Tadi pagi, penulis menyempatkan diri membuka Youtube untuk melihat apakah masih ada alasan yang bisa dijadikan pengharaman mantik atau tidak. Ternyata, masih ada video (ini salah satu) yang membahas itu. Di antara tudingan-tudingan yang ada adalah:
1. Filsafat adalah ilmu yang mempelajari mantik dan mantik itu adalah ilmu yang digunakan untuk bermain-main kata.
2. Nabi dan para sahabat tidak pernah menyibukkan diri dalam belajar mantik
3. Ilmu mantik adalah ilmu filsafat
Lebih lanjut, kita perlu membedah ungkapan-ungkapan ini terlebih dahulu.
Tidak Pernah Dilakukan Nabi dan Sahabat
Untuk poin ini, sepertinya sudah banyak dibahas oleh para ulama, khususnya ketika bersinggungan dengan tema bid’ah. Untuk hal ini Syekh Abdul Ghaffar Abdurra’uf dalam kitab Khulâshah Al-Qawâ’id Al-Manthiqiyyah sudah disinggung dengan poin khusus. Beliau membahasakan pengharaman sebuah kelompok dengan premis yang ringkas.
Premis 1: Ilmu mantik itu tidak pernah didalami oleh para sahabat
Premis 2: Semua yang tidak didalami oleh para sahabat itu tidak boleh didalami
Kesimpulan: ilmu mantik itu tidak boleh didalami
Syekh Abdul Ghaffar menolak bangunan kesimpulan itu, yakni “semua yang tidak didalami oleh para sahabat itu tidak boleh didalami”. Walaupun secara sarih kelompok yang mengharamkan tidak menyebutkan bangunan argumen seperti itu, tapi kelaziman dari ungkapannya itu tidak keluar dari tatanan premis tersebut. Mengapa beliau menolak tatanan seperti itu? Karena sahabat meninggalkan sesuatu, bukan dalil bahwa sesuatu itu terlarang.
Tacit Knowledge dan Explicit Knowledge
Sebelum mengklaim Nabi dan para sahabat itu sejatinya bermantik dan berushul fikih, penulis perlu memperkenalkan konsep tacit knowledge dan explicit knowledge. Dari segi terbentuknya, pengetahuan itu ada dua; 1) Pengetahuan Belum Terumuskan (Tacit Knowledge). 2) Pengetahuan Terumuskan (Explicit Knowledge). Kemampuan manusia dalam berbahasa itu, tidak terteorikan dan tidak terumuskan. Kalau ditanya, apakah teori tentang cara berbahasa itu dikuasai atau tidak, ada yang tidak menguasai. Tapi, mereka bisa berbahasa kok. Kemampuan berbahasa inilah disebut tacit knowledge. Sedangkan ketika manusia sudah berpikir untuk mensistematiskan sebuah ilmu dalam bentuk teori dan susunan yang tertib, barulah ilmu itu menjadi explicit knowledge.
Ilmu-ilmu yang sudah dikodifikasi itu, sudah tersusun dengan sangat tertib, tanpa menafikan ilmu itu sudah ada secara naluri sebelum dikodifikasi. Seperti ushul fikih, memang benar tidak ada teori khusus pada zaman Nabi untuk beristinbat. Tapi, para sahabat memiliki naluri atau yang disebut dengan malakah untuk mengistinbatkan hukum. Tidak terkecuali ilmu nahwu, kalau kita membaca sejarah perkembangan bahasa di semenanjung Arab, maka kita akan melihat orang Arab sudah memiliki naluri atau malakah dalam membuat untaian bait syair. Tapi, kapan ilmu nahwu itu dikodifikasi? Kita akan menemukan kalau ilmu nahwu dikodifikasi pada zaman Ali bin Abi Thalib, diletakkan oleh Imam Abu Aswad Al-Du’ali. Apakah sebelum Imam Abu Aswad itu bahasa Arab belum ada? Sudah ada secara naluri atau tacit knowledge, tapi tidak secara explicit atau teoritis. Ketiadaan teori, tidak menunjukkan ketiadaan praktik.
Dalam konteks ilmu mantik, jauh sebelum Socrates meletakkan dasar definisi ketika melawan kaum Sofis, ada yang berpendapat kalau mantik sudah ada di kawasan India dan Cina pada abad ke-18 SM. Artinya, jauh sebelum itu mantik sudah ada secara praktik. Tapi, ketika sampai di masa Aristoteles, barulah mantik itu dikodifikasi. Artinya, naluri manusia itu memang berpikir, sebagaimana terteorikan dalam ilmu mantik.
Manusia manapun jika anda tanya “apakah rancu jika saya mengatakan “orang ini ada dan tiada di saat yang bersamaan”?” Tentu orang yang sehat akalnya akan menjawab “iya, itu sangat rancu“. Sadar atau tidak, ketika orang mengatakan kalau itu rancu, maka dia sejatinya sudah mengamalkan kaidah ilmu mantik. Karena tabiat manusia itu memang menolak kontadiksi dan itu ada dalam salah satu kaidah dasar berpikir. Ini penulis sempat bahas dalam tulisan awal dalam uraian ilmu mantik.
Atas dasar ini, maka sejak zaman Nabi dan Sahabat, mantik itu sudah ada tapi Nabi dan Sahabat menggunakan dalam bentuk malakah. Walaupun mantik sudah dikodifikasi pada zaman Aristoteles, hanya saja belum sampai pada semenanjung Arab. Selain itu, memang tabiat manusia berpikir. Sadar atau tidak, siapapun yang berakal sehat, tidak akan terlepas dari praktik mantik, walaupun dia bersikeras mengharamkan ilmu itu, tetap saja dia akan menggunakan tabiat berpikirnya.
Menyoal Istilah dalam Ilmu
Ada sebagian kelompok yang ribut mengenai istilah mengenai suatu ilmu atau di luar ilmu. Contoh kecilnya saja, dalam kasus istilah “pacaran”. Pacaran ini sebenarnya apa? Apakah pacaran itu hubungan pra-nikah atau pasca-nikah? Mereka yang beranggapan istilah pacaran itu untuk hubungan pra-nikah, akhirnya mereka berpendapat haram. Di sisi lain, mereka yang beranggapan kalau istilah pacaran itu digunakan untuk hubungan pasca-nikah, maka mereka membolehkan. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Karena yang pokok itu, bukanlah istilah tapi apa yang diinginkan istilah itu.
Imam Al-Ghazali dalam Maqâshid Al-Falâsifah, sempat menyinggung sedikit ketegangan antara teolog dan filusuf. Walaupun mereka memiliki hubungan ketegangan, menurut Imam Al-Ghazali, mereka berbeda dari segi istilah saja tapi jauh di dalam hati, mereka bersepakat dalam maksud itu. Misalnya saja, mereka bersepakat bahwa Allah itu non-materi. Tapi, filusuf itu mengeluarkan statement yang cukup kontroversial yang bunyinya “Allah ‘aqlun” yang secara sepintas dimaknai “Allah itu akal”. Jelas kalau ini sangat nyeleneh. Tapi, ketika menelisik maksud mereka, sebenarnya mereka ingin mengatakan “Allah itu non-materi” tapi istilah yang mereka pakai itu sangat kontroversial. Walaupun seperti itu, pada akhirnya kita mengatakan kalau mereka itu hanya berbeda dalam hal penyebutan (ikhtilaf lafzhi), bukan hakiki (ikhtilaf haqiqi).
Melihat perbedaan masalah lafaz atau istilah, itu bukanlah sesuatu yang terlalu signifikan. Mengapa? Karena sekali lagi, mereka hanya berbeda dari segi “penamaan” bukan hakikat dari penamaan itu. Sebab, istilah dan bahasa itu dirancang untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara yang lebih simpel dan sederhana. Sedangkan sesuatu yang dimaksud dari istilah itulah yang dianggap dan diperhitungkan, bukan sekedar penamaan itu saja. Coba bayangkan kalau istilah itu tidak ada. Orang akan kesulitan dan memakan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan sesuatu. Misalnya saja, ketika anda berobat ke dokter tapi tidak mengetahui istilah atau nama penyakit demam. Bagaimana anda menyampaikan kalau anda demam kepada dokter tanpa menggunakan kata demam? Ya, mungkin bisa saja maksud yang ingin anda utarakan itu sampai. Tapi, tidak secepat jika anda hanya mengatakan “demam”.
Walaupun istilah itu tidak signifikan amat, bukan berarti kita seenaknya memberi istilah yang kontroversial. Memang tidak ada aturan tentang itu, tapi kita harus bijaksana dan pintar-pintar melihat kondisi juga. Tetap ada nilai etis di sana.
Pada titik ini, penulis ingin menyampaikan sebuah kaidah yang masyhur:
لا مشاحة فى الاصطلاح
Tidak ada perdebatan dalam sebuah istilah.
Apa kaitannya dengan ilmu mantik? Bukankah kita sedang membahas tudingan kepada ilmu mantik? Ya ada. Ada yang menyampaikan kepada penulis bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam mantik, filsafat, dan ilmu kalam itu bid’ah dan harus dijauhi, tidak pernah diajarkan oleh para sahabat. Wong, tidak ada juga istilah mantik yang kontroversi sejauh ini. Kalau kita mau adil, kita bisa juga mengatakan kalau Nabi sendiri tidak pernah meletakkan istilah-istilah tertentu dalam ilmu hadits. Apakah istilah-istilah dalam ilmu hadits itu bid’ah dan harus dihindari begitu? Kan, komparasinya di sini sudah apple to apple, sama-sama istilah ilmu, sama-sama dalam ilmu, sama-sama tidak kontroversial, bahkan sama-sama tidak diletakkan Nabi dan para sahabat kan? Kenapa harus mantik yang menjadi kambing hitam? Adakah alasan logis untuk ini? Penulis akan setia menunggu alasan itu, walau tidak ada kepastian bahwa dia akan datang.
Menyoal Mantik dan Filsafat
Penulis sendiri ketika mendengarkan proses pengharaman ilmu ini melalui video-video, penulis menilai kalau yang beranggapan demikian ada yang tidak bisa membedakan mantik, filsafat, dan ilmu kalam. Bahkan penulis sendiri pernah menemukan ada yang menerjemahkan kata علم الكلام dengan kata filsafat. Ini sungguh disayangkan.
Mantik dan filsafat itu berbeda. Kalau kita membaca uraian Imam Al-Ghazali dalam mukadimah Maqâshid Al-Falâsifah, di sana beliau merinci kalau filsafat itu ada empat bagiannya; 1) Logika (Manthiq). 2) Eksak (Hisâb/Riyadhiyyah). 3) Fisik (Thabi’iyyah). 4) Metafisika (Mâ warâ’a thabi’iyyah). Pada titik ini, kita bisa menarik benang merah bahwa filsafat itu lebih umum daripada mantik. Ketika kita berlogika, pada hakikatnya kita memang berfilsafat. Tapi, berfilsafat tidak harus membahas tentang ke-logika-an. Ketika anda tahu anda harus apa, itu artinya anda berfilsafat. Ketika anda tahu bagaimana cara anda berbicara dengan orang tertentu dan memahami lawan bicara anda, itu artinya anda berfilsafat. Karena filsafat itu mencakup bagaimana cara berbuat bijaksana.
Nah, pada titik ini jelas bahwa mantik dan filsafat itu beda. Adapun tudingan-tudingan terhadap filsafat dan ilmu kalam, akan penulis bahas pada kesempatan yang lain.
Kenapa miskonsepsi seperti ini terjadi? Karena yang mengklaim filsafat dan mantik itu sama adalah orang yang tidak mengetahui hakikat mantik dan filsafat. Menyentuh pun tidak. Sebab, dari awal mereka sudah mengharamkan ilmu ini. Tapi, kalau kita mau jujur-jujuran, bagaimana mungkin kita bisa mengetahui hakikat sesuatu bahkan menghukuminya jika mempelajarinya dan menjalaninya saja tidak? Walaupun memang mantik mengandung unsur filsafat, tapi bukan berarti karena mengandung sesuatu, maka sesuatu itu sama dengan kandungannya. Bakso mengandung garam, bukan berarti bakso adalah garam. Mantik tetaplah mantik, filsafat tetaplah filsafat. Bukan berarti karena keduanya terkait, maka keduanya hal yang sama. Ilmu sains berkaitan dengan astronomi. Bukan berarti ilmu astronomi itu sama dengan ilmu sains tingkatannya yang sama-sama mencakup ilmu biologi dan psikologi. Keterkaitan sesuatu dengan sesuatu yang lain, tidak meniscayakan keduanya sama.
Coba lihat para peneliti, ketika mereka ingin mengetahui hakikat sesuatu, mereka mempelajari, mengkaji, bahkan mendalami sesuatu itu. Itu bisa kita lihat ketika ada salah satu lembaga riset di Indonesia mengkaji game PUBG, mereka tidak langsung menghukumi, tapi mereka mengkaji dengan cara memainkan game itu.
Contoh lain, bagaimana cara anda mengatakan suatu film itu bagus atau jelek jika menonton saja tidak pernah? Dengan kata lain, anda harus memiliki gambaran tentang apa yang ingin anda hukumi, agar tidak terjadi miskonsepsi seperti kelompok yang semangat mengharamkan mantik dan filsafat, plus menyamakan keduanya. Bagaimana caranya menerima kesalahpahaman orang apalagi menempatkannya sebagai pendapat yang sama nilainya dengan pendapat yang berdasarkan dengan data yang kuat dan aktual? Tentu kita tidak bisa melakukan itu.
Jika dikatakan “sudah ada ulama sudah menguji dan meneliti kalau ilmu mantik, filsafat, dan ilmu kalam itu ilmu yang menyesatkan” maka jawabannya kita perlu meninjau ulang. Mengapa? Karena hasil penelitian itu perlu kita lihat, ilmu mantik, filsafat dan ilmu kalam seperti apa yang diharamkan? Jika yang dimaksud adalah ilmu mantik dan filsafat yang berbau Yunani dan ilmu kalam produk Muktazilah itu berarti ini penelitian lama. Realita yang berlaku saat penelitian itu dan saat ini sudah berbeda. Bahkan sampel penelitian itu juga sudah berubah, maka kita harus membuka mata lebar-lebar dan melihat realita mantik, filsafat, dan ilmu kalam hari ini, sudah berbeda.
Di sini penulis menekankan kalau relevansi hasil sebuah penelitian akan bertahan sesuai dengan konteks yang pas dan relevan juga. Kalau zaman sudah berubah, konteks berubah, maka hukum itu juga ikut berubah. Maka relevansi itu perlu diperhatikan. Di sinilah peran sejarah sangat signifikan untuk membentuk mindset menyikapi suatu hukum. Sebab, ada di zaman dulu hukumnya terlarang, hari ini tidak. Begitu juga sebaliknya. Sekali lagi, bacalah sejarah agar tidak menjadi manusia modern tapi informasinya masih terbelakang.
Wallahu a’lam