Pada tulisan sebelumnya, kita sudah menyentuh seputar kewajiban pertama. Di sana disinggung bahwa hal krusial yang paling utama untuk mengantarkan kita mengenal Allah adalah berpikir, kendati wajibnya mengenal Allah itu wajib secara syar’i. Sebab, hal yang paling dekat dari kita adalah pancaindera, akal, dan informasi yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui jalur transmisi. Sebelum itu, kita perlu membahas sumber pengetahuan yang sah dan dengannya pengetahuan itu disebut ilmiah, karena menghasilkan ilmu.
Sumber Pengetahuan
Allah Swt. berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari rahim ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, sehingga Allah menciptakan kepada kalian al-sam’u, al-abshâr, dan al-af’idah, agar kalian bersyukur.” (Al-Nahl: 78).
Syekh Said Fudah, Pakar Ilmu Kalam Asal Yordania, dalam risalah Syarh Al-Mufashal menulis bahwa dalam ayat tersebut, Allah sendiri mengisyaratkan sumber pengetahuan. Di sana disebutkan al-sam’u yang berarti pendengaran, tapi ditafsirkan sebagai informasi atau riwayat. Karena riwayat itu diperoleh melalui pendengaran. Al-abshâr berarti penglihatan. Ditafsirkan sebagai lima pancaindera, karena penglihatan (yang lebih umum dari sekadar mata), itu mencakup lima indera; penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Sedangkan yang paling utama adalah penglihatan. Sedangkan al-af’idah diartikan sebagai hati. Ditafsirkan sebagai akal, karena ilmu itu di hati.
Jadi, sumber pengetahuan yang sah dalam khazanah keilmuan Islam itu ada tiga; 1) Pancaindera, 2) Akal, dan 3) Riwayat yang terpercaya.
Tapi, kenapa dari tiga sumber pengetahuan, hanya akal yang dibahas hukumnya? Karena akal yang memiliki tanggung jawab paling intim pada manusia di antara ketiga sumber pengetahuan itu. Bahkan, akal yang memutuskan sesuatu itu disebut benar dan salah. Ini juga yang menjadi pembeda manusia dan hewan lainnya.
Hukum Akal
Apa pentingnya hukum akal? Pembahasan ini akan mengantarkan kita untuk membedakan apa sesuatu yang pasti ada menurut akal, mustahil menurut akal, dan mungkin bagi akal. Walaupun kelihatan sederhana, tapi kita sendiri belum tentu bisa mengaplikasikannya dengan baik.
Misalnya, mukjizat itu mustahil atau tidak? Jika mustahil, apa bedanya kemustahilan mukjizat dengan mustahilnya ada segitiga yang bulat? Jika dikatakan sama, maka di sinilah perlunya mempelajari hukum akal. Karena dengan hukum akal, kita akan mengetahui bahwa mukjizat, karamah, keberadaan, jin, malaikat, akhirat, surga, neraka, dan lain sebagainya sifatnya mungkin, bukan mustahil. Sedangkan segitiga yang bulat tadi, mustahil karena kontradiksi. Dia tidak tergolong mungkin. Tidak mungkin sesuatu yang segitiga sekaligus bulat.
Dan satu kesimpulan penting dari ilmu akidah yang akan kita temui di akhir: tidak ada ajaran Islam, kecuali dia terbukti secara logis dan ilmiah. Karena setiap jengkal pembahasan dalam keilmuan Islam, bisa dibuktikan secara ilmiah. Hal itu termasuk harusnya Allah ada dan mustahilnya ada sekutu-Nya. Keharusan ini bukan kita yang memaksa, akan tetapi keniscayaan akal; akal kita tidak bisa menerima jika Allah tiada, begitu juga akal kita akan menolak jika Allah memiliki sekutu.
Imam Al-Dardir menulis:
Tapi, perlu diketahui, apa itu akal? Akal adalah sirr (misteri) rohani yang dengannya, kita bisa mengetahui ilmu yang bersifat dharȗriy (aksiomatik) dan nazhariy (spekulatif). Tempatnya di hati, yang di otak adalah cahayanya. Pertama kali berfungsi ketika ruh ditiupkan saat di rahim dan bentuk keutuhannya ketika mencapai usia balig. Inilah alasan mengapa seseorang dibebani hukum syariat ketika balig.
Kemudian, di bagian sebelumnya disebutkan ada ilmu dharȗriy dan nazhariy. Apa itu ilmu dhâruriy? Singkatnya, ia adalah ilmu yang diketahui tanpa proses berpikir. Seperti, ketika kita sedang memasak, tiba-tiba tangan tidak sengaja menyentuh panci, lalu secara refleks kita menghindarkan tangan dari panci. Kita menghindarkan tangan dari panci karena kita mengetahui bahwa di sana itu panas. Pengetahuan bahwa di sana itu panas, disebut pengetahuan dharȗriy karena kita tidak perlu berpikir untuk mengetahuinya. Hal yang sama berlaku ketika kita melihat lemari. Sejak saat itu, kita mengetahui bahwa di sana ada lemari dan kita tidak perlu berpikir apakah di sana ada lemari atau tidak.
Bedanya dengan ilmu nazhariy, ia butuh berpikir untuk diketahui. Misalnya, alam ini ada dari ketiadaan. Sebagai orang muslim, kita akan percaya itu. Namun, jauh di sana, ada juga yang tidak percaya bahwa alam itu ada dari ketiadaan, bahkan dengan tegas mengatakan bahwa alam itu abadi, ia ada bersamaan dengan adanya Allah. Ini jelas pandangan yang berbahaya. Namun, karena untuk sampai kepada kesimpulan bahwa alam itu ada dari ketiadaan membutuhkan argumentasi, makanya dia disebut dengan ilmu nazhariy.
Wajib
Ketika dikatakan wajib, yang dimaksud bukan wajib sebagaimana yang dipahami dalam ilmu fikih; jika dilakukan mendapat pahala dan meninggalkannya mendapatkan dosa. Tapi yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang menolak ketiadaan, sehingga akal kita tidak bisa membayangkan ketiadaan pada sesuatu itu. Misalnya, akibat mengharuskan adanya sebab. Kita tidak bisa membayangkan ada akibat tanpa adanya sebab.
Perhatikan, sebab di sini keberadaannya disebut wajib. Karena akal mengharuskan di sana sebab ada. Dan akal tidak bisa membayangkan ketiadaannya. Bagaimana kita bisa menerima ada akibat tanpa ada sebab?
Kemudian, wajib ini terbagi menjadi dua; dharȗriy dan nazhariy. Yang dimaksud dengan wajib dharȗriy adalah kita bisa menerima bahwa sesuatu itu wajib tanpa berpikir, seperti wajibnya keberadaan sebab sebelum adanya akibat. Baik orang muslim, orang Kristen, orang Yahudi, bahkan komunis sekalipun akan menerima hal tersebut.
Beda halnya dengan wajib nazhariy, tidak semua orang sepakat bahwa sesuatu itu wajib. Misalnya, keberadaan Tuhan. Bagi orang yang percaya bahwa Tuhan itu ada, khususnya agama Islam, mereka jelas tidak mempertanyakan itu. Tapi, ada juga orang ateis yang tidak percaya Tuhan. Karena bagi mereka, alam ini ada secara natural dan melalui proses alamiah tanpa campur tangan Tuhan. Adanya orang percaya dan ingkar ini menjadi bukti bahwa wajibnya Tuhan ada itu bersifat nazhari.
Perlu dicatat, bukan berarti sesuatu itu sifatnya nazhari lantas kebenarannya lebih rendah. Bedanya, hanya pada aspek kejelasan saja. Misalnya, 1 + 1 = 2 itu dharȗriy. Karena kita tidak perlu berpikir panjang. Tapi, kalau kita mengatakan 1 + 1 = ⅙-nya 12. Kalau kita lebih berpikir di sini, maka ini bukti bahwa yang kedua ini nazhariy. Apakah kebenaran kedua contoh ini berada pada tingkatan berbeda? Jawabannya, tidak. Hanya beda dari aspek kejelasan saja. Tapi, berada pada tingkat kebenaran yang sama.
Mustahil
Berkebalikan dengan wajib, mustahil ini akal mengharuskan ketiadaannya dan tidak bisa menerima keberadaannya. Seperti, segitiga yang bulat. Akal tidak bisa menerima keberadaannya. Karena segitiga ya segitiga. Bulat ya bulat. Begitulah hukum identitas harusnya bekerja. Akal kita tidak bisa menerima segitiga sekaligus bukan segitiga. Begitu juga bulat sekaligus bukan bulat.
Karena mustahil diterima akal keberadaannya, maka sesuatu itu tidak ada. Karena syarat keberadaan sesuatu, harus didahului oleh akal keberadaannya. Dengan kata lain, akal harus menyatakan bahwa sesuatu itu mungkin ada, baru sesuatu itu mungkin ada. Karena tidak ada satupun di alam semesta sesuatu yang ada, tapi akal menghukumi keberadaannya itu dengan mustahil.
Sebagaimana wajib yang memiliki sisi dharȗriy dan nazhariy, mustahil juga demikian. Contoh untuk sesuatu yang mustahil secara dharȗriy adalah segitiga yang bulat tadi. Sedangkan yang mustahil nazhariy adalah ketiadaan sekutu Tuhan. Bagi orang muslim, jelas Tuhan tidak memiliki sekutu. Tapi, bagi agama lain, ada yang menyatakan Tuhan bukan hanya satu, tapi banyak.
Sekali lagi, sesuatu yang nazhariy itu bukan berarti kebenarannya lebih rendah. Akan tetapi, tidak jelas bagi orang lain. Makanya, ia butuh argumentasi dan pembuktian. Terkait alam ada dari tiada, akan ditemui dalam pembahasan kebaruan alam (hudȗts al-‘âlam), sedangkan kemustahilan sekutu Tuhan akan ditemukan dalam pembahasan Sifat Maha Esa (Wahdaniyyah).
Mungkin
Jika wajib itu pasti ada, mustahil itu pasti tidak ada, maka mungkin adalah sesuatu yang menerima keberadaan dan ketiadaan. Seperti, kita sekarang mungkin saja hidup beberapa menit ke depan, bisa juga nyawa kita tercabut. Hal itu sama-sama mungkin. Begitu juga setelah kita makan kemudian merasakan kenyang, itu juga mungkin. Karena bisa saja setelah makan tapi kita tidak merasakan kenyang.
Ini memiliki dua sisi juga; dharȗriy dan nazhariy. Yang dharȗriy itu seperti yang kita lihat di atas dan hal itu sudah sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nazhariy itu seperti api yang tidak membakar, bahkan dingin. Tongkat berubah menjadi ular. Dan lain sebagainya.
Bagian nazhariy inilah yang menjadi pembahasan kita kemudian, karena ini menyangkut beberapa bagian yang sering disalahpahami.
Perlu diingat bahwa mukjizat, karamah, jin, malaikat, dan konsep gaib lain sebagainya, tidak mustahil. Tapi, mungkin. Buktinya, apakah keberadaan malaikat bertentangan dengan hukum akal? Apakah kita merasakan kontradiksi? Jawabannya, tidak. Karena kita bisa membayangkan itu. Bedanya dengan mustahil, kita tidak bisa membayangkan keberadaannya.
Bertentangan dengan kebiasaan, iya. Tapi, sesuatu yang bertentangan dengan hukum kebiasaan, bahkan hukum fisika itu mustahil secara akal. Karena keduanya dibangun atas pengamatan empiris di alam semesta. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada sesuatu yang tidak dicakup sehingga tidak terkena induksi dalam hukum kebiasaan dan hukum fisika.
Kita ambil permisalan lainnya. Apakah keberadaan tiga matahari di semesta kita itu mungkin? Jawabannya, iya. Apakah terjadi? Tidak. Yang kita saksikan hanya satu. Tapi, tetap saja, kita bisa membayangkan keberadaan ketiga matahari itu. Makanya, ketiga matahari itu tidak disebut mustahil, tapi disebut mungkin. Memang semua yang mustahil itu tidak ada yang terjadi. Tapi, bukan berarti semua yang tidak terjadi itu mustahil.
Kita kembali ke isu mukjizat. Apakah mukjizat itu mustahil? Sekali lagi, tidak. Mengapa? Karena dia dimungkinkan akal. Semisal ada api yang membakar. Kesimpulan api membakar itu muncul berdasarkan hasil pengamatan empiris di alam semesta bahwa ketika kita mengamati secara berulang, api itu membakar. Artinya, kita menggunakan hukum keselaran untuk menggeneralisasi bahwa api itu membakar. Tapi, api membakar itu adalah kemungkinan besar. Ada kemungkinan kecil yang sangat nadir, tapi tidak mustahil. Yaitu, api yang tidak membakar. Walaupun kita tidak menemukannya selama hidup, tapi tidak menemukan seusatu bukan berarti sesuatu itu tidak ada. Buktinya, itu terjadi pada masa Nabi Ibrahim As.
Lalu, kenapa segitiga yang bulat tadi mustahil, sedangkan mukjizat tidak? Karena segitiga yang bulat itu menabrak hukum kontradiksi. Semua yang menabrak hukum kontradiksi itu pasti mustahil. Sedangkan mukjizat, hukum kontradiksi apa yang ditabrak? Tidak ada sama sekali. Tidak pernahnya terjadi laut terbelah dua lalu kemudian kembali, bukan berarti itu mustahil. Itu hanya tidak pernah terjadi, bukan mustahil. Itulah kenapa nanti dibedakan antara mustahîl ‘aqliy dan mustahîl ‘adiy.
Mustahîl ‘Aqliy dan Mustahîl ‘Âdiy
Mustahîl ‘aqliy itu artinya sesuatu yang mustahil menurut hukum akal. Dia mustahil karena melawan hukum kontradiksi. Sedangkan mustahîl ‘âdiy, itu hanya mustahil menurut kebiasaan. Bukan menurut akal. Memang, kita menyebut segitiga yang bulat dan mukjizat sebagai mustahil secara umum. Bedanya, segitiga yang bulat itu tergolong mustahil secara akal (mustahîl ‘aqliy), sedangkan mukjizat itu mustahil secara kebiasaan (mustahîl ‘adiy). Sesuatu yang mustahil menurut kebiasaan, bukan berarti mustahil menurut akal. Tapi, dia tergolong mungkin.
Contoh lain, seluruh orang di dunia mustahil sepakat untuk membuat konspirasi. Betul, menurut kebiasaan itu mustahil. Karena siapa juga yang ingin mengajak dan membuat inisiatif mengajak semua manusia membuat konspirasi tertentu? Itu hanya akan membuang uang dan tenaga. Tapi, kalau kita bayangkan, hal itu mungkin saja terjadi, kendati menurut kebiasaan itu mustahil.
Di sinilah terjadi kerancuan istilah. Orang menyebut mukjizat itu mustahil, karena menurut kebiasaan itu mustahil. Kemudian, karena itu mustahil, disamakanlah dengan sesuatu yang mustahil menurut akal, seperti menyamakan antara mukjizat dengan segitiga yang bulat itu. Ini adalah analogi yang keliru, karena keduanya memiliki status karakteristik dasar yang berbeda; satunya mustahîl ‘aqliy dan satunya lagi mustahîl ‘âdiy. Sesuatu yang mustahîl ‘aqliy itulah menjadi tolak ukur tidak masuk akal. Sedangkan mustahîl ‘adiy, pada dasarnya masuk akal. Buktinya, akal kita bisa menerimanya pada beberapa contoh yang telah lalu.
Perlu dicatat dengan baik, seluruh persoalan gaib dalam akidah itu statusnya mungkin, tidak ada yang mustahil sama sekali! Adapun metode pembuktiannya, ada pada bab sam’iyyât. Tentu membuktikan perkara gaib dengan cara berusaha menunjukkannya secara fisikal adalah cara yang keliru.
Mungkin timbul pertanyaan, kalau sesuatu itu mungkin, belum tentu sesuatu itu terjadi. Lantas, apa yang membuat kita percaya bahwa sesuatu itu terjadi? Misalnya, masalah akhirat. Itu mungkin. Tapi, apa yang menjadi alasan bahwa akhirat itu benar-benar ada? Kebenaran informasi dari Nabi. Mungkin jika ada orang ateis atau orang yang tidak percaya kepada Nabi membaca tulisan ini, jawaban tersebut akan terlihat menggelitik. Karena toh, mereka sejak awal tidak percaya Nabi. Dan memang tulisan ini bukan diperuntukkan untuk mereka, tapi seluruh orang yang lahir dan sampai sekarang menganut agama muslim.
Adapun jika berdialog dengan ateis, kita sudah membahasnya secara khusus dalam salah satu tulisan, khususnya dalam membuktikan kebenaran persoalan akhirat. Intinya, dalam menghadapi ateis, bukan jawaban seperti itu yang kita berikan. Tapi, perlu sepakat terkait metodologi dan terminologi dasar untuk membahas masalah akhirat. Karena loncat membahas masalah akhirat secara langsung itu hanya membuang-buang waktu dan secara niscaya akan menarik kita kembali ke titik kesepakatan awal.
Tapi, kurang lebih, beginilah pembahasan hukum akal yang akan membantu kita dalam memahami deretan tulisan mendatang.
Perlu diingat, orang-orang yang menganggap mukjizat, karamah, istidraj, jin, setan, malaikat, akhirat, mizan, dan lain sebagainya mustahil, hanya karena belum memahami pembahasan ini dengan baik. Sama halnya orang yang masih terbesit dalam hatinya keraguan akan keberadaan Tuhan dan memungkinkan Tuhan tidak ada, hanya karena tidak memahami pembahasan dengan baik. Semoga iman kita semua terjaga dan wafat dalam keadaan mukmin.
Wallahu a’lam