Jika tuduhan-tuduhan yang berbasis akal sudah gugur, maka yang tersisa adalah tuduhan-tuduhan yang berbasis riwayat. Dalam artian, tuduhan kepada ilmu mantik itu didasarkan pada data-data yang sifatnya riwayat, seperti perkataan ulama mengenai ilmu mantik, tentunya dari pihak yang mengharamkan. Tapi, kalau kita ingin objektif, tidak semua ulama mengharamkan, itu lagi-lagi menuntut kita melihat latarbelakang munculnya fatwa pengharaman itu. Juga pengharaman itu pada konteks tertentu, dalam artian tidak relevan pada seluruh keadaan.
Tanggapan Ulama Mengenai Mantik
– Imam Al-Ramli
Imam Syihabuddin Al-Ramli dalam Fatâwa Al-Ramli:
فأجاب: بأن فى الاشتغال به ثلاثة مذاهب. قال ابن صلاح والنووي: يحرم الاشتغال به، وقال الغزالي: من لايعرف المنطق لايوثق بعلومه والمختار كما قال بعضهم، جوازه لمن وثق بصحة ذهنه ومارس الكتاب والسنه وغايته عصمة الإنسان عن أن يضلّ فكره ونسبته إلى المعانى كنسبة النحو إلى الألفاظ (٤/٣٣٧)
Jawaban (Imam Al-Ramli tentang hukum mendalami ilmu mantik): Menyibukkan diri dalam mempelajari ilmu mantik, terdapat tiga pendapat. Ibnu Shalah dan Imam Nawawi (berpendapat): Haram menyibukkan diri belajar ilmu mantik. Imam Al-Ghazali berkata: Barangsiapa yang tidak tahu ilmu mantik, maka kredibilitas ilmunya dipertanyakan. Dan pendapat yang dipilih sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, baik akalnya, sehat akalnya, mempraktikkan Al-Qur’an dan Hadits, dan tujuannya menjaga manusia dari kesesatan berpikir dan keterkaitan (ilmu mantik) itu sebatas kepada makna, sebagaimana keterkaitan nahwu kepada lafazh. (Fatâwa Al-Ramli: Vol. 4, Hal 337).
Di sini, Imam Al-Ramli menegaskan bahwa ada tiga pendapat mengenai mendalami ilmu ini. Ada yang mengatakan haram, ada juga yang mengatakan boleh, ada juga yang mengharamkan. Juga, menurut Al-Ramli, ilmu ini boleh dipelajari jika akal yang mempelajari ilmu ini itu sehat, bisa membedakan mana baik dan buruk. Karena mantik, itu fokusnya kepada makna. Seperti nahwu yang sibuk membahas lafazh.
– Imam Al-Suyuthi
Imam Suyuthi dalam Al-Hâwi li Al-Fatâwa:
فنّ المنطق فنّ خبيث مذموم، يحرم الاشتغال به، مبنى بعض ما فيه على القول بالهيولى الذي هو كفر، يجرّ إلى الفلسفة والزندقة، وليس له ثمرة دينية أصلا، بل ولا دنيوية (١/٣٠٠)
Ilmu mantik merupakan ilmu yang kotor lagi hina. Haram mempelajarinya. Karema ilmu mantik itu sebagiannya dibangun atas konsep hayûla yang dia dihukumi kafir, (karena) konsep itu juga dapat menjerumuskan kepada pemahaman falâsifah dan zindiq. Pada dasarnya, ilmu mantik tidak ada manfaatnya dalam agama, tidak ada juga manfaatnya untuk dunia. (Al-Hâwi li Al-Fatâwa: Vol 1, Hal 300).
Konteks pengharaman Imam Suyuthi di sini tidak lain ilmu mantik yang terkontaminasi dengan syubhat orang Yunani. Ini bisa diperhatikan ketika Imam Suyuthi menyinggung konsep hayûla. Dalam ilmu kategori (maqûlat), hayûla adalah materi yang butuh kepada bentuk. Dan pandangan mengenai hayûla ini memang bersumber dari madzhab paripatetik (Aristotelian) yang ada dari Yunani. Itu artinya Imam Suyuthi tidak mengharamkan ilmu mantik secara mutlak. Di bagian lain, kita bisa menemukan Imam Suyuthi menggunakan teori mantik secara implisit, yakni nisbah baina kulliyatain: ‘umum wa khusus min wajh. Ini bisa kita saksikan pada bait ke-119 dalam Alfiyyah Al-Suyuthi pada pembahasan hadits musnad:
المسند المرفوع ذا اتصال ### وقيل: أول وقيل: التالي
Hadits musnad adalah hadits marfu’ sekaligus muttashil. Ada yang berpendapat kalau hadits musnad adalah hadits marfu’. Ada juga yang berpendapat kalau hadits musnad adalah hadits muttashil.
Imam Suyuthi mengatakan kalau hadits musnad itu ketika hadits marfu’ dan muttashil bertemu. Kalau mau kita cermati, kedua-duanya merupakan konsep universal (kulliy) yang memiliki individu (afrâd). Individu dari hadits marfu’ adalah teks hadits marfu’ itu sendiri, sebagaimana individu dari hadits muttashil teks hadits muttashil itu sendiri. Hadits marfu’ adakalanya bertemu dengan konsep hadits muttashil, seperti pada kasus hadits musnad ini. Adakalanya juga terpisah, sebagaimana hadits marfu’ yang tidak muttashil dan hadits non-marfu’ (seperti hadits mauquf dan maqthu’) yang muttashil. Ini sudah sesuai dengan konsep umum wa khusus min wajh. Uraian lebih lanjut, bisa melihat tulisan saya di sini.
– Imam Tajuddin Al-Subki
Imam Tajuddin Al-Subki dalam Fatâwa Al-Subki:
يجوز له الاشتغال بالمنطق وينتفع به ويعينه على العلوم الإسلامية وغيرها، وهو من أحسن العلوم وأنفعها فى كلّ بحث (٢/٦٤٤)
Boleh menyibukkan diri dan mengambil manfaat dari ilmu mantik. (Boleh juga) menta’yin (dengan menggunakan ilmu mantik) kepada ilmu-ilmu keislaman dan selain dari ilmu itu. Mantik itu termasuk ilmu terbaik dan bermanfaat bagi semua pembahasan. (Fatâwa Al-Subki: Vol. 2, Hal 644).
Sebagaimana ilmu mantik yang disebut oleh Iman Tajuddin Al-Subki kalau dia itu berguna dengan seluruh pembahasan, itu bisa kita temukan dalam banyak ilmu-ilmu lain, seperti definisi. Kita belajar hukum misalnya, tentu pembahasan itu dimulai dengan membahas definisi hukum itu dulu. Memang ilmu kewarnegaraan dan ilmu tentang hukum tidak membahas definisi, tapi secara eksistensi, definisi itu ada di sana. Itu artinya, ilmu mantik sangat relevan digunakan untuk menguji ketepatan definisi hukum itu. Karena ilmu yang memiliki otoritas dalam membahas definisi itu sendiri adalah ilmu mantik.
Imam Tajuddin Al-Subki juga mengindikasikan jika ilmu mantik itu bersih dari syubhat orang Yunani, maka ilmu mantik itu menjadi bermanfaat. Itu artinya, ada ilmu mantik yang masih tercampur dengan syubhat pemikiran Yunani. Ini akan anda dapatkan jika langsung merujuk ke kitab aslinya, sesuai dengan referensi yang dicantumkan penulis.
– Imam Al-Akhdhari
Imam Al-Akhdhari dalam Sullam Al-Munawraq:
والخلف فى جواز الاشتغال ### به على ثلاثة أقول
Ulama berbeda pendapat tentang bolehnya menyibukkan diri dalam belajar ilmu mantik, di sana terdapat tiga pendapat.
Pendapat yang dimaksud itu sebenarnya sudah dibahas dalam pandangan Imam Al-Ramli dalam kitab Fatâwa-nya.
– Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa:
وليست هذه المقدمة (المنطق) من جملة علم الأصول ولا من مقدماته الخاصة به، بل هى مقدمة العلوم كلّها، ومن لا يحيط بها فلا ثقة له بعلومه أصلا، فمن شاء أن لا يكتب هذه المقدمة فليبدأ بالكتاب من القطب الأول فإن ذلك هو أول أصول الفقه وحاجة جميع العلوم النظرية إلى هذه المقدمة (١٠)
Mukadimah (ilmu mantik) ini bukan bagian dari pembahasan ilmu ushul fikih, bukan juga pengantar khusus ilmu ushul fikih. Tapi, ilmu mantik ini merupakan mukadimah seluruh ilmu dan barangsiapa yang tidak mendalami ilmu tersebut, keilmuannya patut dipertanyakan. Siapa pun yang tidak memulai menuliskan (mempelajari) mukadimah ini, maka hendaklah ia memulai belajar dari titik awal (ilmu mantik) karena dia merupakan awal (hal yang mengantarkan kepada) ilmu ushul fikih dan semua ilmu yang bersifat spekulatif (membutuhkan waktu untuk dipahami) butuh kepada mukadimah ini. (Al-Mustashfa: 10).
Di sini penulis tidak mengada-ngada dalam memberikan penjelasan tambahan pada teks Imam Al-Ghazali. Misalnya saja, ketika penulis menambahkan “hal yang mengantarkan kepada ilmu ushul fikih”, penulis memiliki argumen. Misalnya saja, ushul fikih tidak bisa kita pahami kecuali dengan memahami mantik. Misalnya pada pembahasan istiqra’ (penelitian) dalam ushul fikih, itu metode deduksinya sama dengan mantik modern. Menghukumi hal yang banyak, melalui yang sebagian. Ini bukti bahwa memang ushul fikih butuh ilmu mantik.
Bukti kalau yang dimaksud mukadimah tersebut adalah ilmu mantik, bisa dilihat pada ungkapan sebelumnya, masih pada halaman yang sama:
مقدمة الكتاب بيان حصر مدارك العلوم النظرية فى الحدّ والبرهان نذكر في هذه المقدمة مدارك العقول وانحصارها في الحدّ والبرهان، ونذكر شرط الحدّ الحقيقي وشرط البرهان الحقيقي وأقسامهما على منهاج أوجز مما ذكرناه فى كتاب محك النظر (وكتاب معيار العلم). (١٠)
Mukadimah kitab merupakan penjelasan mengenai batas pengetahuan spekulatif dalam hal hadd (definisi esensial/analitik) dan burhan (demonstratif), kami (Imam Al-Ghazali) telah menyebutkan pada mukadimah ini deretan pengetahuan akal dan batasannya dalam hadd dan burhan, dan kami telah menyebutkan syarat (membentuk) hadd yang hakiki, syarat burhan hakiki, dan jenis-jenis hadd dan burhan itu secara ringkas dalam kitab Mihak Al-Nazhr (dan kitab Mi’yar Al-‘Ilm). (Al-Mustashfa: 10).
Pertanyaan beliau ini menguatkan ungkapan penulis sebelumnya bahwa yang dimaksud sebagai mukadimah ilmu adalah ilmu mantik. Apalagi dengan jelas sekali Imam Al-Ghazali sendiri menyebut kitab Mihak Al-Nazhr secara sarih yang jelas-jelas juga merupakan kitab mantik. Dalam ilmu mantik memang ada deretan teori yang membahas masalah merangkai definisi dan cara membuat argumen (burhan), plus jenis-jenisnya. Kalau kita tidak mengetahui ini, jelas kita bisa saja terjebak dalam kesalahan tanpa kita mengetahui kesalahan itu. Secara implisit juga, Imam Al-Ghazali seakan-akan ingin kalau kita memahami syarat-syarat, jenis, dan cara membentuk definisi dan argumen melalui ilmu mantik. Penulis sudah mengutip ungkapan yang merupakan lanjutan dari bagian ini.
– Syekh Abdul Mun’im Al-Damanhuri, Grand Syekh Al-Azhar ke-10
Syekh Abdul Mun’im Al-Damanhuri dalam Idhah Al-Mubham min Ma’ani Al-Sullam memberikan keterangan tentang perbedaan pendapat ini:
واعلم إن هذا الخلاف إنما هو بالنسبة بالمنطق المشوب بكلام الفلاسفة (٥٤)
Ketahuilah! Perbedaan pendapat ini hanya terbatas pada ilmu mantik yang terkontaminasi dengan pemikiran filusuf (Yunani). (Idhah Al-Mubham: 54).
Kemudian, Syekh Ahmad bin Umar Al-Hazimi dalam memberikan komentar terhadap kitab Syarh Al-Quwaisiniy ‘ala Sullam, khususnya bagian perbedaan pendapat ulama mengenai ilmu mantik:
الثاني: [القسم الثاني] المختلط [مختلط بشبه الفلاسفة]، يعنى: فيه حقّ، وفيها باطل. قال: [وهذا هو الذي جرى فى الاشتغال به خلاف] (٢/٢٣)
Kedua: (pembagian kedua dari ilmu mantik) yang bercampur (dengan syubhat para filusuf), yakni: ada bagian yang benar dan bathil. (Syekh Al-Quwaisiniy) berkata: (inilah yang menjadi titik perbedaan pendapat ulama tentang kebolehan menyibukkan diri dalam mempelajari ilmu mantik). (Syarh Al-Quwaisiniy: Vol. 2, Hal 23).
Di sini kita bisa menarik benang merah bahwa perbedaan pendapat ulama ini terbatas pada ilmu mantik yang masih tercampur dengan syubhat filusuf Yunani. Ini terbukti dengan teks Al-Hâwi li Al-Fatâwa yang dikutip penulis. Imam Suyuthi di sana memberikan penekanan untuk menjauhi pemahaman filusuf Yunani. Jika mantik yang masih tercampur saja dengan pemikiran Yunani, bagaimana dengan mantik yang sudah bersih dari pemikiran Yunani? Apa kira-kira alasan untuk mengharamkan?
Kemudian, tidak ada salahnya kita mengatakan ada seracik titik kebenaran pada teori filusuf Yunani itu. Imam Al-Ghazali, sebelum mengkritisi para filusuf paripatetik dalam kitab Tahâfut Al-Falâsifah dan Maqâshid Al-Falâsifah, beliau bisa mengatakan kalau mereka memiliki titik kebenaran dan titik kesalahan. Ini bagian dari obyektifitas beliau dan kita juga harus mencontohi itu. Bukan berarti hanya karena berlatarbelakang non-muslim, semua perkataannya salah. Setiap perkataan orang memiliki potensi ditolak dan diterima perkataannya.
Selain itu, untuk mengetahui seperti apa sebenarnya mantik, tentu kita harus terjun dan melihat secara langsung ilmu mantik itu, bukan hanya sekedar mendengar perkataan yang tidak setuju dan setuju. Kalaupun anda tidak setuju dengan tulisan ini, penulis sendiri tidak masalah dengan itu dan agar lebih akademik, yang menolak argumentasi penulis itu mendatangkan argumentasi dan penelitian juga. Karena kita tidak tahu sebuah kebenaran jika tidak ada argumen. Bukankah ada ayat Al-Qur’an yang menantang orang non-muslim dan mendatangkan argumen juga untuk membuktikan kebenarannya?
Wallahu a’lam