabkan?

Wallahu a’lam.

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi
Ilmu Kalam

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi

Oleh N. Arifin. H.
29 Desember 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)

Oleh Muhammad Said Anwar
23 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)

Oleh Muhammad Said Anwar
20 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)

Oleh Muhammad Said Anwar
17 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Pendahuluan (Bag. 1)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Pendahuluan (Bag. 1)

Oleh Muhammad Said Anwar
4 September 2024
Artikel Selanjutnya
Apa Bukti Rasional Bahwa Tuhan itu Esa?

Apa Bukti Rasional Bahwa Tuhan itu Esa?

Blak-Blakan Seputar Pendidikan

Jika Tuhan Tidak Tersusun, Apakah Berarti Atom Memiliki Sifat Ketuhanan?

Terlanjur Belajar Filsafat Barat, Tapi Belum Sistematis Belajar Ilmu Aqliyyat. Solusinya?

“Benarkah Banyak Bertanya itu Dilarang?” Tanyaku Pada Syekh

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan