Sudah bukan rahasia umum lagi kalau ada sebagian orang yang memahami teori, tapi tidak tahu menempatkan teorinya pada tempat yang tepat. Kadang saya merasa kesal. Di sisi lain saya sadar memberi tahu orang berilmu bukan marah, tapi dengan ramah. Sebab, akalnya sudah mampu menerima informasi argumentatif dan emosinya bisa dia kelola. Maka di tulisan ini saya akan membahas contoh-contoh meletakkan ilmu dan realita.
Misalnya saja, ada teori yang mengatakan bahwa perjalanan dari kota A menuju kota B itu memakan waktu sekitar dua jam. Tapi, kenyataannya ada orang yang memulai perjalanan dari kota A menuju kota B itu lewat dari dua jam, sesuai teori itu. Apakah teori itu salah karena tidak sesuai realita? Tentu tidak. Sebab teori dirumuskan berdasarkan pengalaman sang pembuat teori atau berdasarkan kemungkinan yang ada. Ini jelas tidak membatalkan realita milik si pembuat teori, karena realita yang dia alami itu benar terjadi. Juga tidak membatalkan kemungkinan itu. Sebab, kemungkinan itu bisa A, bisa juga B. Kalau A yang terjadi, itu tidak membatalkan mungkinnya terjadi B. Karena untuk menjadi mungkin, tidak harus terjadi.
Kita kembali lagi melihat dua orang yang memiliki realita yang berbeda. Orang yang pergi ke kota B dengan durasi dua jam dan orang yang pergi ke tempat yang sama itu pasti memiliki perbedaan. Sebutlah orang pertama itu ada di realita A dan orang kedua ada pada realita B. Realita A ini, bisa saja memiliki kecepatan lebih daripada orang yang ada di realita B. Orang di realita A ini bisa jadi naik motor dengan kecepatan 100 km/h, sedangkan orang di realita B itu berjalan dengan kecepatan 60 km/h. Atau, kemungkinan lainnya, mereka berdua ada dalam kecepatan yang sama, tapi si B dapat hambatan di jalan, entah macet atau singgah di sebuah tempat. Jelas hasilnya berbeda.
Melihat kasus di atas, berarti orang yang ada di realita B ini tidak boleh menyalahkan orang yang berada di realita A. Sebab mereka memiliki perbedaan. Juga, teori yang disusun berdasarkan realita A tidak bisa dibatalkan dengan adanya orang di realita B. Sebab, sudut pandang atau kacamata dalam melihat teori itu sudah berbeda. Yang namanya sudut pandang berbeda, itu tidak bisa memunculkan kontradiksi walau kesimpulan dari dua kasus (realita A dan B) itu seketika dilihat saling bertabrakan. Tapi untuk mengatakan A dan B itu benar-benar bertabrakan sampai-sampai harus membatalkan salah satunya, harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya harus sama sudut pandangnya. Tapi, nyatanya, A dan B ini punya sudut pandang berbeda. Sehingga bagi orang yang berada pada realita B tidak membatalkan teori A, lebih tepatnya dia tidak memakai teori A karena tidak relevan dengan realitanya. Tapi, dia menggunakan teori yang belum tertulis dan belum ada sebelumnya untuk mencocokkan dengan realitanya. Yaitu, perjalanan dari kota A ke kota B bisa lewat dari dua jam dengan kecepatan sekian dan hambatan sekian. Bahkan, orang yang berada dalam realita B bisa mengkompromikan teorinya dengan teori yang dirumuskan oleh orang yang berada pada realita A.
Contoh lain, ada misalnya teori yang mengatakan “diam itu lebih baik”. Maka konsekuensi dari teori ini, orang yang berbicara itu tidak lebih baik daripada orang yang diam. Alasannya, orang yang diam itu banyak mendengar misalnya. Tapi, ada satu keadaan di mana teori itu bertentangan dengan realita, misalnya saja ada orang yang menganut teori ini, kemudian hanya dia saja yang mengetahui informasi penting yang menjadi topik pembicaraan pada saat itu juga, anggaplah itu rapat tingkat internasional. Kemudian kita melihat lagi teori itu, apakah diam itu baik dalam keadaan ini? Tentu lebih baik jika dia bicara. Karena jika dia diam lalu dia tahu sesuatu yang sangat penting, maka maslahat yang harusnya bisa didapatkan saat dia bicara itu, tidak didapatkan. Mengapa? Karena dia diam, tidak membuka peluang terjadinya maslahat itu.
Nah, dari kasus ini memang ada teori dari orang tertentu yang mengatakan diam itu baik, tentunya kita harus melihat realita. Karena ada saat di mana berbicara itu diperlukan dan malahan jika dia diam, itu hanya akan memperkeruh atau memperburuk suasana. Sekali lagi, karena keadaan atau realita itu mendorong dia menggunakan teori yang lebih relevan, yakni harus berbicara di saat terdesak, maka dia harus menggunakan itu. Di sinilah tindakan mendudukkan teori dan realita dilakukan.
Misalnya lagi, ada teori mengatakan “maksiat harus dihilangkan”. Ya, teori ini sah dan sebagai umat beragama, pasti kita menerima ini. Tapi, bagaimana misalnya ada orang ingin menghilangkan kemaksiatan itu dengan cara yang ekstrim? Semisal ingin membunuh si pelaku maksiat? Tentu akal sehat dan tujuan-tujuan syariat akan menolak itu. Mengapa ditolak? Padahal orang ini ingin mengamalkan teori itu loh. Jawabannya, ya dia memang ingin mengamalkan teori itu tapi caranya bertabrakan dengan realita dan melupakan sudut pandang yang lain. Seperti kaidah ushul fikih bahwa sebuah kerusakan tidak dihilangkan dengan kerusakan yang lain. Mengapa? Ibaratnya, dia sudah menggali lubang, malah menutup lubang lagi. Dengan kata lain, perbuatannya sia-sia.
Tindakan yang bijaksana pada keadaan ini adalah mengharmonisasikan antara teori itu dan realita. Semisal dia ingin menghilangkan maksiat, tapi tidak sampai merusak atau memicu keributan. Ya, sudah menjadi rahasia umum, ada yang memancing perbuatan-perbuatan anarki dengan dalih ingin menghilangkan kemungkaran. Niatnya benar, tapi caranya perlu diperbaiki lagi. Mengapa? Tentu kita harus mewujudkan sebuah maslahat dengan cara yang bermaslahat juga, bukan dengan cara merusak. Bagaimana caranya mewujudkan suatu kemaslahatan lewat kerusakan? Kurang lebih demikian logikanya.
Mengapa mendudukkan teori atau ilmu dengan realita itu penting? Kalau kita berpikir bahwa ilmu tujuannya tidak membuat kita kaku, tapi ilmu itu membuat kita mengalir seperti air, maka kita akan mengatakan ini sangat penting. Kita bisa melihat di sekitar kita, apa yang kira-kira terlintas di pikiran kita jika kita melihat ada orang hidupnya kaku dan konservatif gara-gara terdistrak dengan teori yang dia pelajari? Kurang lebih kita akan mengatakan kalau dia itu kaku, tidak asyik, kurang mengenakkan, kurang luwes, dan lain-lain. Bisa saja akan muncul stereotip kalau belajar itu hanya akan membuat orang kaku, asing dengan realita dan pergaulan, dan lain-lain. Akhirnya, orang tidak tertarik lagi untuk belajar dan mencoba hal-hal baru.
Selain itu, kita bisa melihat dengan kedua bola mata kita sendiri kalau yang dinilai pertama-tama oleh orang itu adalah perbuatannya yang zahir, bukan konsep yang dia bangun. Ke-kaku-an dan sikap puritan itu tidak disukai oleh siapapun. Mengapa? Karena secara tabiat sebagai manusia yang berakal, tentu saja mengalir seperti air dalam realita adalah hal yang wajar bagi kita semua. Dan kalau kita bijaksana dalam bersikap, tentu sikap kita akan seperti air itu dan luwes dengan sekitar kita.
Penulis ingin menegaskan satu hal bahwa benar belum tentu bijaksana, tapi bijaksana sudah pasti benar. Kita perlu membiasakan kebenaran, bukan membenarkan suatu kebiasaan.
Wallahu a’lam