“Orang bijak adalah dia yang menilai sesuatu berdasarkan sesuatu itu sendiri. Bukan berdasarkan anggapan pembenci dan pecintanya.” (Penulis)
Tidak diragukan lagi, ada sebagian saudara-saudara kita yang mengharamkan mantik atau ilmu logika, karena beberapa alasan. Di antara alasannya adalah ilmu mantik itu dicetuskan oleh seorang non-muslim, yakni Aristoteles. Karena Aristoteles merupakan seorang non-muslim, otomatis kita tidak boleh mengambil apapun yang bersumber dari non-muslim. Benarkah demikian? Mari kita bahas.
Dari paparan singkat di atas, kita bisa memetak jadi beberapa poin:
1. Ilmu mantik haram
2. Ilmu mantik dicetuskan oleh Aristoteles
3. Tidak boleh mengambil pemikiran apapun dari non-muslim
Poin pertama itu adalah hasil dari rentetan argumen yang dibangun. Maka untuk saat ini, penulis menangguhkan poin pertama. Sebab, meruntuhkan hasil tanpa meruntuhkan tiang-tiang hasil itu sia-sia. Maka, penulis akan membahas tiang-tiang yang mengantarkan kepada kesimpulan bahwa mantik itu haram.
Sedikit Tentang Mantik
Mantik itu berisi tentang hukum-hukum berpikir yang di mana hukum-hukum itu disepakati oleh manusia secara tidak langsung. Selain itu, sudah maklum bahwa kita manusia memang memiliki unsur pembeda dengan makhluk bumi lainnya, yakni berpikir. Seorang pelajar, tidak bisa dikatakan pelajar jika dia tidak belajar. Pencuri, tidak bisa dikatakan pencuri jika dia tidak mencuri. Sungguh aneh jika manusia yang dikaruniai akal sebagai identitas kemanusiaannya, tidak dia gunakan nikmat itu sebaik-baiknya. Dan kita memang tidak bisa terlepas dari tabiat berpikir kita.
Saya bisa buktikan bahwa kita tidak bisa terlepas dari proses berpikir. Misalnya, anda melintas di jalan raya dengan motor. Di jalan itu terdapat lampu merah. Setelah itu, anda berhenti. Pertanyaannya, kenapa anda berhenti? Sementara anda tidak melihat di sana tulisan berhenti, padahal anda hanya melihat lampu merah yang membisu? Jika anda mengatakan “lampu merah menunjukkan harus berhenti” sadar atau tidak, anda sedang berpikir dan menggunakan teori dalalah ghairu lafzhiyyah dalam ilmu mantik. Mengapa? Lampu merah itu sesuatu yang menunjuk (dâl) dan makna berhenti adalah sesuatu yang ditunjuki (madlûl). Atau bukti paling dekat bahwa manusia tidak lepas dari proses berpikir adalah anda sedang membaca tulisan ini. Ketika anda membaca tulisan ini, maka akal anda akan mencerna makna yang tersusun dari rentetan huruf pada teks ini.
Orang mungkin bisa menolak bagian ini. Karena bab dalâlah bukan bagian esensial dari ilmu mantik. Tapi, saya ingin tahu, bisakah orang menolak definisi? Ungkapan yang mengandung benar dan salah? Jika orang menolaknya, maka dia melanggar prinsipnya sendiri. Mengapa? Kehidupan kita tidak akan lepas dari ungkapan. Juga di bangku sekolah dan ilmu keislaman, kita belajar definisi. Ya, definisi dan ungkapan (proposisi) adalah bagian dari ilmu mantik dan sifatnya esensial. Sadar atau tidak, setiap hari kita menggunakan ilmu ini.
Tingkat kecerdasan manusia memang berbeda-beda. Tapi, ada hal-hal yang disepakati oleh akal mereka. Hal-hal yang disepakati itulah yang menjadi pembahasan ilmu mantik. Misalnya, akal manusia sepakat menolak kontradiksi, sepakat menerima kemungkinan, dan lain-lain. Artinya jika mengatakan akal sudah sepakat, secara tidak langsung manusia itu sudah sepakat di sini, termasuk yang mengharamkan ilmu ini. Karena mantik sejalan dengan akal sehat.
Produk Pemikiran dan Proses Berpikir
Kita perlu tahu sebelum jauh larut dalam poin pertama bahwa ada yang namanya produk pemikiran dan ada juga metodologi atau proses berpikir. Produk pemikiran itu seperti hasil dari pemikiran Aristoteles, Immanuel Kant, Socrates, dan lain-lain. Misalnya, Socrates berkata “Hanya satu hal yang aku tahu, bahwa aku tidak tahu apa-apa“. Ini contoh produk pemikiran. Bisa juga dibilang produk pemikiran itu “hasil dari proses berpikir”. Ini perlu digaris bawahi. Kemudian, proses berpikir tidak dimasuki oleh opini siapapun. Karena opini merupakan hasil dari proses berpikir.
Apakah produk pemikiran itu bisa salah? Ya, bisa salah, bisa juga benar. Tergantung bagaimana kekuatan argumen yang dibangun. Sebab, kebenaran itu lahir dari rahim argumen. Bagaimana dengan proses berpikir? Sederhananya, salah atau tidaknya baru bisa kita putuskan ketika sudah menjadi produk pemikiran tertentu. Karena keberpihakan seseorang atau yang memiliki pemikiran itu terletak ketika dia sudah menjadi produk pemikiran dan tidak salah selama memenuhi kaidah-kaidah berpikir. Sedangkan ketika berpikir, keberpihakan tidak ada di sana. Maka bisa dikatakan proses berpikir itu sangat netral dan sifatnya thabi’iy. Mantik masuk dalam proses berpikir.
Di seberang sana, ada yang mengatakan mantik itu produk pemikiran secara tidak langsung. Dari mana penulis tahu bahwa ada yang mengatakan demikian? Itu bisa dilihat dari cara mereka mengkomparasikan. Ada yang mengatakan mantik itu sama dengan darwinisme, marxisme, dan isme-isme lainnya. Di mana titik mereka mengatakan mantik adalah produk pemikiran? Coba cermati baik-baik, di sana ada darwinisme, marxisme, dan isme-isme lainnya. Itu semua adalah produk pemikiran, sementara mantik sama sekali tidak membahas apa itu darwinisme, atheisme, dan lain-lain. Karena mantik adalah metodologi atau tata cara berpikir yang benar.
Kenapa menulis komparasi itu? Sebab, membandingkan dua hal yang berbeda itu bathil. Misalnya saya bertanya “mana yang besar? Semut besar atau gajah kecil?” Tentu ini keliru, sebab semut dan gajah itu berbeda dan porsi yang digunakan untuk mengukurnya juga berbeda. Contoh lain “yang berjuang di abad 20 itu, Yang Mulia Nabi Muhammad apa Ir Soekarno?” Ini juga jelas cacat logika. Sebab membandingkan dua hal yang berbeda. Soekarno punya porsi dan ruang tersendiri diukur jasanya, begitu juga Nabi Muhammad Saw. Di mana titik kecatatannya? Bagaimana mungkin kita bisa menyamakan dua hal yang sudah seharusnya tidak sama? Dengan pertanyaan lain, bagaimana mungkin akal kita bisa menerima dua hal yang berbeda dikatakan sebagai sesuatu yang sama?
Dicetuskan Oleh Aristoteles
Sebenarnya Aristoteles (384-322 SM) itu adalah orang mengkodifikasi ilmu mantik, bukan orang yang menginovasi. Orang yang menginovasi adalah Socrates (470-399 SM) yang di mana mereka sama-sama hidup pada masa sebelum Nabi Isa As. diutus, yakni abad-abad sebelum Masehi.
Tentu arah anggapan ini mengarah ke pengharaman ilmu mantik. Mengapa? Karena ilmu mantik sudah sejak awal dianggap sebagai produk pemikiran, bukan dianggap sebagai metodologi berpikir. Padahal, ilmu mantik sejatinya metodologi berpikir karena membahas proses berpikir agar menghasilkan konklusi atau kesimpulan yang selamat dari kesalahan. Bukan produk pemikiran yang berisi opini-opininya Aristoteles atau keyakinan-keyakinan dari Yunani beserta opini orang Yunani lainnya.
Ilmu mantik itu -sekali lagi- hukum-hukum yang digunakan untuk menghindarkan dari kesalahan berpikir. Hukum-hukum itu bukan berasal dari opini Socrates, Plato, maupun Aristoteles. Tapi, hukum itu dibentuk berdasarkan kesepakatan akal manusia secara tidak tertulis. Misalnya, “dua hal yang kontradiktif, tidak bisa menyatu”. Contohnya, orang mati sekaligus tidak mati. Orang jumud sekaligus tidak jumud. Itu semua contoh-contoh yang tidak bisa diterima oleh akal sehat siapapun di dunia ini.
Kita tidak bisa menyalahkan suatu ilmu hanya karena penemunya orang non-muslim, kita bisa kembali merenungkan tiga poin berikut yang terdapat dalam Hasyiyah ‘Ali Qasshar ‘ala Syarh Al-Bannaniy li Al-Sullam:
1. Hal-hal yang bersifat rasional itu dibuktikan kebenarannya melalui dirinya sendiri, bukan melalui siapa yang mengatakannya. Dan membuktikan kebenarannya tidak dibutuhkan untuk mengetahui penemunya, kecuali sekedar menambah pengetahuan seputar teori itu.
2. Sesuatu yang dinukilkan itu dinisbatkan kepada yang memiliki riwayat itu, dalam hal ini adalah Aristoteles. Karena ini merupakan amanah ilmiah. Maka sudah seharusnya kita mengenal siapa penemunya dan seperti apa keadaannya. Karena siapa yang berpegang kepada suatu riwayat lalu tidak mengetahui keadaan yang menemukan atau punya riwayat, ia laksana bangunan tapi tidak ada pondasinya.
3. Ilmu yang terdiri dari aspek riwayat dan rasional, maka kecacatan pada aspek riwayat itu lebih. (Dengan kata lain, pembuktikan kebenaran suatu ilmu itu melalui aspek rasionalitas, dengan dirinya sendiri. Bukan dengan melihat siapa yang menjadi pencetus teori itu).
Dengan ringkasan yang lebih sederhana, tugas orang yang menjadi peletak dasar dalam suatu ilmu itu menceritakan atau menghikayahkan ilmu itu saja. Karena ilmu itu membutuhkan kodifikasi agar bisa tersusun dengan rapi dan bukan berarti sebelum dikodifikasi, ilmu itu belum ada. Ilmu ushul fikih misalnya, sebelum dikodifikasi oleh Imam Syafi’i, ushul fikih secara praktik itu sudah ada. Sebagaimana teori gravitasi, sebelum ditemukan Issac Newton, gravitasi sendiri itu sudah ada. Dan satu hal yang perlu penulis tegaskan bahwa peletak dasar bukanlah pemilik ilmu. Sebab, dia tidak menginovasi tapi mengkodifikasi. Karena ilmu pada dasarnya bukan milik manusia, dia hanya menggunakan ilmu itu. Maka, kita tidak bisa menerima kepemilikan manusia terhadap ilmu. Lantas kenapa kita mengatakan mantik ini dibuat-buat oleh orang Yunani?
Mengambil Ilmu dari Non-Muslim itu Membahayakan Akidah
Dr. Abdul Ghaffar Abdurra’uf dalam bukunya Khulâshah Al-Qawâ’id Al-Manthiqiyyah, memberi jawaban atas tuduhan ini. Beliau memberi setidaknya ada tiga:
- Pertama, jika kita mengatakan ilmu tertentu itu milik Yahudi dan Nasrani, maka orang Yahudi dan Nasrani mempelajari ilmu kita, seperti nahwu, fikih, dan lain-lain. (Buktinya, kita bisa menemui tudingan mereka yang tidak-tidak terhadap Islam dalam berbagai karya ilmiah. Seandainya kita tidak mempelajari ilmu mereka, maka kita tidak bisa membela diri dari tuduhan-tuduhan itu. Juga, ini menunjukkan bahwa kita mundur dalam berpikir).
- Kedua, kemuliaan suatu ilmu tidak terletak pada siapa yang mengkodifikasi ilmu itu. Tapi, terletak pada objek kajian dan tujuannya. Juga, seandainya kita masih bersikeras dengan kehinaan ilmu sama dengan peletaknya, maka kita harus membaca sejarah bahwa yang menemukan pondasi dasar ilmu kedokteran, astronomi, dan matematika adalah orang non-muslim, bahkan dari peradaban Yunani juga. (Semisal, matematika diletakkan dasarnya oleh Phytagoras (570-495 SM). Sedangkan Nabi Muhammad Saw. diutus pada tahun 571 M. Tentu kita terlalu naif jika menafikan seluruh ilmu sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Karena yang harusnya kita lakukan adalah mendatangkan hal-hal baru yang tidak dilakukan atau melampaui orang di masa itu, sebagaimana para Nabi mendatangkan mukjizat pada masanya, tanpa menafikan kemajuan-kemajuan yang ada waktu itu. Bukannya malah mematikan peradaban dan pengetahuan yang ada).
- Ketiga, seharusnya kita juga mengatakan kepada semua orang bahwa mereka itu harus meninggalkan penemuan-penemuan yang sifatnya material, karena dibuat oleh Yahudi dan Nasrani. Tapi, seandainya kita mengatakan itu kepada orang, tentu saja mereka akan lebih memilih mengikuti hawa nafsunya dan tabiatnya, yakni memilih sesuatu yang memudahkan, bukan yang menyulitkan. (Semua orang tahu, kalau penemuan orang Yahudi dan Nasrani, tidak harus berkaitan dengan keruntuhan akidah, apalagi jika penemuan itu sifatnya material. Penemuan itu berangkat dari hasil berpikir mereka, karena perbuatan dan inovasi itu berangkat dari pemikiran).
Selain menilik ketiga poin ini, kita perlu melihat aspek historis dari ilmu ini. Sebab, hukum itu tidak kaku. Tapi, dinamis bersamaan dengan bergeraknya zaman. Secara ringkas, aspek historis kita bisa dapatkan sepatah kata dari Dr. Ibrahim Madkur pada mukaddimah buku Al-Syifâ’ karya Ibnu Sina. Beliau menjelaskan kalau pada abad kedua dan ketiga Hijriah, umat Islam sibuk dalam mentransfer ilmu yang ada di negeri ajam (non-Arab) dan memahami ilmu-ilmu tersebut. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, di abad keempat, proses ajar-mengajar ilmu ini semakin pesat. Memang benar, pada fase ini ilmu mantik masih terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran Yunani dan implikasinya bisa berbahaya jika didalami.
Tapi, bagian yang hampir dilupakan adalah fase pembersihan pemikiran Yunani itu. Ini sudah dilakukan oleh Imam Al-Ghazali dan ada dua karya beliau yang menjadi saksi akan hal ini, yakni Mi’yar Al-‘Ilm dan Mihak Al-Nazhr. Bahkan tidak segan-segan, Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustahfa mengatakan:
علم المنطق مقدمة العلوم كلّها ومن لايحيط بها… فلا ثقة له بعلومه أصلا
Ilmu mantik merupakan pengantar semua ilmu. Barangsiapa yang tidak mendalaminya, maka keilmuannya patut dipertanyakan.
Di sini jelas bahwa urgensi ilmu mantik itu tidak perlu diragukan lagi, karena dia merupakan ilmu yang mengukuhkan intelektualitas dan rasionalitas manusia. Juga ilmu mantik, tidak menjerumuskan kita dalam kesalahan berpikir, tapi menyelamatkan kita dari kesesatan yang gelap gulita. Seandainya ilmu mantik ini buruk secara esensial, untuk apa ulama sampai menuliskan berjilid-jilid kitab ilmu dan mengkomprikannya dengan ilmu-ilmu keislaman?
Ulama itu sudah tahu kalau ilmu ini sempat terkontaminasi dengan syubhat dan pemikiran Yunani, maka fase pembersihan itu ada. Belakangan datanglah karya-karya mantik yang bersih dari pemikiran Yunani seperti Al-Syamsiyyah karya Imam Al-Kattani Al-Quzwini, Isaguji karya Imam Atsiruddin Al-Abhari, Sullam Al-Munawraq karya Imam Al-Akhdari dan lain-lain. Selain itu, ilmu ushul fikih dan nahwu pun hari ini tidak terlepas dari ilmu mantik.
Jadi, di mana titik keharaman ilmu ini? Tolong beritahu saya.
Wallahu a’lam


