Sebelumnya, sudah dibahas tentang kulliy dari segi ada atau tidaknya di alam nyata. Tapi, kita juga harus mengetahui, bahwa kulliy itu memiliki keberlakuan terhadap individunya. Maksudnya, masing-masing dari individu yang ada di bawahnya kulliy harus menyandang sifat dasar yang ada dalam kulliy itu.
Misalnya saja kata “binatang”. Binatang itu ada banyak individunya (cakupannya), seperti kera, kura-kura, ikan hiu, biawak, gajah, lobster, dan lain-lain. Artinya, semua yang tercakup dalam lafaz kulliy ini menyandang atau mengandung sifat dasar yang ada di kulliy. Kera adalah binatang, ikan hiu adalah binatang, dan lain-lain.
Tapi bagaimana dengan sebuah desa yang bernama Konoha? Kita tahu kalau kata Konoha itu kulliy yang berlaku bagi setiap afrâdnya dan orang-orangnya. Misalnya, Hashirama, Jiraiya, Tsunade, Konohamaru, Naruto, dan lain-lain itu bisa menjadi afrâd bagi Konoha? Tentu tidak.
Mengapa? Karena masing-masing dari orang yang ada di dalam desa Konoha itu, tidak menyandang sifat dari desa Konoha itu. Artinya, orang-orang yang ada dalam desa, bukan desa itu sendiri. Naruto itu bukan Konoha, Jiraiya itu bukan Konoha, dan lain-lain. Meskipun mereka orang-orang yang ada dalam desa Konoha, mereka tetap tidak bisa dikatakan juz’iy. Sederhananya, tidak jauh-jauh dari yang sudah penulis jelaskan kalau juz’iy itu harus mengandung sifat dasar dari kulliy.
Begitu juga dengan kata Indonesia. Memang kita tahu bahwa Indonesia itu kulliy dan orang-orang di dalamnya seperti Wira, Indah, Fadhil, Ummu, Pukel, dan lain-lain adalah juz’iy-nya? Tentu tidak. Karena Wira bukan Indonesia, Indah bukan Indonesia, Fadhil bukan Indonesia, dan lain-lain. Mereka hanyalah orang-orang yang ada di Indonesia. Sebagaimana yang sudah penulis jelaskan bahwa juz’iy itu harus mengandung sifat dasar yang ada pada kulliy itu.
Beda halnya kalau kita katakan “manusia” dan ada juga orang-orang seperti Syahdan, Syahrul, Aldi, Asral, dan lain-lain. Apakah mereka adalah juz’iy dari kata manusia? Tentu saja, karena‒sekali lagi‒kalau setiap dari orang-orang tersebut mengandung sifat dasar “manusia” sedangkan manusia menjadi kulliy-nya. Di sini kita harus teliti seperti Indonesia di atas, rakyatnya adalah orang-orang yang tinggal dalam negara Indonesia, sedangkan rakyatnya sendiri tidak mengandung sifat dasar atau hakikat Indonesia itu. Sedangkan manusia, orang-orang yang menjadi afrâd atau juz’iy itu, menyandang sifat dasar atau hakikat kemanusiaan yang di mana manusia ini adalah kulliy.
Dalam hal ini, kita bisa memahami bahwa kulliy itu berlaku bagi setiap individunya secara setara. Seperti Akmal dan Sulaiman, mereka sama-sama manusia. Artinya hakikat kemanusiaannya berlaku secara setara; setara dalam hal kemanusiaan. Kita juga bisa memahami kulliy yang individunya berlaku secara berbeda-beda. Seperti merah yang mencakup merah tua, merah muda, dan merah-merah yang lainnya. Di sinilah kita akan mengenal dua istilah yaitu mutawâthi’ dan musyakkik. Berikut ulasannya.

- Mutawâthi’
Secara bahasa muthawâthi berarti setara, selaras, atau sepakat. Sedangkan secara istilah:
المفهوم الكلي الذي يصدق على أفراده بالتساوي
“Mafhum dari lafaz universal yang diberlakukan untuk individu-individu secara setara”
Dengan kata lain, kulliy mutawâthi itu adalah lafaz kulliy yang masing-masing dari individu yang ada di bawahnya selaras sehingga yang satu tidak bisa dikatakan lebih dari yang lainnya.
Contohnya seperti kata manusia. Individu-individu dari kata manusia adalah apapun yang dikatakan sebagai manusia, tanpa memandang identitasnya. Misalnya ada Ridha, Fathur, dan Amal. Ketiga orang ini adalah individu dari kata manusia. Ketiganya juga menyandang mafhum manusia secara selaras dan setara.
Anda tidak bisa mengatakan kalau salah satunya itu lebih manusia daripada yang lain. Atau manusia yang lebih utama statusnya daripada manusia yang lain.
Tidak bisa dikatakan kalau Ridha itu lebih manusia daripada Fathur atau Fathur lebih manusia dibanding Amal, begitupun manusia-manusia yang lainnya. Alasannya, mereka itu sama dan setara dalam statusnya sebagai manusia.
Misalnya lagi, kata buku. Buku itu kulliy, mencakup buku fisika, buku bahasa, buku logika, buku psikologi, buku pernikahan, dan lain-lain. Masing-masing dari individu yang tercakup itu disebut dengan buku. Dengan kata lain, kata buku individu-individu yang berada di bawahnya dan keberlakuannya bersifat sama dan setara.
Tidak bisa dikatakan kalau buku fisika lebih berbuku daripada buku psikologi atau buku psikologi lebih berbuku daripada buku pernikahan. Alasannya, setiap buku tersebut menyandang status ke-buku-an secara sama dan setara.
- Musyakkik
Secara bahasa, musyakkik berarti meragukan. Sedangkan secara istilah:
المفهوم الكلي الذي يصدق على أفراده بالتفاوت
“Mafhum dari lafaz universal yang diberlakukan untuk individu-individu secara berbeda”
Dengan kata lain, kulliy musyakkik adalah lafaz kulliy yang masing-masing individu di bawahnya menyandang mafhum dari lafaz tersebut dengan tingkatan yang berbeda-beda. Beda halnya dengan yang sebelumnya.
Seperti misalnya kata merah. Kata merah ini kulliy yang mencakup individu yang ada di bawahnya, seperti merah tomat, merah kulit, dan merah-merah yang lainnya. Dari sini, anda bisa melihat kalau merah yang satu dan merah yang lainnya memiliki tingkatan yang berbeda.
Bisa saja anda mengatakan kalau merah tomat itu lebih merah daripada merah kulit. Karena merah yang dimiliki oleh masing-masing benda itu berbeda tingkatannya. Kalau menilik kulliy yang sebelumnya, harus setara. Sedangkan yang ini tidak.
Misalnya lagi, kata kekuatan yang merupakan kulliy juga. Kata kekuatan ini bisa mencakup kekuatan batin, kekuatan pikiran, kekuatan spiritual, kekuatan dukun, dan lain-lain. Anda bisa mengatakan kalau kekuatan dukun lebih berkekuatan daripada kekuatan pikiran atau kekuatan spiritual lebih berkekuatan daripada kekuatan batin. Karena setiap individu yang tercakup itu, memiliki tingkatan berbeda tentang kekuatan. Inilah yang disebut kulliy musyakkik.
Di sini bisa saja muncul pertanyaan, sebagaimana yang telah dijelaskan kalau musyakkik itu tolak ukurnya adalah perbedaan, lantas bagaimana dengan mutawathi yang memiliki perbedaan? Seperti misalnya Ridha, Fathur, dan Amal tadi, memang manusia, tapi mereka memiliki sifat yang berbeda-beda. Bukankah mereka memiliki kadar kekuatan yang berbeda? Ketampanan yang berbeda, tinggi mereka juga berbeda? Kenapa digolongkan mutawathi? Kenapa bukan musyakkik?
Di sini, para ahli logika membatasi perbedaan tersebut karena luasnya dimensi perbedaan menjadi empat; 1) Awwaliyyah. 2) Ulawiyyah. 3) Asyaddiyyah. 4) Ziyâdah wa nuqshân. Apa saja keempatnya itu? Berkut uraiannya.
- Awwaliyyah
Awwaliyyah berarti perbedaan dalam konteks urutan. Maksudnya perbedaan itu didasarkan dengan kenyataan bahwa yang satu lebih awal dari yang lain. Misalnya kata wujud yang mencakup wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd. Wâjib al-wujûd diberlakukan kepada Tuhan sedangkan mumkin al-wujûd adalah makhluk.
Keduanya memang dikatakan sebagai wujud tapi kita semua meyakini bahwa wâjib al-wujûd lebih duluan daripada mumkin al-wujûd. Artinya, kita meyakini kalau Tuhan lebih duluan ada daripada makhluk-Nya.
- Ulawiyyah
Ulawiyyah berarti perbedaan dari segi keutamaan. Maksudnya, perbedaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa yang satu lebih utama dari yang lainnya. Misalnya kata ilmu yang merupakan kulliy. Ilmu ini mencakup ilmu Tuhan dan ilmu makhluk.
Walaupun keduanya sama-sama ilmu, tapi ilmunya Tuhan lebih utama daripada ilmunya makhluk. Ilmunya Tuhan tidak didahului oleh ketidaktahuan sedangkan ilmu makhluk didahului oleh ketidaktahuan.
- Asyaddiyyah
Asyaddiyyah berarti berbeda dalam konteks kekuatan. Maksudnya, perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa yang satu lebih kuat dari yang lain. Misalnya kata cakaran. Cakaran ini merupakan kulliy yang mencakup individu seperti cakaran kucing, cakaran anak bayi, cakaran harimau, dan cakaran-cakaran lainnya.
Anda bisa saja mengatakan cakaran kucing lebih kuat dari cakaran anak bayi atau cakaran harimau lebih kuat dari cakaran kucing. Meskipun sama-sama cakaran, tapi cakaran yang satu lebih kuat dari cakaran yang lainnya.
- Ziyâdah wa Nuqshân
Ziyâdah wa nuqshân berarti berbeda dalam konteks lebih dan kurangnya. Maksudnya, satu individu bisa dikatakan lebih banyak atau lebih sedikit daripada yang lainnya.
Contohnya seperti kata bilangan. Kata bilangan itu universal, mencakup banyak individu di bawahnya seperti satu, dua, tiga, empat, dan lain-lain. Bilangan yang satu lebih kecil dari yang lainnya. Dua lebih besar daripada satu, empat lebih besar dari tiga, satu lebih kecil daripada tiga, dan lain-lain.
Wallahu a’lam