Dalam kajian ilmu logika, ada sebuah istilah yang familiar, yaitu logical fallacy atau dalam bahasa Arab, mughalathah yang berarti sesat pikir. Sesat pikir itu sudah sejak dari awal tidak bisa kita terima dan tidak bisa kita jadikan pegangan untuk berargumen. Seperti kata Dr. Fahruddin Faiz, memang manusia memiliki satu kekuatan, yakni kekuatan akal yang selalu mereka bangga-banggakan. Tapi, tetap saja akal itu memiliki kelemahan, seperti logical fallacy ini.
Kalau kita membaca deretan tuduhan terhadap Islam misalnya, kita akan menemukan tuduhan dengan memukau. Tapi, Islam memiliki para logikawan yang selalu ada di baris paling depan untuk menghadang tuduhan-tuduhan itu dengan argumen-argumen mereka yang tak kalah hebat. Tuduhan itu memang terlihat sekilas benar, tapi isinya salah. Inilah yang kita kenal dengan syubhat. Ketika syubhat ini diuji lagi, maka kita akan menemukan kesesatan berpikir, inilah yang dinamakan fallacy. Disebut syubhat fallacy karena syubhat ini memuat kesalahan-kesalahan berpikir. Tentunya, syubhat itu tidak sebatas tuduhan kepada Islam saja, tapi antar ilmu dan golongan itu ada.
Para ulama mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menguji kebenaran argumen tanpa memandang siapa yang mengatakan. Karena keputusan kita salah atau benar itu lahir dari rahim argumen, bukan dari orang tertentu. Syubhat ini kita uji tanpa kita memandang siapa yang bilang, tapi murni syubhat itu sendiri. Berikut contoh-contoh syubhat fallacy yang dilontarkan kepada kaum beragama.
Taruhlah ada yang mengatakan bahwa alam itu tercipta dari dirinya sendiri. Karena alam tercipta dari dirinya sendiri, bisa disimpulkan bahwa alam ini tidak diciptakan. Tapi bagaimana cara melihat kelemahan argumen ini? Kita bisa melihat pada “alam tercipta dari dirinya sendiri”. Kelaziman dari kalimat ini adalah “alam itu bermula dari ketiadaan” dan “alam itu pernah mengalami ketiadaan”. Itu bisa kita tangkap dari kata “tercipta”.
Ketika kita mengatakan “tercipta” maka ada yang menciptakan. Akal tidak bisa menerima ada perbuatan tanpa ada pelaku. Perbuatan “cipta” jelas ada pelakunya, yakni alam itu sendiri menurut pendapat ini. Kalau kita cermati, ada bentuk kesesatan berpikir di sini. Tentunya bisa kita temukan jika kita memperhatikan dengan teliti.
Ketika saya mengatakan “saya menciptakan gelas” maka sebelumnya gelas ini tidak ada lalu menjadi ada dan sebelum gelas ini ada, dia tidak bisa memberi dampak apapun (ta’tsir). Begitu pula, ketika saya mengatakan “orang itu menciptakan matahari buatan” maka jelas orang ini duluan ada daripada ciptaannya. Jadi, dari contoh ini bisa kita tarik satu benang merah bahwa pelaku dari penciptaan ini harus duluan ada daripada ciptaannya sendiri.
Sekarang, kita coba uji pada kalimat “alam itu menciptakan dirinya sendiri”. Kita bisa menentukan bahwa pelaku dari penciptaan ini adalah alam sedangkan objeknya adalah alam juga. Pada dua contoh di atas juga, kita sudah bisa bersepakat bahwa pelaku dari perbuatan cipta ini harus lebih duluan ada daripada objek ciptaannya dan sesuatu yang tidak ada, tidak dapat memberi dampak. Bagaimana mungkin alam yang tidak ada itu melakukan perbuatan cipta terhadap dirinya sendiri yang katanya tidak ada? Dengan kata lain, ketika alam itu belum ada, para pengingkar Tuhan mengatakan bahwa alam itu melakukan penciptaan terhadap dirinya, sementara itu alam yang melakukan penciptaan terhadap dirinya sendiri itu tidak ada. Di sini terdapat kontradiksi, yaitu ingin mengatakan alam sebagai sesuatu yang ada sekaligus tidak ada. Bagaimana akal kita menerima itu? Ini kemungkinan pertama. Kedua, bagaimana sesuatu itu menciptakan dirinya sendiri yang belum ada?
Itu contoh yang kerap kita dapatkan di dunia pemikiran, khususnya pendapat para pengingkar Tuhan. Kalimatnya secara sekilas menarik, tapi di saat bersamaan kita bisa meninjau isi kalimat itu dengan teliti dan ternyata ada kerancuan. Begitulah syubhat fallacy.
Contoh lain, misalnya ada kelompok yang menuduh Asy’ariyyah meyakini Tuhan ada di mana-mana dan di saat bersamaan Asy’ariyyah itu meyakini Tuhan bertempat. Padahal Asy’ariyyah itu mengingkari jika Tuhan bertempat, sedangkan di sisi ini Asy’ariyyah meyakini Tuhan bertempat. Dengan kata lain, kelompok ini ingin mengatakan bahwa Asy’ariyyah itu berisi kontradiksi dan kontradiksi itu meniscayakan ada kesalahan di sana. Apakah klaim itu benar? Tentu kita harus mengujinya.
Kalau kita membuka kitab-kitab seperti Kharidah Al-Bahiyyah, Silsilah Al-Sanusiyyah, Syarh Al-Mawâqif, Syarh Al-Maqâshid, Al-Qaul Al-Sadîd, Abthar Al-Afkâr, dan lain-lain yang merupakan kitab pegangan dalam madzhab Asy’ariyyah, tentu kita akan menemukan bahwa Tuhan itu tidak bertempat. Mengapa? Jika Tuhan bertempat, sebagaimana kata Imam Al-Ghazali ada tiga hal yang terjadi. Pertama, Tuhan lebih kecil daripada tempat itu, maka ada yang lebih besar daripada Tuhan. Kedua, tempat itu sama besar dengan Tuhan, maka ada yang setara dengan Tuhan. Ketiga, Tuhan lebih besar daripada tempat, maka ini mustahil. Selain itu, Asy’ariyyah sendiri memiliki teori sifat dua puluh yang salah satunya adalah Tuhan itu suci dari sifat makhluk dan kebertempatan adalah sifat makhluk. Maka Tuhan tidak bertempat.
Dalam istilah para logikawan, ada yang disebut dengan strawman fallacy. Maksudnya, itu adalah jenis kesalahan berpikir di mana pelakunya memiliki kesalahpahaman tentang sesuatu lalu mengkritisi kesalahpahaman yang dia sendiri ciptakan tentang sesuatu yang lain. Seperti kelompok yang menuduh Asy’ariyyah tadi, mereka mengatakan kalau Asy’ariyyah itu meyakini Tuhan di mana-mana, padahal pemahaman seperti itu tidak ada di dalam tubuh Asy’ariyyah. Lalu, mereka mengkritisi pemahaman “Tuhan di mana-mana” yang merupakan kesalahpahaman yang mereka sendiri ciptakan. Ibaratnya musuh ada di Barat, tapi tembakannya ke arah Timur.
Hal seperti ini bisa terjadi karena beberapa hal. Misalnya saja karena mengambil sumber dari tempat yang tidak bisa dipercaya, baik dari kalangan pembenci maupun pecinta yang fanatik. Bisa juga karena kesalahpahaman itu dibuat-buat untuk menciptakan false flag. Apa itu false flag? Sederhananya, ini seperti melempar batu sembunyi tangan lalu mencari kambing hitam lain.
Contoh sederhana dari false flag itu sendiri, ada kelompok yang tidak suka dengan Islam. Tapi, mereka tidak bisa menyerang Islam tanpa ada sebab. Maka mereka menciptakan kelompok teroris atas nama Islam agar orang mengira Islam adalah agama ekstrim. Akhirnya, orang yang tidak tahu apa-apa tentang Islam, muncul tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, semisal Islam itu tidak manusiawi, Islam itu agama teroris, dan lain-lain. Ini juga termasuk syubhat fallacy, karena mereka menuduh Islam melalui sesuatu yang bukan dari Islam. Mereka mengatasnamakan itu ajaran Islam, padahal sejatinya paham terorisme itu bukan dari Islam. Bagaimana mungkin akal kita bisa menerima ada sesuatu yang bukan esensi dari sesuatu itu, lalu sesuatu itu disandarkan kepada esensi itu? Dengan bentuk pertanyaan lain, bagaimana mungkin kita bisa menerima sesuatu yang bukan ajaran Islam dikatakan sebagai ajaran Islam?
Ada satu kaidah pokok dalam berpikir yang disepakati oleh akal kita. Itu disebut dengan law of identity (qânun al-huwiyyah). Apa itu? Bisa kita sebut dengan hukum identitas, kita mengatakan A itu sebagai A. Karena A bukan B. Misalnya, kipas angin. Kita tidak bisa katakan kipas angin itu adalah lemari. Karena jelas, kipas angin dan lemari itu dua hal yang memiliki identitas yang berbeda. Akal kita tidak bisa menerima bahwa kipas angin adalah lemari. Mengapa? Sekali lagi, itu dua hal berbeda. Kipas angin ya kipas angin. Lemari ya lemari. Seperti tuduhan-tuduhan yang berkeliaran tadi, yang bukan ajaran Islam, dikatakan sebagai ajaran Islam. Yang bukan paham Asy’ariyyah, disebut-sebut sebagai paham Asy’ariyyah. Begitu juga isu-isu lainnya.
Orang yang melanggar kaidah ini, disebut oleh para logikawan dengan qalb al-haqâ’iq. Qalb berarti memutarbalikkan. Haqâ’iq merupakan bentuk jamak (plural) dari haq yang berarti kebenaran. Sederhananya, qalb al-haqâ’iq itu memutarbalikkan kebenaran. Di mana yang seharusnya A dikatakan sebagai B. Yang bukan ajaran Islam, dikatakan sebagai ajaran Islam, dan lain-lain. Tentu kita tidak bisa menerima dan menolak keras tuduhan-tuduhan yang bersumber dari kesalahan seperti ini.
Pada syubhat-syubhat lain akan kita temukan seperti ini. Sejauh ini, saya menemukan bahwa syubhat selalu berputar pada fallacy saja. Kalaupun syubhat itu tidak bersumber dari fallacy, palingan bersumber dari kedangkalan dalam memahami sesuatu. Misalnya saja membaca Al-Qur’an melalui terjemahan, lalu menyimpulkan kalau dalam Al-Qur’an ada kontradiksi karena dari sekilas pemahamannya melihat pada terjemahan Al-Qur’an itu ada kontadiksi. Padahal, ulama sudah jauh-jauh hari membahas isu kontradiksi Al-Qur’an dan sudah kelar. Salah satu risalah tipis yang membahasnya adalah tulisan Prof. Dr. Imarah (Pemikir Al-Azhar) yang berjudul Hal fi Al-Qur’an Tanaqudhât? (Apakah dalam Al-Qur’an terdapat kontradiksi?).
Selain itu, syubhat juga bisa melayang karena orang terlalu cepat menyimpulkan dan menggugurkan salah satu statement yang sekilas kelihatan kontradiksi. Ini sudah saya bahas pada salah satu tulisan.
Bagaimana cara agar kita bisa membela diri dari syubhat fallacy ini? Sederhananya, kita bisa membela diri dengan cara mempelajari secara mendalam apa yang kita bela dan selalu menganalisis setiap statement yang keluar dari lisan orang lain. Karena setiap perkataan orang punya potensi diterima atau tidak.
Wallahu a’lam