Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Pesulap Merah dan Pola Pikir Masyarakat

Oleh Muhammad Said Anwar
5 Agustus 2022
in Opini
Pesulap Merah dan Pola Pikir Masyarakat
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Indonesia baru-baru ini dihebohkan dengan sosok Pesulap Merah yang berhasil membongkar kebohongan oleh seorang yang dikenal sebagai tokoh agama yang mengaku bisa mengobati orang dengan kesaktian tertentu. Selain itu, ada satu hal yang sangat mencengangkan yang dia lakukan, sebagaimana yang diinformasikan channel tvOneNews bahwa dia memasang tarif sepuluh juta untuk pengobatan yang dilakukan. Padahal, menurut Pesulap Merah ini hanya sebuah trik sulap yang berkedok ilmu kebatinan atau pengobatan.

Pembongkaran yang dilakukan Pesulap Merah atau akrab disapa dengan Marcel ini dilakukan di channelnya: Marcel Radhival. Yang saya apresiasi dari Pesulap Merah ini adalah dia tidak hanya mendatangkan klaim logis saja, tapi ini disertai dengan pembuktian empiris dengan mekanismenya secara detail. Mulai dari pembongkaran trik receh dan kotor, sampai trik bersih dan profesional yang menggunakan trik hipnotis dan sugesti misalnya.

Mengapa orang mengira trik itu benar-benar nyata? Ada beberapa alasan. Pertama, ketidaktahuan akan mekanisme. Karena beberapa penjelasan dari pesulap sendiri, kalau sebenarnya trik para pesulap ini memiliki ciri khas out of the box, alias trik yang mereka lakukan adalah hal yang tidak pernah dipikirkan orang. Sehingga orang yang melihatnya mengira itu sebagai sebuah kebenaran karena memang otak manusia punya kebiasaan menyama-nyamakan dua variabel yang sebenarnya berbeda dengan sesuatu yang sudah mereka ketahui. Misalnya, trik kartu “hilang”. Kenapa orang bisa percaya bahwa kartu itu hilang? Karena orang tidak tahu bagaimana cara pesulap itu menyembunyikan kartu dan mereka menyamakan dengan hal yang mereka tahu: “Apa lagi kalau bukan hilang kan? Karena tidak ada celah untuk menyembunyikannya”. Dengan bias berpikir seperti ini, orang bisa percaya kalau ini benar-benar nyata.

Kedua, memakai simbol agama. Ini hal yang paling gampang dan paling sederhana dalam membuat orang percaya sih; bawa simbol agama. Berbekal di poin pertama yang punya daya kuat untuk membuat orang percaya, ditambah lagi poin kedua ini makin menjadi-jadilah kepercayaan itu.

Sulap

Dalam Al-‘Aqîdah Al-Kubrâ karya Imam Al-Sanusi (w. 850 H), ada sebuah definisi sihir yang dikritik oleh Imam Sanusi. Definisi itu adalah milik Al-Qarafi yang bunyinya:

أمر غير خارق للعادة, وغرابته إنما هو بجهل أسبابه لأكثر الناس

“Sesuatu yang biasa dan (kelihatan) aneh karena kebanyakan orang tidak mengetahui mekanismenya” (Abu Abdullah Al-Sanusi, Syarh Al-‘Aqidah Al-Kubra, Tahqiq: Anas Muhammad ‘Adnan Al-Syarfawi, Damaskus: Dar Taqwa, Hal 554).

BacaJuga

Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan

Penista Agama yang Sesungguhnya

Si Paling Benar

Menjawab “Katanya”

Menurut Imam Sanusi, ini tidak cocok disebut dengan sihir yang pelakunya dihukumi fasik apalagi kafir. Karena sihir itu memiliki sebab khusus dan bisa membuat hal-hal yang tidak biasa (khariq li al-‘adah) terjadi. Semisal melakukan ritual atau pembacaan mantra tertentu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi ada persekutuan dengan jin atau makhluk tertentu.



Tapi, kalau saya melihat definisi yang dibawakan oleh Al-Qarafi, itu lebih cocok masuk ke dalam terma sulap sebagaimana yang kita kenal. Alasannya, sulap itu sebenarnya sesuatu yang tidak ajaib (ghairu khariq li al-‘adah). Tapi kelihatan ajaib. Kenapa? Karena ada mekanisme khusus yang hanya diketahui oleh para pesulap itu sendiri. Mekanisme itulah yang kita kenal dengan trik dan trik ini merupakan hal-hal yang sebenarnya biasa tapi tidak diketahui orang. Saya teringat dengan ucapan seorang saintis yang saya agak lupa namanya yang isi ucapannya itu kurang lebih “Tidak ada yang ajaib, hanya orang yang kurang membaca”. Artinya, orang itu menghukumi sesuatu itu ajaib karena sesuatu itu aneh dan tidak biasa. Terlepas apakah dia termasuk khâriq li al-‘adah atau bukan.

Tapi terlepas dari itu semua, saya tertarik dengan ucapan yang dikatakan oleh Marcel Radhival dalam Podcast Daddy Corbuzier, bahwa yang namanya sulap itu adalah sesuatu yang dinikmati, tidak peduli apakah yang dinikmati itu memiliki sejumlah trik dan rekayasa tertentu. Seperti film, dia merupakan rekayasa komputer. Walaupun kita tahu itu palsu, tapi inti dari itu adalah menikmatinya. Namun, nanti menjadi masalah kalau trik semacam ini digunakan untuk pembodohan publik apalagi sampai melakukan perduitan.

Simbolitas Agama

Ada satu kemirisan yang kita bisa saksikan ketika melihat fenomena ini. Ketika pesulap melakukan trik-trik demikian, maka orang hanya akan menganggap kalau itu hanya trik, tidak lebih. Beda dengan orang yang mengaku agamawan yang melakukan trik sama, itu akan dianggap mengeluarkan karamah, ilmu kebatinan, dan lain sebaginya. Kenapa? Orang melihat orang yang mengaku agamawan ini menggunakan atribut yang akrab dengan ritual keagamaan. Maka siapapun yang memakai itu akan langsung dianggap sebagai orang yang baik dan bisa dipercaya.

Ada satu kelemahan dari keyakinan atau mudah percaya seperti itu. Yakni, kalau ada penjahat atau orang yang tidak baik niatnya menggunakan atribut keagaamaan, maka orang dengan mudah bisa menipu. Seperti kasus yang barusan, menggunakan atribut agama untuk kepentingan tertentu. Ini tentunya dengan melihat masyarakat yang sangat mudah percaya agamawan.

Di sisi lain, Indonesia sendiri tidak memiliki standar kapan seseorang dikatakan sebagai ustaz atau agamawan yang bisa dijadikan rujukan secara baku. Karena keburaman standar ini, maka orang akan menilai dari hal yang paling mudah diidentifikasi, yakni atribut agama walau ini tidak sepenuhnya akurat. Akhirnya, masyarakat ini terbawa dengan doktrin dan sugesti yang diciptakan oleh oknum agama tersebut.

Kita juga bisa melihat faktor lain, seperti simbolitas beragama. Kalau kita bertanya kepada orang, apa saja itu ibadah? Orang akan berkata kalau salat, puasa, zakat, dan lain sebagainya itu adalah ibadah. Pertanyaannya, bagaimana kalau saling tolong menolong? Peduli kepada orang lain? Ikut memajukan peradaban Islam? Mungkin orang akan berkata tidak. Padahal ulama kita sudah memiliki konsep mengenai kepada siapa menjadi objek dari ibadah itu;  1) Habl min Allah (Hubungan kepada Allah). 2) Habl min Al-Nas (Hubungan dengan manusia).

Ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu pemikir Mesir, Dr. Hassan Hanafi dalam wawancaranya oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir pada tahun 2003. Kalau ditanya, apa itu dosa besar? Maka orang akan menjawab, minum miras, makan babi, zina, dan lain sebagainya. Ini mungkin dosa besar yang berlaku pada zaman dulu. Itulah kenapa ayat turun dengan frasa yas’alunaka ‘an al-khamar (Mereka bertanya kepada-Mu tentang khamar), yas’alunaka ‘an al-maisir (Mereka bertanya kepada-Mu tentang judi), dan lain sebagainya. Tapi, seandainya ada ayat yang turun hari ini, mungkin ayat akan berbunyi yas’alunaka ‘an kesenjangan sosial, yas’alunaka ‘an pembodohan sosial, dan lain lain sebagainya. Itu dosa besar yang ada saat ini. Ini seperti dikatakan oleh beberapa kawan “Orang sekarang itu takut makan babi, tapi tidak takut dalam memakan hak orang lain”. Mereka melihatnya sebagai dosa karena itu yang ada tertulis di dalam nash dan dikatakan berulang-ulang. Tapi orang lupa kalau hal-hal sosial itu bisa juga dimasuki dosa besar juga, meskipun tidak tertulis secara tekstual. Padahal agama tidak cukup jika diukur dengan simbol tertentu.

Kalau begitu, dengan apa kita mengukur? Bisa dengan pikiran dan kapasitas orang yang bersangkutan. Tapi, di sisi lain, alat untuk mengukur itu apa? Ternyata orang awam lagi-lagi tidak semuanya mendapatkan alat untuk mengukur. Pada akhirnya, kita belum mendapatkan alat apa yang bisa dipakai untuk mengukur yang mencakup semua elemen, kecuali hanya untuk elemen tertentu seperti pelajar dan akademisi. Bagi saya, salah satu cara yang cukup aman untuk menilai adalah melalui lisan para ulama atau cendekiawan yang kapasitasnya diakui.

Mistis dan Metafisik

Salah satu tantangan yang dihadapi Pesulap Merah adalah adanya tuduhan bahwa dia tidak percaya hal gaib karena membongkar kedok gaib orang-orang yang “mengaku” sakti atau memiliki kesaktian tertentu. Padahal, ada banyak klarifikasi yang dilakukan Pesulap Merah sendiri bahwa dia percaya hal gaib (apalagi dia itu Islam).

Di sini ada cacat berpikir yang kerap diulang-ulang. Apakah membongkar penipuan atas nama agama atau spiritual itu meniscayakan yang membongkar kebohongan ini adalah orang yang tidak percaya hal gaib? Jelas jawabannya tidak. Tidak ada sangkut-pautnya. Membongkar penipuan atas nama gaib-gaib itu adalah satu hal. Sementara mempercayai hal gaib adalah hal yang lain. Akal masih bisa menerima bahwa orang yang membongkar penipuan ini adalah orang yang percaya hal gaib. Makanya tuduhan ini menjadi tidak relevan.

Kepercayaan

Kenapa kita percaya sesuatu? Kita percaya sesuatu karena kita bisa mengidentifikasi kebenarannya. Uniknya, banyak masyarakat yang lebih percaya kepada sesuatu yang tidak terbukti. Misalnya masalah dukun. Apakah dukun bisa membuktikan klaimnya? Jawabannya, tidak. Ini seperti praktik ilmu kebal misalnya. Ketika ilmu kebal itu sukses, tidak ada komentar apapun dari dukun itu. Tapi, ketika tidak berhasil, dukun itu akan bilang “Ini pasti belum yakin”. Orang akan percaya ungkapan atau klaim dukun ini. Masalahnya adalah dukun ini tahu dari mana kalau orang ini kurang yakin? Beda halnya dengan hal-hal yang sudah dijelaskan secara saintifik dan ilmiah, orang-orang tidak mau menerimanya. Bahkan ada yang mau menyangkut-pautkan dengan masalah konspirasi.

Lalu, bagaimana dengan agama? Saya mengamini ada agama yang bersifat dogmatis yang tidak mau menerima hal-hal yang rasional. Beda dengan agama Islam. Islam itu memiliki deretan argumentasi dan metodologi yang dipakai oleh ulama kalam dalam membela akidah dan mengafirmasi ajaran-ajaran Islam. Sehingga dalam internal Islam sendiri, umatnya diperintahkan untuk berpikir dan tidak menerima mentah-mentah sesuatu. Jadi, kita tidak bisa menyeret-nyeret Islam masuk ke dalam masalah percaya atau tidak ini. Sebab, sejak dari awal Islam sudah keluar dari sesuatu yang bisa dikategorikan dengan taklid buta atau dogma tok.

Skeptis memang sikap yang tepat jika ingin sampai kepada kebenaran. Ini sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dalam Mizan Al-‘Amal bahwa skeptis itu mengantarkan kita menuju kepada kebenaran. Barangsiapa yang tidak skeptis, maka dia tidak akan berpikir. Barangsiapa tidak berpikir, dia tidak akan melihat (mata akalnya). Barangsiapa yang tidak melihat akalnya, maka dia akan tetap dalam kegelapan dan kesesatan.

Makanya, masyarakat harus lebih pintar dan lebih kritis lagi dalam berpikir. Kita memulai segalanya dengan “Apa” dan “Kenapa”. Di sini saya melihat pentingnya urgensi logika dan filsafat dalam kehidupan, agar tidak dibodohi. Tidak ada juga masalah jika hal yang diyakini itu dipertanyakan. Justru yang perlu dipertanyakan adalah mereka yang takut dipertanyakan. Kenapa takut jika memang benar? Kemajuan peradaban dimulai dari majunya literasi yang ada di sana. Literasi akan mempengaruhi cara berpikir. Cara berpikir akan melahirkan ide. Ide akan melahirkan tindakan. Tindakan akan merubah kenyataan.

Wallahu a’lam

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan
Opini

Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan

Oleh Muhammad Said Anwar
17 Agustus 2022
Penista Agama yang Sesungguhnya
Opini

Penista Agama yang Sesungguhnya

Oleh Muhammad Said Anwar
9 Juli 2022
Si Paling Benar
Opini

Si Paling Benar

Oleh fachryalhidayah
1 Juni 2022
Menjawab “Katanya”
Opini

Menjawab “Katanya”

Oleh fachryalhidayah
27 Mei 2022
“Alumni Al-Azhar, Tapi Menyimpang?”
Opini

“Alumni Al-Azhar, Tapi Menyimpang?”

Oleh Muhammad Said Anwar
30 November 2021
Artikel Selanjutnya
Kisah Tentang Kitab Akidah yang Diwariskan Melalui Mimpi

Kisah Tentang Kitab Akidah yang Diwariskan Melalui Mimpi

Gerak Akal; Refleksi Pendidikan

Gerak Akal; Refleksi Pendidikan

Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan

Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan