Dalam ilmu kalam, salah satu pembahasan yang sangat panjang dan hangat sampai hari ini adalah pembahasan Sifat Kalam. Bahkan, ilmu kalam dinamai ilmu kalam karena ada sejarah seputar pembahasan Sifat Kalam.
Hal tersebut terjadi pada paruh awal abad ketiga Hijriyyah, ketika Muktazilah melakukan mihnah atau sebuah pengujian kepada para ulama dengan satu pertanyaan penting: “Apakah Al-Qur’an makhluk atau bukan?” Siapa saja yang tidak menyetujui gagasan kemakhlukan Al-Qur’an, maka dia akan mendapat hukuman dari pemerintah. Saat itu, yang mengamini peristiwa mihnah terjadi ada tiga khalifah Abbasiyyah; Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Nanti, peristiwa tersebut akan berakhir pada pemerintahan Al-Watsiq. Salah satu korbannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal Ra. Mengenai peristiwa mihnah secara mendalam, akan dibahas pada satu tulisan khusus. Semoga ada waktu untuk itu.
Setidaknya, kita sedikit mengetahui latar belakang penamaan ilmu kalam dan sejarah panjang perdebatan seputar Sifat Kalam. Sebelum kita larut lebih dalam, kita perlu merunutkan pembahasan supaya konteks pembahasan lebih lanjut bisa dipahami.
Pembahasan kita akan melewati beberapa poin; 1) Makna kalam; mencakup lafzhi dan nafsi, 2) Makna kalam dalam terminologi mutakallimîn, 3) Konsep kalam dalam perspektif Ahlussunnah dan selainnya, 4) Ta’alluq Sifat Kalam, dan 5) Signifikasi Kalam.
Makna Kalam
Sebagai disclaimer, perlu diketahui bahwa kita sedang membuka diskurus dalam pembahasan ilmu kalam, bukan pembahasan ilmu bahasa. Maka, kita hanya akan terikat pada terminologi yang dimuat dalam ilmu kalam saja.
Secara umum, kalam itu ada dua macam; nafsi dan lafzhi. Apa yang dimaksud dengan nafsi? Apa yang dimaksud dengan lafzhi? Untuk memahaminya, kita akan mendatangkan satu ilustrasi.
Bayangkan, Anda adalah sosok yang bertahun-tahun menyimpan perasaan cinta pada seorang wanita dalam diam. Tidak ada yang mengetahui perasaan itu kecuali Anda saja. Akhirnya, Anda memutuskan untuk memanggil wanita tersebut, janjian di sebuah tempat untuk mengungkapkan perasaan itu.
Nah, Anda kemudian duduk bersama wanita dambaan Anda itu dalam satu meja. Sebelum lisan Anda melontarkan ungkapan cinta, dalam jiwa Anda ada kalam “Aku ingin menikahimu!” dalam bentuk bukan ucapan. Setelah dirasa tepat untuk mengucapkannya dengan segala basa-basi sebagai pengantar, terlontarlah ungkapan yang terangkai dari huruf, bahasa, dan suara dari lisan Anda “Aku ingin menikahimu! Sudah lama rasa ini kusimpan.”
Dari ilustrasi di atas, kita bisa melihat wujud kalam itu. Ada yang masih sebatas dalam jiwa, ada juga sudah terangkai dalam bahasa, huruf, dan suara di sekitaran lisan. Ucapan yang masih dalam jiwa itu disebut dengan kalam nafsi, sedangkan ketika sudah memiliki rangkaian lain itu disebut dengan kalam lafzhi.
Ini bukan berarti kita mengundang sebuah konsekuensi keberjiwaan dan keberjasadan Tuhan ketika Ia berfirman. Contoh di atas hanya ingin menyampaikan poin bahwa ada yang namanya kalam nafsi dan lafzhi. Mungkin ini menjadi kelemahan dari analogi tersebut, tapi paling tidak, maksudnya sudah sampai kepada pembaca sekalian.
Perbedaan Kalam Nafsi dan Lafzhi
Setidaknya, ada empat poin yang bisa menjadi catatan.
- Bahasa
Kalam nafsi itu tidak memiliki bahasa, sedangkan kalam lafzhi berbahasa. Seperti contoh di atas, makna dari bahasa itu berada dalam diri manusia. Sedangkan untuk mengekspresikan makna, harus menggunakan bahasa.
Seandainya ada orang Jepang dan Rusia, lalu dalam diri mereka ada makna yang sama, sebenarnya mereka bisa memahami makna itu. Namun, ketidakpahaman itu muncul karena makna tersebut sudah dibalut dengan bahasa. Akan tetapi, makna yang menjadi pantulan bahasa itu, bisa dipahami.
- Taqaddum wa Ta’akhur
Yang dimaksud dengan taqaddum wa ta’akhur itu, ada yang didahulukan dan tidak. Semisal, ucapan “Kapan kita menikah?” Di sana ada keterdahuluan dan keterakhiran. Huruf K didahulukan sebelum munculnya huruf A, P, A, N, dan seterusnya. Setelah huruf K ini diakhirkan.
Yang memiliki taqaddum wa ta’akhur itu adalah kalam lafzhi, sedangkan kalam nafsi mencakup dua hal; memiliki taqaddum wa ta’akhur dan tidak. Taqaddum wa ta’akhur itu terjadi hanya pada makhluk, karena makna yang satu dengan makna yang lainnya mungkin saling mendahului. Artinya, jika ada dua makna, maka makna kedua tidak akan ada sebelum ada makna pertama. Sedangkan yang sekaligus ada tanpa ada yang saling mendahului hanya berlaku bagi Tuhan.
- Diliputi Hukum Bahasa
Hukum bahasa yang dimaksud seperti hukum vokal, hukum i’rab, dan semacam itu. Ini hanya berlaku bagi kalam lafzhi saja, tidak berlaku pada kalam nafsi. Karena kalam nafsi tidak diliputi bahasa, sedangkan kalam lafzhi diliputi bahasa.
- Sumber dan Media
Sebelum sebuah bahasa terlontar, maka wujud kalam yang belum berbentuk lafaz, itulah yang menjadi cikal-bakal lafaz. Wujud kalam yang bukan suara, bukan lafaz, tanpa huruf, dan semacamnya itulah kalam nafsi. Sedangkan, ketika makna itu dimediasi oleh bahasa, suara, isyarat, simbol, dan sebagainya, ini yang disebut kalam lafzhi.
Kalam dalam Terminologi Mutakallimîn
Imam Al-‘Allamah Ibrahim Al-Bajuri dalam Hasyiyah ‘ala Jauharah Al-Tauhîd menulis:
صفة أزلية قائمة بذاته تعالى، ليست بحرف ولا صوت، منزهة عن تقدم وتأخر، ولإعراب والبناء، منزهة عن السكوت النفسي، بأن لا يدبر في نفسه الكلام مع القدرة عليه، ومنزهة عن الآفات الباطنية، بأن لا يقدر على ذلك، كما في حال حال الخرس والطفولة.
“(Sifat Kalam adalah) Sifat azali yang ada pada Dzat Tuhan Ta’ala, bukan berupa huruf, bukan pula suara, suci dari keterdahuluan dan keterakhiran, hukum i’râb dan binâ’. Suci pula dari diam secara batiniah, dalam artian tidak ada kalam pada Dzat-Nya, padahal Ia mampu berkalam. Suci pula dari ketidakmampuan berkalam, seperti bisu atau (sosok) yang ada dalam keadaan permulaan bayi.” (Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyah ‘ala Jauharah Al-Tauhîd, 2016, Tahkik: Abdussalam bin Abdul Hadi Syannar, Damaskus: Dar Al-Daqqaq, hlm. 213).
Dari definisi di atas kita bisa mencatat beberapa hal:
Pertama, sifat kalam adalah salah satu sifat Tuhan yang qadîm. Sifat ini diafirmasi oleh naqli. Sebagaimana Sifat Sama’ (Maha Mendengar) dan Sifat Bashar (Maha Melihat). Maka dari itu, Tuhan itu berkalam dengan sifatnya yang qadîm.
Kedua, karena sifat ini qadîm, maka tidak boleh disusupi oleh unsur kemakhlukan yang berupa huruf dan suara. Mengapa? Karena huruf itu memiliki taqaddum wa ta’akhur. Begitu juga suara. Mengapa tidak boleh dilekatkan kepada sesuatu yang qadîm? Karena ketika itu terjadi, maka ada bagian dari firman Tuhan itu yang berpotensi dimasuki keadaan tiada; yakni bagian huruf dan suara yang diakhirkan; ia ada setelah adanya sesuatu yang diawalkan. Sedangkan sesuatu yang qadîm, tidak mungkin tidak ada.
Ketiga, kalam Tuhan tidak mungkin dimasuki hukum bahasa seperti i’râb dan binâ’. Mengapa? Karena hukum bahasa hanya berlaku pada bahasa, bukan pada sesuatu yang tidak berbahasa. Sedangkan kalam nafsi itu tidak berbahasa.
Keempat, diam itu ada dua macam; diam lafzhi dan nafsi. Yang dimaksud dengan diam lafzhi adalah tidak mengeluarkan lafaz. Sedangkan diam nafsi, bukan hanya lafaz yang tidak ada, tapi eksistensi kalam itu sendiri. Tuhan suci dari diam nafsi. Mengapa? Kalau Tuhan diam, maka akan membuka peluang ketiadaan satu bagian dari kalam Tuhan. Maka mustahil Tuhan bisu ataupun tidak berkalam. Tuhan tidak pernah berhenti berkalam.
Kelima, Tuhan tidak mungkin tidak mampu berkalam, seperti orang bisu atau anak kecil yang belum memiliki kemampuan berbicara. Makna poin ini jelas.
Keenam, jika sejak awal kita sepakat bahwa Tuhan berbeda dari makhluk (mukhâlafah li al-hawâdits), maka kalam apapun tidak bisa disama-samakan dengan kalam Tuhan. Termasuk dalam hal kalam nafsi.
Dalam salah satu analogi di atas, disebutkan bahwa kalam nafsi itu diibaratkan dengan kalam dalam hati. Akan tetapi, kalau kita lebih jeli, yang menjadi sampel analogi adalah makhluk. Kalam nafsi pada Tuhan dan makhluk, jelas berbeda. Karena kalam nafsi pada makhluk, memungkinkan taqaddum wa ta’akhur, sedangkan Tuhan tidak demikian.
Al-Qur’an dan Kalamullah
Dalam salah satu tulisan, telah disinggung bahwa Al-Qur’an memang firman, tapi bukan hanya itu saja firman-Nya. Zabur, Taurat, dan Injil juga merupakan Kalamullah. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kalam itu ada nafsi dan lafzhi.
Suara yang mengandung makna Al-Qur’an ketika kita mengaji, itu adalah kalam lafzhi. Sebagaimana susunan huruf yang terdapat dalam mushaf dan bahasa yang meliputinya. Semuanya menunjukkan kepada kalam nafsi. Dengan kata lain, kalam lafzhi adalah dâl (penunjuk) kepada kalam nafsi. Lafaz, suara, bahasa, kertas, tinta, dan yang serupa dengan itu semuanya makhluk. Tapi, Al-Qur’an sendiri bukan makhluk.
Bahasa Arab pada Al-Qur’an, Suryani pada Zabur, Yunani pada Injil, dan Ibrani pada Taurat, semuanya makhluk. Akan tetapi, kalamullah itu bukan makhluk.
Mengapa kalam nafsi tidak dalam bentuk ekspresi? Karena akan melahirkan dua konsekuensi; Pertama, kalam lafzhi itu dimasuki dimensi waktu. Karena dalam bahasa Arab ada beberapa kata kerja yang dimasuki waktu lampau, sedang terjadi, dan akan datang. Kedua, kalam lafzhi itu dimasuki dimensi ruang. Seperti isyarat dan simbol tertentu. Hal tersebut hanya ditemukan pada domain ruang.
Makna Al-Qur’an Makhluk dan Bukan Makhluk
Dalam banyak literatur, sering disinggung bahwa ada klaim dari Muktazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Tapi, apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an makhluk?
Terma “makhluk” dalam ilmu syariah bermakna “diciptakan” atau segala selain Tuhan. Ketika Al-Qur’an dikatakan makhluk, maksudnya Al-Qur’an itu tidak lebih dari sekadar ciptaan Tuhan. Sebelum ayat turun, saat itu Al-Qur’an belum ada. Nanti ada setelah turun. Atau, Al-Qur’an itu memiliki sifat hudȗts, sebagaimana makhluk lainnya; pernah tidak ada kemudian ada.
“Al-Qur’an makhluk” bukan bermakna Al-Qur’an itu seperti hewan jelata atau makhluk hidup yang hari-harinya menghabiskan waktu mencari mangsa atau menganggap Al-Qur’an itu adalah benda hidup yang berjalan-jalan sebagaimana yang diduga sebagian orang.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Al-Qur’an bukan makhluk” sebagaimana yang terdapat pada konsep Kalam yang ada dalam mazhab Ahlussunnah yang dipaparkan oleh Imam Al-Bajuri di atas; Al-Qur’an bukan huruf, bukan suara, bukan sesuatu yang mengalami awalan dan akhiran, bukan pula sesuatu yang dimasuki hukum dan ketentuan bahasa, dan sebagainya.
Apakah yang Dalam Mushaf Bukan Al-Qur’an?
Ada riwayat dari Sayyidah Aisyah Ra. yang dikutip oleh Imam Al-Bajuri:
ما بين دفتي المصحف كلام الله تعالى
“Yang ada di antara lembaran mushaf adalah Kalamullah” (Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyah ‘ala Jauharah Al-Tauhîd, 2016, Tahkik: Abdussalam bin Abdul Hadi Syannar, Damaskus: Dar Al-Daqqaq, hlm. 215).
Kalau dalam konteks ini, yang dimaksud jelas Al-Qur’an. Akan tetapi, kalau kita mengatakan Kalamullah, maka makna yang disasar ada dua pula; kalam nafsi dan lafzhi.
Sebelum menjawab, perlu dilihat bahwa ulama berbeda, apakah keberlakuan nafsi dan lafzhi ini adalah keberlakuan hakikat dan majaz atau secara paralel (musytarak). Maksudnya begini, Kalamullah ini sudah disepakati bahwa diberlakukan kepadanya makna nafsi dan lafzhi. Akan tetapi, status nafsi dan lafzhi bagi kalam ini apa? Apakah hakikat-majaz atau paralel?
Ada yang mengatakan bahwa Kalamullah yang hakiki adalah kalam nafsi, sedangkan kalam lafzhi hanyalah majazi. Bagi ulama yang berpendapat demikian memiliki dasar. Sebagaimana uraian di atas bahwa lafaz adalah penunjuk kepada sesuatu yang hakiki. Seperti ketika saya berkata: “Aku mencintaimu!” Apakah lafaz “cinta” ini adalah wujud hakiki dari cinta? Jelas jawabannya, bukan. Lafaz cinta satu hal, sementara cinta itu sendiri adalah hal yang lain. Jadi, lafaz cinta adalah majaz dari wujud cinta, sebagaimana kalam lafzhi adalah majaz bagi kalam nafsi.
Sedangkan ulama yang menganggap keberlakuan keduanya adalah keberlakuan paralel, mereka juga memiliki dasar. Misalnya kata “Bulan”. Ketika saya mengatakan “Sekarang bulan Desember”, “Bulan itu mengitari Bumi”, “Dia datang bulan”, dan sebagainya, maka semuanya adalah makna hakiki dari kata “bulan” itu, baik bulan itu bermakna jajaran dari bulan pada kalender, satelit Bumi, ataupun masa haid. Begitu juga kalam nafsi dan lafzhi, keduanya sama-sama hakiki bagi Kalamullah. Dan ini adalah pendapat yang râjih.
Jika ditanya apakah kalam lafzhi itu Kalamullah, jelas jawabannya iya. Ini sebagaimana paparan Imam Al-Bajuri:
من أنكر أن ما بين دفتي المصحف كلام الله فقد كفر، إلا أن يريد أنه ليس هو الصفةَ القائمة بذاته تعالى
“Barangsiapa yang mengingkari bahwa yang di antara mushaf adalah Kalamullah, maka dia kafir. Kecuali jika yang dimaksud adalah yang bukan sifat yang ada pada Dzat-Nya.” (Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyah ‘ala Jauharah Al-Tauhîd, 2016, Tahkik: Abdussalam bin Abdul Hadi Syannar, Damaskus: Dar Al-Daqqaq, hlm. 215).
Jadi, jika kita mengingkari bahwa lafaz, suara, huruf, simbol, bahasa, dan sebagainya adalah Kalamullah, kita tidak kafir. Karena yang diingkari, memang makhluk, bukan Kalamullah. Beda halnya jika yang dimaksud adalah madlȗl (objek signifikasi) dari kalam lafzhi, jelas kafir.
Tapi, bagaimana mengkompromikan antara kalam lafzhi sebagai makhluk, tapi di saat yang sama kita juga mengatakan dia adalah Kalamullah? Di sinilah pentingnya peran pembahasan signifikasi (dalâlah) dan menentukan titik tengkar (tahrîr mahall al-nizâ’). Karena ada redaksi tertentu yang disebutkan dâl-nya, tapi yang maksud adalah madlȗl-nya. Kita akan menarik satu kasus dalam dunia ushul fikih.
Ada persoalan apakah nama itu satu kesatuan dengan sesuatu yang dinamai (Al-ism ‘ain al-musamma) atau bukan? Mayoritas Asy’ariyyah mengatakan bahwa nama itu satu kesatuan dengan sesuatu yang dinamai. Dasarnya, ada pada surah Al-A’la ayat pertama:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
“Sucikanlah Tuhanmu yang Maha Tinggi” (Al-A’la: 1)
Di sini, kita melihat bahwa ternyata nama (al-ism) sama dengan sesuatu yang dinamai. Sedangkan pada kelompok yang menolaknya juga memiliki dasar:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ
“(Dialah) Allah, tiada Tuhan selain-Nya. Ia mempunyai nama-nama yang baik” (Taha: 8)
Dalam ayat ini jelas bahwa Tuhan memiliki nama. Berarti, jelas nama itu satu hal, sedangkan Tuhan selaku yang mempunyai nama itu adalah hal yang berbeda.
Akan tetapi, Imam Al-Bajuri menengahi perbedaan ini dengan menentukan titik tengkar. Jika disebutkan nama, tapi yang dimaksud adalah nama itu sendiri, maka jelas ini tidak sama dengan yang dinamai. Misalnya, saya menyebut Fauzan tanpa memperhatikan sosok yang memakai nama itu, jelas ketika saya membahas nama Fauzan itu, sama sekali tidak melirik ke sosok yang menyandang nama Fauzan.
Tapi, jika disebutkan nama, tapi yang dimaksud adalah yang dinamai, maka jelas bahwa nama adalah yang dinamai juga. Misalnya, saya memanggil kekasih saya dengan sebutan “sayang”, maka ketika saya menyebut-nyebut kata “sayang” itu, yang dimaksud adalah kekasih saya selaku individu yang menyandang panggilan khusus “sayang”. Jadi, tergantung seperti apa signifikasi yang diinginkan (al-dalâlah al-maqshȗdah) si pembicara.
Kembali ke persoalan Kalamullah. Ketika disebutkan Kalamullah, maka yang dimaksud itu dua; nafsi dan lafzhi, sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa Kalamullah berlaku pada keduanya. Jika dikatakan Kalamullah bukan makhluk, maka yang dimaksud adalah kalam nafsi. Sedangkan jika dikatakan kalam lafzhi itu makhluk, maka yang dimaksud adalah suara, huruf, dan hal-hal lain yang meliputi makhluk. Pun, yang disasar di sini‒sekali lagi‒adalah dâl, bukan madlȗl-nya. Namun, jika yang disasar adalah madlȗl atau kalam nafsi, lalu mengatakannya makhluk, jelas di sini sangat bermasalah.
Hal yang perlu dicatat, walaupun ulama tahu bahwa suara, bacaan, dan semacamnya itu merupakan makhluk, hal tersebut sebaiknya tidak dibiasakan kecuali dalam konteks kajian ilmiah.
Muktazilah, Hasyawiyyah, dan Karramiyyah; Konsep Kalamullah
Tentang Kalamullah sebagai suara dan deretan huruf, di sinilah titik temu antara Muktazilah, Hasyawiyyah, dan Karramiyyah.
Akan tetapi, Muktazilah menganggap bahwa suara dan huruf tersebut sebagai makhluk dan bukan pada Dzat Tuhan, sebagaimana yang diyakini Ahlussunnah. Dengan kata lain, Muktazilah tidak percaya dengan konsep kalam nafsi. Bagi mereka, yang ada itu hanya kalam lafzhi. Jadi, ketika mereka mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Berfirman, maksudnya Tuhan “menciptakan” huruf dan deretan kalimat tertentu.
Muktazilah juga berargumen dengan syair Al-Akhthal:
إن الكلام لفي الفؤاد وإنما * جعل اللسان على فؤاد دليلا
“Kalam itu ada dalam hati, tapi lisan ada sebagai petunjuk kalam di hati.”
Adapun Hasyawiyyah, mereka menganggap Kalamullah itu juga huruf dan suara. Akan tetapi, menurut mereka suara dan huruf itu bukan makhluk, alias qadîm. Sampai, mereka juga mengatakan bahwa suara yang didengar dan sampul mushaf itu juga qadîm. Juga, suara dan huruf tersebut ada pada Dzat Tuhan.
Sedangkan Karramiyyah menganggap bahwa kalam itu merupakan kemampuan Tuhan dalam berkalam. Dengan kata lain, kalam itu bagian dari Sifat Qudrah. Anehnya, mereka enggan menamakan ini sebagai kalam, tapi qaul dan ada pada Dzat Tuhan.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan:
Pertama, ketika Muktazilah mengatakan bahwa Kalamullah itu makhluk dan ternyata yang dimaksud adalah kalam lafzhi, mereka ada benarnya juga. Karena lafaz, huruf, suara, dan sebagainya adalah makhluk. Tapi, kita menolak ketika Muktazilah tidak mengamini kalam nafsi.
Kedua, adapun mereka yang mengatakan huruf dan suara itu qadîm, perlu diingat bahwa qadîm itu ada tanpa pernah mengalami ketiadaan. Sedangkan huruf dan suara memiliki permulaan. Bagaimana mungkin kita memberlakukan konsep qadîm kepada sesuatu yang pernah tiada?
Ketiga, pun bagi mereka yang mengatakan mushaf beserta sampulnya itu qadîm, bagaimana kita menerima ke-qadîm-annya ketika mushaf itu berada di pabrik? Bukankah ini menunjukkan keberawalannya?
Keempat, mereka yang mengatakan bahwa Kalamullah yang berupa makhluk itu berada pada Dzat Tuhan. Bagaimana ada unsur kemakhlukan yang melekat pada Dzat yang suci dari unsur-unsur kemakhlukan?
Kelima, dasar argumentasi Muktazilah tentang ketiadaan kalam nafsi, salah satunya syair Al-Akhthal. Kalau melihat latar belakangnya, dia adalah seorang Nasrani. Bagaimana mungkin, diktum seorang Nasrani menjadi dasar dalam akidah Islam?
Ta’alluq Sifat Kalam
Sebagaimana dalam beberapa ulasan yang lalu seputar ta’alluq secara khusus, Sifat Kalam itu satu. Akan tetapi, sifat ini memiliki klasifikasi abstrak (aqsâm i’tibâriy). Yang dimaksud dengan klasifikasi abstrak adalah terbagi di akal, tapi tetap satu di alam nyata. Tentang klasifikasi secara detail, hanya dibahas di ilmu mantik.
Dari segi jenis abstrak sifat kalam, ada beberapa:
Pertama, dari segi tuntutan melakukan sesuatu; perintah.
Kedua, dari segi tuntutan meninggalkan perbuatan; larangan.
Ketiga, dari segi memberitahukan bahwa ada terjadi sesatu; khabar.
Keempat, dari segi memberitahukan bahwa nanti orang taat masuk surga; wa’ad.
Kelima, dari segi memberitahukan bahwa orang durhaka masuk neraka; wa’id.
Dan lain-lain.
Ada dua bagian penting dari Sifat Kalam; Pertama, selain perintah dan larangan. Kedua, perintah dan larangan. Bagian kedua melahirkan pertanyaan penting: Apakah objek perintah dan larangan itu harus ada dengan adanya objek atau tidak? Di sini ada perbedaan pendapat ulama. Tapi, apapun jawabannya, setiap jawaban memiliki konsekuensinya masing-masing.
Dari sini, lahirlah pemetaan ta’alluq Sifat Kalam:
Pertama, jika melihat ta’alluq kepada selain perintah dan larangan, maka akan tergolong al-ta’alluq al-tanjîz al-qadîm.
Kedua, jika ternyata objek larangan dan perintah itu tidak harus ada, maka akan tergolong dalam al-ta’alluq al-tanjîz al-qadîm juga.
Ketiga, jika objek larangan dan perintah itu harus ada dengan keberadaan perintah dan larangan, maka ada dua kemungkinan; sebelum adanya objek itu dan setelahnya. Jika objek itu belum ada, maka tergolong al-ta’alluq al-shulȗhi al-qadîm. Jika objeknya sudah ada, maka tergolong al-ta’alluq al-shulȗhi al-hâdits.
Signifikasi Kalamullah
Kita sudah sepakat bahwa Kalamullah itu qadîm. Namun, seandainya Tuhan berfirman bahwa Fir’aun itu tenggelam dalam laut, apakah ini juga berimplikasi bahwa kejadian yang dialami Fir’aun itu juga qadîm, sebagaimana yang diduga oleh sebagian ulama? Perlu dipertegas bahwa ketika dâl itu qadîm, bukan berarti madlȗl-nya qadîm juga.
Imam Al-Bajuri membantah pandangan Imam Sanusi yang menyatakan madlȗl dari kalam qadîm itu juga qadîm. Menurut Imam Al-Bajuri, madlȗl itu ada dua macam; qadîm dan hâdits. Dalam Firman-Nya ada dua ayat yang membuktikan teori itu:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ…
“(Dialah) Allah, tidak ada Tuhan selain-Nya, Dialah Maha Hidup dan Maha Mengurus…” (Al-Baqarah: 255).
Jelas, bahwa Tuhan Maha Hidup dan Maha Mengurus itu qadîm. Karena hal tersebut melekat pada Dzat tanpa diawali ketiadaan. Sedangkan pada ayat lain:
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَىٰ…
“Sesungguhnya Qarun itu bagian dari kaum Musa…” (Al-Qashash: 76).
Sosok Qarun dan Nabi Musa As. sebagai makhluk Tuhan, jelas berstatus hâdits. Tapi, Kalamullah yang menunjuk kepada objek, itu berstatus qadîm.
Timbul pertanyaan, mengapa Kalamullah tidak seluruh madlȗl-nya itu qadîm? Bukankah lebih baik jika seluruh madlȗl-nya qadîm? Justru dengan sebagian madlȗl itu qadîm, menunjukkan kesempurnaannya. Mengapa? Karena madlȗl Kalamullah itu mencakup tiga hal; al-wâjib, al-mumkin, dan al-mustahîl. Al-wâjib itu pasti qadîm, sedangkan selainnya itu pasti hâdits.
Seandainya madlȗl-nya harus qadîm, maka akan ada dua konsekuensi; Pertama, Kalamullah hanya terbatas pada al-wâjib saja. Maka, konsekuensinya, Tuhan hanya berfirman tentang Tuhan. Tidak berfirman mengenai makhluk atau hal-hal mustahil. Ini mustahil. Kedua, seandainya madlȗl Kalamullah mencakup ketiganya dan harus qadîm, maka akan ada qidam yang melakat pada al-mumkin dan al-mustahîl. Ini juga mustahil, karena akan terjadi qalb al-haqâ’iq.
Jenis Signifikasi Kalamullah
Ada dua jenis signifikasi yang berlaku bagi Kalamullah:
Pertama, al-dalâlah al-‘aqliyyah al-iltizamiyyah. Yang dimaksud dengan signifikasi ini adalah ketika ada satu hal menunjukkan keberadaan hal lain. Dalam hal ini adalah kalam lafzhi. Ia menunjukkan keberadaan kalam nafsi. Jadi, ketika kalam lafzhi disandarkan kepada Tuhan dan dikatakan bahwa lafaz tersebut diciptakan oleh Tuhan di lauh mahfuz, maka kalau menggunakan signifikasi ini, tetap saja menunjukkan keberadaan kalam nafsi sebagai madlȗl dari lafaz yang diciptakan itu.
Kedua, al-dalâlah al-wadh’iyyah. Yang dimaksud dengan ini adalah signifikasi lafaz terhadap makna tertentu. Ini seperti yang disebutkan di atas bahwa kendati Kalamullah itu qadîm, tapi tidak semua madlȗl-nya qadîm.
Poin pertama diwakili oleh Imam Al-Sanusi, sedangkan yang kedua diwakili oleh Imam Al-Qarafi. Dua pandangan ini tidak kontradiktif, karena hanya berbeda sudut pandang. Poin pertama menyorot eksistensi kalam nafsi dan lafzhi. Sedangkan poin kedua menyorot signifikasi kalam dan makna.
Wallahu a’lam