Tuduhan kepada ilmu mantik itu ada banyak, tapi kita akan membahas satu persatu pada tulisan yang terpisah mengenai syubhat itu. Selain tuduhan-tuduhan pada tulisan sebelumnya, masih ada tuduhan lain yang menyusul, bahwa ilmu mantik itu tidak dibutuhkan orang pintar dan tidak ada manfaatnya bagi orang bodoh. Selain itu, tanpa belajar ilmu mantik, seseorang bisa berpikir logis dan ilmu mantik tidak menjamin seseorang selamat dari kesalahan berpikir. Benarkah demikian? Mari kita bahas!
Jika kita memetakkan ungkapan di atas, maka kita akan mendapatkan beberapa poin penting:
1. Tidak dibutuhkan orang pintar dan tidak ada manfaatnya bagi orang bodoh.
2. Orang bisa berpikir logis tanpa belajar ilmu mantik.
3. Ilmu mantik tidak menjamin seseorang itu selamat dari kesalahan.
Kalangan yang Membutuhkan Mantik
Pada poin pertama, kita menemukan ungkapan klasifikasi manusia itu hanya dua. Entah sadar atau tidak, yang mengeluarkan statement itu sedang menggunakan teori yang dicetuskan Plato, yakni pembagian (taqsîm/classification). Buktinya, dia membagi jenis manusia berdasarkan kecerdasannya pada dua bagian, pintar dan bodoh. Ya walaupun pembagiannya masih kurang. Sebab, manusia tidak terbatas pada pintar dan bodoh saja, ada juga yang tidak pintar, tidak juga bodoh.
Itupun bodoh yang dimaksud, bukan bodoh karena tidak mengetahui, tapi bodoh karena IQ-nya rendah (idiot) dan tidak bisa mendapatkan pengetahuan baru. Kalau bodohnya karena sekedar tidak tahu, ya itu jelas bermanfaat. Sebab, orang tidak tahu bisa menjadi tahu. Untuk bodoh yang jenis ini, bisa dikatakan tidak bodoh (idiot), tidak juga pintar. Orang yang seperti inilah yang butuh mantik. Pengetahuan apapun bermanfaat bagi orang yang mau belajar.
Orang Bisa Berpikir Logis Tanpa Mantik
Kalau mau berpikir dengan kerangka yang sama dengan tuduhan ini, mudah saja. Kita bisa mengatakan juga “semua manusia yang bisa berjalan bisa pergi ke luar kota tanpa kendaraan”. Akal kita akan mengamini itu. Tapi, pertanyaannya apakah tanpa kendaraan itu pilihan yang tepat dan efektif? Tentu tidak. Kebisaan adalah satu hal dan keefektifan adalah hal yang lain. Kita bisa melakukan hal-hal bermanfaat dengan cara yang tidak efektif. Belajar dengan tidak efektif dan metode yang tidak tepat. Kalau bisa, ya bisa. Tapi, apakah efektif? Jawabannya tidak.
Begitu juga berhitung. Kita bisa berhitung tanpa mempelajari matematika. Tapi, apakah kita mau buang-buang waktu dengan sesuatu yang tidak efektif? Tidak lucu saja kalau misalnya menghitung di pasar atau bisnis pakai cara manual, tidak pakai cara canggih yang sudah ada dalam matematika. Harusnya transaksi sudah selesai dalam waktu 20 detik, tapi bisa habis tiga menit dipakai berhitung. Itupun hitungannya masih bisa meleset.
Mantik hadir untuk memudahkan proses berpikir dan menjadi alternatif yang paling baik. Logikanya begini, kalau ada cara efektif dan menjadikan yang bisa itu lebih efisien dan tepat, kenapa tidak dipakai kan? Logikanya jangan dibalik.
Mantik Tidak Menjamin Selamat dari Kesalahan Berpikir
Dalam buku-buku mantik, memang tidak disebut kalau orang yang belajar mantik itu pasti terjaga dari kesalahan berpikir. Nahwu juga demikian, tidak ada jaminan bahwa yang mempelajarinya pasti selamat lisannya dari kesalahan dalam bahasa Arab. Tapi, ketika ilmu itu diamalkan, maka dia akan terjaga dari kesalahan. Dalam definisi mantik pada tulisan awal, penulis sudah sempat menyinggung defnisi deskriptif (ta’rif bi al-rasm) ilmu mantik:
آلة قانونية تعصم مرعاتها الذهن من الخطأ في الفكر
Alat yang bersifat hukum-hukum yang jika diamalkan maka akan menjaga pikiran dari kesalahan berpikir.
Pada kata مراعاة, sebagian manâtiqah mengatakan kalau ini bukan qayyid (pembatas), tapi dia adalah syarat terjaganya akal dari kesalahan berpikir. Dengan kata lain, yang menjaga kita dari kesalahan berpikir itu bukan ilmu mantik, tapi ketika kita mengindahkan kaidag-kaidah berpikir itu dalam keseharian kita. Begitu juga nahwu, jika kita hanya sekedar belajar tapi tidak mengindahkan kaidah-kaidah yang ada dalam nahwu, maka kita tidak akan selamat dari kesalahan dalam berbahasa Arab.
Wallahu a’lam