Kali ini kita akan membahas lanjutan dari lafaz kulliy, yaitu kulliy ditinjau dari segi keterkaitannya dengan esensi (bi’tibar nisbatihi ilâ mâhiyyatihi). Di sini ada dua poin penting yaitu: 1) Kulliy dzâtiy. 2) Kulliy ‘aradhiy. Apa saja maksudnya? Tulisan berikut ini akan mengulasnya.


– Kulliy Dzâtiy
Definisinya adalah:
ما لا يكون خارجا عن ماهية ما تحته من أفراده
“Sesuatu (lafaz universal) yang tidak keluar dari esensi individu yang ada di bawahnya”
Dengan kata lain, kulliy yang dimaksud itu adalah suatu lafaz yang maknanya tidak keluar dari esensi atau inti dari sesuatu itu.
Di sini terbagi menjadi dua; 1) Menjelaskan sebagian dari esensi. 2) Menjelaskan esensinya secara utuh.
Yang menjelaskan sebagian dari esensinya itu terbagi menjadi dua lagi, yaitu; 1) Jins (genus). 2) Fashl (difference).
Sederhananya, jins ini menyatukan dua hal dengan yang lain. Seperti kata haiwân yang mencakup manusia dan binatang. Seperti itu maksudnya disatukan, disatukan dalam kelompok, bukan secara utuh. Sedangkan fashl itu sebaliknya, menjadi pemisah atau pembeda satu sama lain. Seperti kata nâthiq (berpikir) yang membedakan antara manusia dan binatang lainnya.
Jika jins menyatukan, maka fashl membedakan. Jadi keduanya ini hanya menjelaskan sebagian dari esensi. Seperti haiwân (jins) tadi, meskipun menjelaskan hakikat manusia dan binatang, tapi tidak menjelaskan keduanya secara utuh. Mengapa? Karena manusia dan hewan belum terpisah. Jika memang manusia dan hewan dijelaskan secara utuh, maka pastilah terpisah.
Begitu juga dengan fashl yang menjelaskan sebagian dari esensi. Karena ia hanya menjelaskan pembeda saja. Artinya, meskipun pembedanya ada, tapi kita tidak mengetahui seperti apa esensinya, tetap saja sesuatu itu tidak utuh atau sebagian.
Ada juga yang menjelaskan secara utuh, yaitu nau’ (species)[1]. Seperti Said, Aristoteles, Immanuel Kant, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Semuanya menjelaskan esensinya. Mengapa? Karena nama-nama itu menunjuk kepada manusia yang otomatis akan mengarahkan kita kepada makna haiwân nâthiq (jins + fashl = nau’). Artinya, ketika jins dan fashl sudah menjadi satu, maka jadilah esensi yang utuh.
– 𝑲𝒖𝒍𝒍𝒊𝒚 ‘𝑨𝒓𝒂𝒅𝒉𝒊𝒚
Definisinya adalah:
ما يكون خارجا عن ماهية ما تحته من أفراده
“ Sesuatu (lafaz universal) yang tidak keluar dari esensi individu yang ada di bawahnya.”
Dengan kata lain, ‘aradh itu berarti sesuatu yang aksidental atau hanya melekat pada esensi. Yang melekat pada esensi berarti bukan esensi. Karena jika ia esensi, kenapa mesti melekat pada esensi kan? Seperti itu sederhananya.
Saya memberi analogi, anggaplah ada spidol yang berwarna merah. Di sini ada dua hal yang harus diperhatikan; 1) Spidol. 2) Warna Merah. Spidol ini adalah dzat (esensi), sedangkan warna merah itu adalah ‘aradh (aksiden). Warna merah itu tidak bisa ada kalau tidak ada spidol. Artinya, aksiden itu tidak bisa ada kalau tidak ada esensi. Sebagaimana yang penulis katakan, aksiden itu hanya melekat pada esensi. Kalau tidak ada esensi, mau melekat di mana? Aksiden itu butuh inang, sedangkan esensi tidak.
Dalam pembahasan ini, kulliy ‘aradhiy terbagi menjadi dua; 1) ‘Aradh ‘amm (common accident). 2) ‘Aradh khassah (proper accident).
Sederhananya, ‘aradh ‘amm berarti sesuatu yang berada di luar esensi dan dimiliki oleh sesuatu yang lain. Sedangkan ‘aradh khassh berarti sesuatu yang ada di luar esensi dan tidak dimiliki oleh sesuatu yang lain.
Misalnya, berjalan. Jangankan manusia, binatang lain juga bisa berjalan. Artinya, ada sesuatu yang lain memiliki ke-berjalan-an ini seperti singa, gajah, atau binatang lainnya. Seperti inilah ‘aradh ‘amm. Sedangkan yang satunya lagi seperti ke-tertawa-an itu hanya dimiliki oleh manusia saja. Artinya, tertawa ini hanya dimiliki oleh manusia atau sesuatu yang hanya memiliki sesuatu itu, tidak dengan yang lain. Itulah ‘aradh khassh.
Kelima istilah ini: 1) Jins. 2) Fashl. 3) Nau’. 4) ‘Aradh ‘amm. 5) ‘Aradh khassh adalah jantung dari pembahasan kulliyyat al-khamsah yang akan kita bahas secara khusus. Ini juga merupakan awal dari pembahasan ilmu mantik yang sebenarnya.
- Perbedaan Kulliy Dzâtiy dan Kulliy ‘Aradhiy
Pertama, kulliy dzâtiy tidak dipertanyakan keberadaannya. Karena dzâtiy itu sudah ada di dalam esensi sekaligus membentuk esensi itu. Misalnya, ketika kita mengatakan manusia maka pastilah maknanya tidak lain haiwân nathiq (hewan yang berakal atau berpikir).
Tidak perlu ditanyakan, kenapa manusia itu haiwân atau kenapa manusia itu berakal atau berpikir. Karena memang begitu asalnya dan sesuatu yang datang dengan bentuk asalnya, tidak perlu dipertanyakan. Yang dipertanyakan itu, ketika ia tidak dalam bentuk asalnya.
Bedanya dengan kulliy ‘aradhiy, eksistensi atau keberadaannya dipertanyakan. Ketika kita mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang tertawa tentu kita bisa mempertanyakannya. Mengapa? Karena tertawa itu bukan esensi manusia, tapi kekhususan yang dimiliki oleh manusia.
Kedua, kulliy dzâtiy itu menjadi tolak ukur atau dasar untuk memahami sesuatu. Karena sesuatu tidak mungkin dipahami kecuali melalui esensinya. Sedangkan kulliy ‘aradhiy tidaklah demikian. Memang kulliy ‘aradhiy bisa ada, tapi bisa juga tidak. Sebagaimana yang penulis katakan sebelumnya bahwa ‘aradhiy itu bergantung pada dzatiy, tapi dzatiy tidak bergantung kepada ‘aradhiy.
Misalnya, kata tertawa dan berpikir. Kita mustahil memahami hakikat manusia kecuali melalui hewan dan berpikir. Karena keduanya itu hakikat manusia. Bahkan, tanpa mengetahui ke-tertawa-an, kita bisa memahami hakikat manusia. Mengapa? Sekali lagi, tertawa bukanlah hakikat manusia, tapi kekhususan yang dimiliki oleh manusia. Begitupula memasak, menulis, nonton, dan lain-lain. Itu semua hanyalah kekhususan, bukan hakikat.
Ketiga, kulliy dzâtiy lebih duluan dipahami daripada kulliy ‘aradhiy. Kita tidak mungkin mengetahui hal-hal yang ada di luar esensi sebelum kita mengetahui esensi itu. Maka dari itu, esensi yang lebih dulu kita pahami.
Sebelum kita memahami apakah manusia itu bisa tertawa, bisa nonton, atau bisa nikah, kita perlu memahami terlebih dahulu, apakah esensi manusia itu? Karena dengan mengetahui hakikat manusia, kita bisa juga mengetahui apa saja yang melekat pada manusia.
Intinya, kulliy dzâtiy itu mengarah kepada esensi sesuatu itu, sedangkan kulliy ‘aradhiy mengarah kepada sesuatu di luar esensi, artinya tidak ke esensi. Satunya mengarah ke inti, dan satunya lagi tidak mengarah ke inti.
Wallahu a’lam
[1] Mengenai apakah nau’ itu masuk dalam esensi atau tidak, di sini ada tiga pendapat:
Pertama, nau’ itu tidak di dalam dan tidak juga di luar esensi, tapi di antara keduanya (wâsith). Ini jika nau’ diartikan sebagai sesuatu yang bukan di dalam esensi dan bukan juga di luar esensi.
Analoginya sederhana, bayangkan ada mangkok yang berisikan bakso. Bakso itulah jins dan fashl (dalam mangkok). Hal-hal di luar esensi mangkok itu, seperti warna, ukuran, tempat, dan lain-lain, disebut dengan ‘aradh. Sedangkan mangkok itu adalah nau’ (tidak di dalam, tidak juga di luar)
Kedua, nau’ itu dzâtiy. Jika dzâtiy itu diartikan sebagai sesuatu yang bukan di luar esensi. Maka nau’ itu bisa dikatakan ada dalam esensi atau esensi itu sendiri secara utuh.
Ketiga, nau’ itu ‘aradhiy. Ini jika ‘aradhiy itu diartikan sebagai sesuatu yang bukan di dalam esensi berarti bisa dikatakan bahwa nau’ ini sesuatu yang di luar esensi atau esensi itu sendiri secara utuh.
Tergantung bagaimana kita mendefinisikan atau mengkonsepsikan sesuatu. Sebagaimana kaidah mengatakan:
الحكم عن الشيء فرع عن تصوره
“Penghukuman kita terhadap sesuatu, tergantung bagaimana konsepsi (termasuk definisi) kita terhadap sesuatu itu.”