Ada sebagian orang di belahan Bumi ini, menolak ijma’ ulama untuk dijadikan sebagai sebuah landasan hukum yang kebenarannya tidak bisa dielakkan. Ada juga sikap lebih universal; menolak kebenaran ijma’. Konsekuensi dari penolakan ini, tentu bisa berdosa besar, bahkan sampai pada tahap kekufuran menurut sebagian ulama. Dampak lainnya, hal-hal yang sudah disepakati ulama kebenarannya, akan ditolak oleh mereka yang menolak ijma’ ini. Seperti persoalan haramnya zina, haramnya khamar, dan lain sebagainya.
Dasar penolakan itu adalah ijma’ ulama ini hanya berdasar pada “kesepakatan” saja. Sedangkan, kebenaran itu tidak ditentukan pada banyak atau tidaknya orang yang bersepakat. Dengan kata lain, ia ingin mengatakan bahwa menerima ijma’ sebagai sebuah kebenaran hanyalah sebuah fallacy semata. Spesifiknya, ini adalah ad populum fallacy saja, tidak bisa dipegang kebenarannya.
Dalam kajian ushul fikih, persoalan ijma’ ini masuk dalam hal-hal yang disepakati oleh para ushuliyyun, sehingga mengingkari keabsahannya bisa berkonsekuensi serius. Meskipun ada detail-detail kecil, seperti apakah ijma’ ini tergolong qath’i atau zhanni, kita tidak akan menyentuh ruang itu.
Kali ini, kita akan membahas, apa itu ijma’ ulama? Apa itu ad populum fallacy? Apakah ijma’ layak dikatakan sebagai fallacy sebagaimana yang dituduhkan? Mari kita ulas.
Ijma’
Imam Tajuddin Al-Subki dalam Jam’u Al-Jawâmi’ menyebut:
وهو اتفاق مجتهد الأمة بعد وفاه محمد ﷺ في عصر على أي أمر كان.
“(Ijma’) adalah kesepakatan para mujtahid umat (Islam) setelah wafatnya Rasulullah Saw. pada suatu masa tentang perkara apapun.” (Al-Mahalli, Al-Badr Al-Thâli’ fi Hall Jam’i Al-Jawâmi’, 2020, Damaskus: Mu’assasah Al-Risalah Al-Nasyirun, Vol: II, hlm. 131).
Dari definisi ini, ada beberapa poin yang bisa ditarik:
Pertama, berupa kesepakatan. Kesepakatan ini harus datangnya dari mujtahid, bukan dari orang awam, apalagi orang bodoh. Kalau hanya satu mujtahid saja yang berpendapat, tidak bisa disebut dengan ijma’.
Kedua, yang bersepakat adalah mujtahid. Siapa itu mujtahid? Mereka yang memiliki malakah penggalian hukum (istinbâth) dari referensi induknya. Untuk sampai di tahap itu, tentu tidak melalui proses mudah. Mereka harus memahami Al-Qur’an, hadis, bahasa Arab yang mendalam, mengetahui ijma’, pakar dalam ushul fikih, dan lain-lain.
Ketiga, yang bersepakat adalah umat Rasulullah Saw., bukan orang kafir, bukan juga kaum sebelum fase Rasulullah Saw.
Keempat, terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw. Karena ketika Rasulullah Saw. masih hidup, umat merujuk langsung kepada sumber yang lebih kuat; Rasulullah sendiri.
Kelima, ijma’ itu ada pada satu masa. Bukan seluruh mujtahid sejak masa sahabat sampai hari kiamat. Sebab, jika yang dimaksud demikian, maka ijma’ itu tidak akan pernah terwujud sama sekali.
Keenam, yang disepakati adalah hukum syara’. Kalau di luar itu, maka tidak bisa disebut sebagai ijma’ syar’i.
Keenam poin tersebut masih memiliki detail lebih dalam. Akan tetapi, kita tidak akan menyentuhnya, karena ini hanya gambaran singkat lagi sederhana tentang ijma’.
Jadi, kita bisa melihat bahwa kesepakatan ini bukanlah kesepakatan yang diisi oleh orang yang tidak berkompeten, tapi diisi oleh para pakar, bahkan pakar terbaik. Di sini, kita bisa sedikit bertanya dengan jeli, kenapa tidak diisi oleh orang awam? Tentu karena orang awam tidak memiliki kredibilitas dan kompetensi minimal yang memadai untuk dijadikan sandaran ilmiah untuk sebuah hukum. Sekali lagi, sandaran ilmiah untuk sebuah hukum.
Secara naqli, ijma’ ini sudah mendapatkan afirmasi dari Allah Swt. Dalilnya ada pada surah Al-Nisa:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ…
“Duhai orang-orang beriman! Taatlah kepada Allah dan Rasul, dan kepada ulil amri..” (Al-Nisa: 59).
Syekh Wahbah Al-Zuhaili, Pakar Ushul Fikih dari Suriah, dalam bukunya Ushȗl Al-Fiqh Al-Islâmiy menyebut:
وأولو الأمر في السياسة السلطنة هم الحكام، وفي الاجتهاد هم المجتهدون…
“Ulil al-amr dalam urusan politik dan kekuasaan adalah hakim. Sedangkan dalam urusna ijtihad adalah para mujtahid…” (Wahbah Al-Zuhaili, Ushȗl Al-Fiqh Al-Islâmiy, 1986, Damaskus: Dar Al-Fikr, Vol: I, hlm 542).
Dari hadis, Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa fi ‘Ilm Al-Ushȗl menyebut:
التمسك بقوله ﷺ: “لا تجتمع أمتي على الخطأ” وهذا من حيث اللفظ: أقوى وأدل على المقصود…
“Berpegang pada sabda Rasulullah Saw.: ‘Umat-Ku tidak akan bersepakat dalam kesalahan.’ Dari segi redaksi, sangat kuat dan (jelas) signifikasinya atas hal yang dimaksud (kehujjahan ijma’).” (Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilm Al-Ushȗl, tanpa tahun, Tahkik: Naji Suwaid, tanpa penerbit, Vol: I, hlm. 247).
Ada banyak hadis-hadis lain yang dideret oleh beliau untuk menunjukkan bahwa umat Rasulullah Saw., tidak mungkin bersepakat dalam kesalahan dan kesesatan. Kalau demikian, berarti ketika umat Islam bersepakat, maka yang lahir adalah lawan dari kesalahan; yakni kebenaran. Ijma’ merupakan kesepakatan. Maka dari itu, tidak mungkin ijma’ salah. Dan sebagaimana yang kita tahu, yang bersepakat di sini adalah kumpulan pakar terbaik.
Ad Populum Fallacy
Bo Bannet dalam bukunya yang bertajuk The Ultimate Collection of Over 300 Logical Fallacies menulis tentang deskripsi argumen ini:
“Description: When the claim that most or many people in general or of a particular group accept a belief as true is presented as evidence for the claim. Accepting another person’s belief, or many people’s beliefs, without demanding evidence as to why that person accepts the belief, is lazy thinking and a dangerous way to accept information.”
“Deskripsi (tentang argumen ad populum atau common belief): ketika ada sebuah klaim yang diamini oleh banyak orang atau pada kelompok tertentu sebagai kebenaran, maka (pembenaran) ini sebagai bukti (akan kebenaran) klaim tersebut. Menerima keyakinan segelintir atau banyak orang, tanpa menuntut bukti (verifikasi) mengapa orang tersebut menerima (klaim) tersebut sebagai bukti, hanyalah kemalasan berpikir dan cara berbahaya dalam menerima sebuah informasi” (Bo Bannet, The Ultimate Collection of Over 300 Logical Fallacies, Massachusetts: eBooklt.com, hlm. 51).
Di sini kita bisa menarik poin bahwa ada sebuah klaim, lalu klaim itu diyakini sebagai kebenaran oleh segelintir atau banyak orang. Tapi, keyakinan tersebut hanyalah sebatas keyakinan; tanpa bukti atau dasar argumentatif maupun empiris. Maka itulah yang dimaksud dengan argumen ad populum.
Sebagai contoh, ada penyakit bernama Micro X yang mewabah di suatu negara. Penyakit ini bisa menyerap vitamin C dalam tubuh manusia. Masyarakat meyakini bahwa penyakit ini bisa disembuhkan hanya dengan makan pisang semata. Kemudian, ada orang yang terjangkit penyakit Micro X mendengar bahwa masyarakat meyakini hal tersebut lalu membeli pisang. Lalu ia ditanya “Kenapa kau membeli pisang? Padahal engkau terpapar penyakit Micro X?” Maka pengindap tadi menjawab bahwa menurut kesepakatan masyarakat berdasarkan keyakinan mereka, pisang bisa menyembuhkan penyakit Micro X itu.
Kalau kita menganalisa, apakah pisang itu telah terbukti secara ilmiah dapat menyembuhkan penyakit Micro X hanya karena berdasar keyakinan masyarakat? Jawabannya, belum tentu. Bisa saja keyakinan tersebut berasal dari gosip yang tak berdasar. Mungkin juga berasal dari bukti ilmiah. Akan tetapi, untuk mengafirmasi keberadaan bukti ilmiah, dibutuhkan verifikasi.
Ketika pengindap tadi menjadikan keyakinan masyarakat sebagai sandaran atau dalil bahwa pisang itu sebagai penyembuh penyakit Micro X, inilah yang disebut dengan argumentum ad populum.
Antara Ijma’ dan Ad Populum
Telah diketahui bahwa ijma’ itu merupakan kesepakatan para ulama kelas mujtahid tentang suatu hukum pada masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah Saw., dan ad populum itu merupakan tindakan menjadikan keyakinan seseorang, kelompok, atau mayoritas masyarakat sebagai bukti akan kebenaran suatu klaim.
Ketika kita telah mengamini hal tersebut, maka timbul pertanyaan. Kalau ijma’ itu merupakan keyakinan mujtahid tentang suatu kebenaran hukum, lalu kita mengikuti apa yang diyakini oleh para mujtahid, apakah itu berarti ijma’ termasuk dari ad populum yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan? Tentu tidak.
Di sini ada beberapa hal yang perlu kita catat:
Pertama, ad populum itu hanya sekadar mengikuti keyakinan mayoritas atau banyak orang, terlepas apakah orang yang diikuti itu pakar atau bukan. Sedangkan ijma’, pasti yang terlibat didalamnya adalah pakar. Kesepakatan yang khusus dilakukan pakar dan tidak, akan bermuara pada kesimpulan yang berbeda.
Kedua, ad populum itu tidak ada sangkut pautnya dengan verifikasi atau metode ilmiah tertentu. Hanya sekadar percaya tok. Sedangkan ijma’, tidak hanya sekadar mempercayai, tapi kita memverifikasi bahwa yang terlibat adalah pakar. Dan tidak mungkin pakar ini menghasilkan sebuah hukum tanpa adanya kajian ilmiah mendalam, apalagi yang terlibat ini adalah sekelas mujtahid.
Ketiga, hasil kesepakatan yang dihasilkan oleh pakar, tidak bisa disamakan dengan hasil kesepakatan antar pakar dan awam, apalagi kesepakatan orang awam. Karena ini akan membuat orang terjatuh dalam satu sesat pikir; komparasi dengan hal yang berbeda (al-qiyâs ma’a al-fâriq).
Keempat, ijma’ tidak berbicara tentang otoritas diktator sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang sembari mengkomparasikan ijma’ dengan dominasi politis. Akan tetapi, tentang kekuatan kebenaran ilmiah. Karena ucapan mujtahid, sah dijadikan sebagai referensi ilmiah. Berbeda dengan orang yang tidak punya otoritas, apalagi awam.
Seandainya berbicara tentang dominasi suara, kenapa orang awam, akademisi yang tidak sampai level mujtahid, dan muslim lainnya, banyak tidak dilibatkan dalam proses penggalian hukum? Jika dikatakan, orang selain mujtahid adalah objek politis para mujtahid, lalu bagaimana dengan otoritas keilmuan lainnya, seperti aktivitas antariksa yang tidak melibatkan orang awam? Apakah kita juga akan mengatakan bahwa para astronom itu hanya “bermain-main” dengan otoritas belaka? Ini tentang kelayakan. Yang bukan mujtahid, hanya perlu sadar diri.
Pun, bagaimana kalau ada satu mujtahid yang tidak sepakat dengan ijma’? Tentu, ia tidak menentang ijma’. Karena ijma’ tidak terjadi jika ada mujtahid yang tidak termasuk di dalam kesepakatan yang menjadi syarat ijma’ itu. Kalaupun ada seseorang yang sangat diperhitungkan keilmuannya tapi menentang ijma’ yang telah paten, maka dia akan dibantah oleh pakar lain. Karena dia melanggar hal yang menjadi pilar penting dalam asas hukum. Kesepakatan 100 orang pakar, tidak akan rontok, bahkan bergerak sedikit pun dengan gertakan dua orang pakar. Karena menurut hukum kebiasaan, tidak mungkin pakar sepakat dalam kesesatan.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa mengikuti ijma’ sama sekali tidak bisa dianalogikan dan dikomparasikan dengan argumen ad populum. Karena memiliki substansi yang berbeda.
Wallahu a’lam