Jakarta, 3 Januari 2021 – Dia Pergi (bagian 1)
Bandara selalu ramai. Ada yang pergi dan ada yang kembali. Pelatarannya selalu hangat dengan pelukan. Baik pelukan perpisahan, maupun pelukan kerinduan. Tidak ada yang akan baik-baik saja ketika dihadapkan dengan perpisahan, sebaik apa pun kita mempersiapkan.
“Nak Adel, 5 menit lagi semuanya berkumpul di Gate yah. Sebentar lagi kita check-in”, kata Ustadz Jefri selaku ketua rombongan mahasiswa baru yang akan berangkat ke Madinah.
Adel menganggukkan kepalanya. Dia tahu apa yang seharusnya dilakukan sekarang. Sadar kalau momen yang selama ini dia hindari akan segera terjadi.
Sebenarnya gadis berwajah cantik itu merasa berat hati untuk pergi. Ingin terus menemani ibunya di rumah. Bangun dan tidur bersama wanita terkasih setiap hari. Dua tahun lalu, ayahnya berpulang ke pangkuan Tuhan. Hati Adel seperti disayat belati sehingga membuat hari-harinya terasa sangat hampa di asrama. Sekarang, si bungsu itu hanya memiliki ibu yang sebentar lagi akan ditinggalkan.
Adel memeluk ibunya sangat erat. Tangisnya pecah. Air matanya mengalir amat deras. Padahal baru beberapa menit lalu aliran air mata itu kering dari pipinya yang lembut. Belum juga hilang isak tangis ketika dia bersujud dan mencium kaki ibunya di rumah, sesaat sebelum berangkat ke bandara.
Sungguh tidak ada yang peduli dengan air mata. Perpisahan ini sangat berat untuk dilalui. Adel masih tenggelam dalam pelukan. Ibunya juga menangis sejadi-jadinya hingga membuat baju seragam anaknya basah oleh air mata.
“Adel, anakku sayang. Jaga diri baik-baik ya nak. Makan yang teratur, jangan terlambat. Jangan suka begadang atau makan mie instan, itu tidak baik untuk kesehatanmu. Bertemanlah dengan baik. Cari teman yang bermanfaat bagi kamu. Tidak perlu banyak, yang terpenting kalian bisa saling membantu ketika kesulitan. Kamu di sana belajar yang tenang, ga usah terlalu mikirin ibu atau yang lain-lain. Terakhir, selalu ingat Allah dan jaga sholat ya anak. Semoga.. Yang Maha Kuasa masih memberi kesempatan untuk kita bertemu kembali di dunia ini”. Adel hanya menganggukkan kepalanya tipis. Mulutnya bungkam. Tidak mampu mengucap kata. Terpaku mendengar kalimat terakhir dari nasihat sang ibu.
Setelah memeluk ibu, gadis bungsu itu berpamitan kepada Mas Andi, kakak kandungnya. Berpelukan erat.
“Sering-sering mengirim kabar ya, dek. Kalo ada apa-apa, langsung beri tahu Mas aja”
Lalu memeluk Teh Rika, kakak ipar yang juga akrab dengannya. Kemudian mencium pipih Azka, keponakan kecil lucu yang selalu menghibur hari-harinya.
“Azkaa, Kakak Adeel pergi dulu yaa,” berpamitan dengan tersenyum manis kepada Azka walaupun matanya masih merah membengkak.
“Ati-Atii Kakak Adeel. Nanti kalo kakak pulang, bawain Azkaa permen coklat sama mobil-mobilan yaaa,” bocah polos berumur lima tahun itu melambaikan tangannya.
Dua jam kemudian, pesawat itu terbang menelisik angkasa, berangkat dari Jakarta menuju Jeddah dengan membawa Adel beserta tiga puluh orang mahasiswa baru Universitas Islam Madinah.
Madinah, 7 April 2021 – Lima Bulan Sebelum Kejadian
“Masya Allah, maa ismuk, habibtii?”
“Ana Adelia Salsabila yaa Dukturoh.”
“Ahsanti habibtii, Barakallah fiik”
Gadis cerdas bermata bulat itu membuat dosennya terkesan. Dia mampu menjelaskan makna hadis tentang niat dalam kitab Al-Arbain An-Nawawi. Adel merasa sangat beruntung hari itu karena bisa menjawab pertanyaan dosen yang dilontarkan kepadanya. Padahal pada hari-hari biasa, kepalanya terasa seperti akan meledak setiap kali mengikuti kuliah di kampus.
Tiga bulan bukanlah waktu yang cukup untuk terbiasa dengan bahasa arab. Adel belum mampu memahami semua perkataan dosen yang seharian menjelaskan pelajaran dengan Bahasa Arab. Tidak jarang kepalanya terasa akan pecah. Terlebih lagi, bahasa yang digunakan di Madinah ternyata berbeda dengan bahasa arab yang Adel pelajari dan kuasai di pondok pesantren.
Hal ini tidak pernah ia duga akan terjadi. Dan jelas, ini merupakan hal yang berat baginya. Namun ketika cobaan itu berat, bukan berarti mustahil untuk melewatinya.
Ala bisa karena biasa. Adel sangat yakin dengan peribahasa itu. Dibalik tekadnya yang keras, dia percaya bahwa cobaan itu semakin lama akan semakin ringan. Dia percaya bahwa semakin lama, dia semakin menguasai bahasa orang Madinah.
Jadwal kegiatan Mahasiswa UIM (Universitas Islam Madinah) memperlakukan Adel dengan ‘kejam’. Teramat sangat padat. Kegiatan penuh dari bangun tidur sampai tidur lagi. Bangun salat berjamaah, lanjut mengikuti kajian Subuh bersama Syekh. Pagi-pagi harus kuliah sampai menjelang sore. Selepas kuliah, Adel setiap hari pergi berjalan kaki sejauh 2 Km untuk menghadiri kajian lain bersama Syekh. Kemudian setelah magrib, perempuan itu biasanya mengendarai bus menuju Masjid Nabawi. Shalat Isya berjamaah lalu mengulang-ulang hafalan Al-Quran. Nanti setelah jam sepuluh malam baru dia kembali ke asrama untuk istirahat.
Benar-benar jadwal yang padat nan melelahkan.
Hingga pada hari Jumat subuh, ketika dia terbangun dari tidurnya. Berita itu datang. Sungguh itu bukanlah waktu yang tepat bagi Adel untuk mendengar berita itu. Mas Andi memang ragu untuk memberi tahu Adel tentang ini. Khawatir kalau pikiran adik perempuan satu-satunya itu akan berantakan setelah ini. Tapi walau ini berita buruk, Adel berhak tahu. Sebelum semuanya terlambat, sekarang Mas Andi harus memberi tahu adiknya bahwa sang ibu jatuh sakit.
“Assalamualaikum, adikku yang cantik. Semoga kamu selalu sehat di sana. Kami selalu mendoakan yang terbaik untukmu di sini. Terutama Ibu. Setiap sudah shalat, beliau selalu mengangkat tangan berdoa agar Allah menjaga dan memberikan kamu semangat yang besar. Tapi saat ini, Ibu sedang sakit. Dokter memvonis kanker hati stadium II. Sebenarnya Ibu sudah tinggal di rumah sakit sejak sebulan yang lalu. Mas Andi sama Teh Rika bergantian menemani Ibu di rumah sakit. Tapi syukurlah, ini tidak terlalu buruk, dik. Kata dokter, kanker stadium II ini masih bisa diusahakan untuk sembuh. Walaupun harus melewati pengobatan, operasi, dan terapi dalam jangka waktu yang panjang. Insya Allah, kalau Ibu rutin melakukan perawatannya, beliau akan kunjung membaik dan sembuh. Untuk biayanya, akan Mas usahakan. Jangan terlalu khawatir. Cukup doakan ibu setiap setelah shalat di tanah yang suci di sana. Semangat ya, adikku. Semoga kamu sehat selalu. Wassalamualaikum.”
Mata Adel berair setelah membaca pesan panjang itu. Ternyata Mas Andi juga tidak sanggup untuk mengatakannya secara langsung.
Hari Jumat seharusnya menjadi hari yang cukup menyenangkan bagi Adel. Satu-satunya hari dalam sepekan yang jadwalnya sangat longgar. Semua kegiatan belajar formal diliburkan. Tidak ada kuliah dan tidak ada kajian di hari Jumat.
Seharusnya Adel bisa bersantai di hari Jumat. Rebahan sepanjang hari di kamarnya. Tapi semua itu tidak mungkin terjadi setelah Adel tahu kalau ibunya sedang sakit. Mana mungkin Adel bisa setenang itu. Tanpa pikir panjang, subuh itu juga dia mengambil sajadah putih pemberian ibunya lalu pergi ke masjid Nabawi untuk salat subuh berjamaah. Lalu kemudian berzikir dan berdoa untuk kesembuhan ibunya sepanjang hari. Memohon kepada Allah untuk kesembuhan wanita terkasihnya. Satu-satunya orang tua yang dia harap bisa melihat kesuksesannya di masa depan.
Adel tahu kalau kanker hati bukanlah penyakit sepele. Meski sekarang belum sepenuhnya parah. Stadium II berarti kanker hati itu masih bersifat lokal, belum menjalar ke organ yang lain dan masih bisa diobati. Tapi tetap saja ini juga berkemungkinan untuk memburuk. Jangan sampai itu terjadi. Sang Ibu harus melihat kesuksesannya di masa depan nanti. Bukan sekarang waktunya untuk pergi.
Dengan penuh kekhawatiran, mata bulat gadis itu basah dalam berdoa sepanjang hari. Benar-benar sepanjang hari. Tidak melakukan yang lain kecuali mengganjal perut dengan roti. Berusaha sebanyak yang ia mampu demi kesembuhan Ibunya tersayang.
Namun semesta menegur Adel yang terlalu memaksakan diri. Setelah tiga hari tenggelam dalam doa di Masjid Nabawi, tubuh Adel juga jatuh sakit. Bagaimana tidak, dia hanya memakan roti dan minum air putih. Setelah tiga hari, teman sekamarnya menjemput pulang. Memaksa Adel untuk berhenti sementara.
“Kita harus membawamu ke rumah sakit dulu, Adel. Tubuhmu lemes banget. Wajahmu juga pucat. Kita ke rumah sakit ya?”
“Udah, ga usah. Aku cuman kecapean kok. Kita pulang ke asrama saja, Aku akan segera membaik setelah cukup istirahat.” Adel tersenyum lemah.
“Yasudah kalau begitu.”
Jakarta, 7 September 2021 – Dia Pergi (bagian 2)
Bagian ini sangat berat untuk diceritakan. Lima bulan kemudian, ketika matahari muncul memberi cahaya, semesta terlihat hidup di alam raya. Dedaunan bergerak pelan dihembus angin. Induk ayam keliling mencari makan bersama anaknya. Burung beterbangan bebas tanpa beban di angkasa. Sungguh hari itu sebenarnya bisa menjadi hari yang indah seperti biasa, kalau saja bendera kuning itu tidak terkibar di depan rumah.
Setelah mendengar berita wafat yang diumumkan di masjid, para warga dan tetangga berdatangan mengunjungi rumah duka. Memberikan doa dan turut bela sungkawa. Tidak ada ruang dalam rumah itu yang luput dari kesedihan. Semua kerabat terisak. Hari itu, tetesan air mata jauh lebih banyak daripada ucapan kata.
Semuanya bersedih. Setiap orang terpukul karena ada yang pergi. Sungguh keluarga ini adalah keluarga yang harmonis. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat terasa sangat menentramkan.
Tubuh itu dibaringkan di tengah ruang keluarga. Lemah tak berdaya karena tanpa nyawa. Bacaan Al-Quran bersenandung merdu di sekelilingnya, bercampur dengan isak tangis keluarga dan kerabat yang datang.
Mas Andi berusaha tegar menghadapi keadaan, meski hatinya juga hancur berkeping-keping. Sejak tadi, dia sibuk mengurus semuanya. Mulai dari penjemputan, hingga penguburan jenazah.
Teh Rika yang sejak tadi menerima tamu yang datang. Menyimpan setiap perasaan kehilangan yang disampaikan. Sedikit-sedikit bercerita tentang almarhumah. Kebaikannya selama di dunia serta penyebab berpulangnya ke Maha Kuasa. Azka seperti memahami keadaan. Sejak tadi, bocah lucu itu bermain sendirian. Duduk dengan tenang memegang mobil-mobilan.
Sedangkan Ibu, terus-terusan duduk dan tertunduk. Entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah dari matanya yang sayu. Dunianya hancur separuh. Kepergian ini amat sangat menyiksa bagi diri dan tubuhnya yang belum sepenuhnya sembuh.
Hatinya terasa seperti tertusuk anak panah yang sangat panas setelah mengetahui bahwa selama ini anak gadisnya sangat bersungguh-sungguh mendoakannya di sana.
Dua bulan lalu, anak gadisnya dilarikan ke rumah sakit oleh petugas masjid karena pingsan hilang kesadaran ketika sedang salat. Gadis itu memang belum makan lebih dari 12 jam. Lupa membawa roti dan hanya meminum air putih.
Ini bukan kali pertamanya terkena drop ketika sedang ‘menggila’ dalam berdoa. Sudah lebih dari tiga kali kata temannya. Tapi gadis itu selalu menolak keras kalau ingin diajak ke rumah sakit. “Nanti aku akan membaik setelah istirahat yang cukup di asrama”. Itu yang selalu dia katakan.
Kesembuhan Ibu selalu menjadi prioritas nomor satu. Kehilangan ayah dua tahun lalu masih terasa amat berat baginya. Entah apa gunanya hidup kalau dia harus kehilangan ibu juga. Ada cita-cita yang harus digapai. Sebab itu dia setiap hari memaksa Tuhan untuk memberikan kesembuhan untuk ibunya. Setiap hari tanpa peduli waktu, makan, keadaan, dan kesehatan.
Gadis itu selalu mengabaikan tubuhnya yang sering terasa lemas dan penglihatannya yang berkunang-kunang. Kalau kepalanya terasa pusing dan sakit yang tak tertahan, dia tidak pulang ke rumah apalagi mengobatinya ke rumah sakit, melainkan tetap duduk beristirahat di masjid Nabawi. Di atas sajadah putih pemberian ibunya yang selalu menemaninya dalam berdoa.
Yang dia tidak sadari adalah penyakit ganas bisa mendatangi siapa saja dan kapan saja. Bukan hanya ibunya, tetapi dirinya juga. Setelah bertemu dokter di rumah sakit dan menjalani pemeriksaan, ternyata ada tumor yang tumbuh di dekat otaknya sejak beberapa bulan lalu. Bisa jadi ini disebabkan karena kegiatan yang terlalu padat sedangkan dia tidak terlalu memperhatikan kesehatan.
Ternyata tubuh lemas, mata berkunang, sakit kepala, dan drop yang sering ia alami bukan hanya karena kelelahan, melainkan dampak dari penyakit lain yang telah menggerogoti tubuhnya.
Sebenarnya tumor itu bukanlah masalah yang besar jika gadis itu langsung dilarikan ke rumah sakit sejak pertama kali pingsan dua bulan lalu. Peluang sembuh masih sangat besar. Tapi sungguh sangat disayangkan, tumor itu tumbuh dengan bebas di dalam kepala lalu menyiksa bagian tubuh yang lainnya, sedangkan dia masih tenggelam dalam doa mengharapkan kesembuhan ibunya.
Dua hari setelah gadis itu terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit, dokter melakukan operasi. Keluarga sang gadis memberi izin. Dengan kuasa Allah, operasi itu lancar dan berhasil. Akan tetapi keadaannya tidak membaik dan tidak juga memburuk selama berhari-hari.
Nanti ketika waktu sudah genap satu minggu, gadis itu didatangi tamu. Seorang laki-laki yang berwajah tampan dan memakai pakaian putih bersih. Parasnya menawan. Tubuhnya sangat indah dipandang. Hingga beberapa saat kemudian, gadis itu mengetahui bahwa kedatangan tamu ini bukanlah kunjungan, melainkan jemputan.
“Wahai gadis dengan wajah yang berseri, engkau anak yang sangat berbakti. Orang tua dan keluarga sangat menyayangimu. Engkau telah menggenggam ridho kedua orang tuamu dengan sempurna, maka dari itu engkau juga telah mendapat rihdo dari Tuhanmu yang Maha Kuasa. Sekarang, mari ikut denganku. Semua orang memang menyayangimu, tetapi ada yang kasih sayangnya jauh lebih besar daripada itu. Dialah Yang Maha Penyayang. Ikutlah denganku, kita akhiri penderitaanmu di dunia ini untuk merasakan kebahagiaan yang abadi.” Laki-laki itu berkata sangat lembut sambil sesekali tersenyum. Telapaknya menggenggam tangan sang gadis, menuntunnya untuk berdiri lalu pergi.
“Tapi tunggu dulu, bagaimana dengan Ibuku? Apakah sampai sekarang Allah belum mau mengabulkan doaku?” Sang gadis bertanya, yang ditanya tersenyum.
“Sungguh cobaan itu akan berakhir. Sebentar lagi. Ibumu akan sembuh secara perlahan dalam waktu dekat. Dan berkat doamu, dia tidak akan merasa kesakitan lagi hingga nanti waktunya dia menyusulmu. Semua cobaan itu akan selesai, dan Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dan menyenangkan.”
Bibir gadis itu tersenyum sangat lebar, hampir tertawa. Puas dengan jawaban dari sang tamu. Sekarang kakinya ringan melangkah. Mengikuti tuntutan pria itu dengan tenang. Dan begitulah akhirnya. Begitulah Adel pergi. Menuju kehidupan yang hakiki. Bertemu ayah dan menunggu Ibu serta segenap keluarganya di surga yang diberkati.
Jakarta, 10 September 2021 – Jangan Menangis Untukku
Tujuh hari setelah kepergiannya, Adel mengunjungi Ibunya. Dia khawatir melihat Ibu dan keluarganya masih murung meratapi kesedihan. Adel merasa perlu memberi tahu yang sebenarnya.
Sungguh, harapan sang Ibu untuk bisa bertemu dengan anaknya kembali di dunia ini tetap dikabulkan oleh Allah, meskipun dalam mimpi. Di alam tidurnya, Ibu dikunjungi oleh Adel yang terlihat lebih cantik dan bercahaya. Pertemuan itu terlalu mengharukan untuk bisa digambarkan dengan kata-kata. Adel menceritakan semuanya secara mendetail.
“…. Ibu, sudah cukup bersedihnya. Sekarang Ibu sudah pulih secara total. Tidak ada yang terluka dalam cerita ini, Bu. Semuanya adalah yang terbaik dari takdir Allah SWT. Aku bahagia. Maka dari itu Ibu juga harus bahagia, ya. Jangan menangis untukku.”
Adel menghapus air mata ibu yang membasahi pipih, lalu tersenyum kepada wanita terkasihnya. Melihat kebahagiaan yang memancar jelas dari mata anaknya, sang Ibu juga ikut tersenyum.
Sungguh tidak ada yang baik-baik saja ketika dihadapkan dengan perpisahan. Sebaik apa pun itu dipersiapkan. Namun percayalah, semuanya telah ditentukan oleh Yang Maha Pencipta. Dan tidak ada yang lebih baik dan membahagiakan kecuali takdir Allah SWT.