Dalam banyak bagian hidup, tulisan dan buku bagi saya pribadi adalah kebutuhan layaknya makan dan minum. Tanpanya, saya merasa lapar dan haus. Namun, tidak semua makanan itu bisa saya makan dengan cepat, butuh waktu tertentu untuk mengunyah lalu menelan. Kejadian seperti itu, ada juga dalam memahami sebuah tulisan yang beragam; ada yang mudah dipahami, ada juga tidak.
Melihat buku yang tebal dan rinci, bagi saya itu seperti melihat makanan yang berlimpah; ingin rasanya melahap semuanya. Tapi, karena keterbatasan kapasitas, maka saya tidak bisa memakannya waktu itu juga seluruhnya. Saya merasa, walaupun buku itu tebal, tetap butuh waktu untuk mempelajari dan menguasainya.
Dalam salah satu renungan, saya merasa ada buku tipis tapi lebih berisi. Sebaliknya, ada buku tebal, tapi rasanya kurang berisi. Berarti, yang menentukan banyaknya isi atau tidak, bukan tulisan itu, tapi apa yang ditunjuki oleh tulisan itu. Sesuatu yang ditunjuki oleh tulisan itu adalah pengetahuan yang sifatnya non-fisik tapi bisa ditangkap oleh akal. Sebagaimana kaidah para ulama bahwa semua yang ada secara lahiriah itu pasti ada wujudnya di akal. Tapi, tidak semua yang wujudnya rasional, ada wujudnya di alam nyata. Tulisan memang ada secara lahiriah, kita bisa menyaksikannya, bahkan di tulisan ini. Tapi, yang masuk ke akal kita, bukan tulisan ini, tapi sesuatu yang wujudnya non-fisik yang ditunjuki oleh tulisan ini. Buktinya, kalau kita mengoperasi organ tubuh yang menyimpan informasi, di sana tidak ada satu huruf pun.
Saya memahami satu hal, bahwa tulisan itu pada hakikatnya tidak ada, walau kita melihat wujud tulisan itu ada secara lahiriah. Mengapa? Misalnya saja, ada tulisan “kursi”. Yang kita lihat itu, bukan kursi yang sebenarnya, tapi tulisan yang menunjukkan “kursi”. Dengan kata lain, tulisan “kursi” hanyalah metafora dari kursi yang asli, sedangkan tulisan itu, hakikatnya, tidak ada. Dia hanya figuran. Yang menjadi tokoh utama adalah sesuatu yang ditunjuki tulisan itu. Kalaupun kita membaca suatu tulisan, yang masuk di akal kita bukan tulisan itu. Dengan kata lain, kita membaca tulisan itu, yang masuk di akal kita adalah sesuatu yang ditunjuki oleh tulisan itu atau gambaran tentang sesuatu yang ditunjuki oleh tulisan itu. Ketika kita membaca tulisan “kursi”, bukan berarti tulisan “kursi” itu langsung masuk dalam akal dan hinggap di sana, bukan berarti juga ketika itu, langsung ada kursi di akal kita. Tapi, kita mengetahui gambaran dan pengetahuan tentang kursi itu.
Begitu juga buku-buku tebal yang terpajang di rak, sebenarnya ketebalan buku itu bagi saya hanyalah majazi semata. Bukan hakiki. Makanya saya menganggap buku tebal dan tipis itu biasa dan sama saja. Yang hakiki adalah sesuatu yang ditunjuki oleh tulisan itu dan jumlahnya kadang jauh lebih sedikit dari deretan tulisan itu, yakni pengetahuan yang akan hinggap di akal.
Kenapa tulisan itu ada? Karena dia bisa mengabadikan dan memotret sesuatu yang non-inderawi dan inderawi, lalu ketika kita membacanya, maka yang masuk ke akal itu adalah “sesuatu yang ada di balik tulisan itu”. Ini tugas tulisan, bukan dianggap ada. Tapi, kenapa di sisi lain dia tidak ada? Karena sekali lagi, secara hakikat dia itu hanya sebagai perantara kepada sesuatu yang hakiki, yakni pengetahuan. Sebagaimana para sufi menganggap alam ini tiada, karena alam ini hanya perantara kepada “Yang Maha Hakiki”.
Kenapa perantara itu tiada? Karena perantara ada disebabkan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, dia ada karena ada sesuatu yang lain. Di saat bersamaan, dia hanyalah manifestasi atau cerminan dari sesuatu yang ada itu. Untuk memahaminya, ketika kita berdiri depan cermin, kita melihat cerminan diri kita. Cerminan diri kita itulah manifestasi kita, bukan kita dan bukan juga selain kita. Tapi, kalau ditanya, apakah dia ada? Jawabannya tidak. Sebab, dia hanyalah pantulan dari sesuatu yang ada. Seperti tulisan “kursi”. Apakah tulisan kursi adalah kursi? Jawabannya bukan. Tapi, apakah yang ditunjuki adalah selain kursi? Jawbaannya tidak. Ya, tulisan kursi bukanlah kursi, tapi tidak juga menunjukkan selain kursi. Begitulah tulisan, dia hanyalah pantulan dari sesuatu yang hakiki.
Akal juga tidak dapat menerima jika ada suatu wasilah tapi tidak mengantarai satu hal ke hal yang lain, maka keberadaannya patut diragukan. Kenapa? Karena dia ada karena adanya sesuatu yang lain. Ada karena adanya sesuatu yang lain adalah metafora, sementara metafora adalah pantulan dari sesuatu yang ada tapi hakikatnya, dia sendiri tidak ada. Kenapa kita bisa meragukan keberadaan tulisan? Karena tulisan di satu sisi ada, yakni sisi lahiriah. Tapi tidak ada dari sisi hakikat. Ini tidak konsisten. Para filusif meletakkan satu tolak ukur benar, yakni koherensi atau konsisten. Sementara, kita lihat, keberadaan tulisan itu tidak konsisten, maka kita patut meragukan kebenaran bahwa tulisan itu ada.
Kalau melihat tulisan, sekali lagi dia itu ada di satu sisi, tapi di sisi lain, dia tiada. Kalimat ini tidak bisa dikatakan kontradiksi, karena salah satu syarat kontradiksi adalah satu sisi atau satu sudut pandang. Jika saya mengatakan tulisan itu ada dan tiada pada sisi hakikat, maka ini kontradiksi, karena satu sisi dan satu sudut pandang. Tapi, jika saya mengatakan tulisan itu ada secara lahiriah, tapi tidak ada secara hakikat, ini tidak kontradiksi, karena sudut pandangnya beda.
Atas dasar ini, pada banyak kesempatan saat membahas empat jenis wujud atau ada, saya selalu mengatakan “sebenarnya tulisan ini tidak ada, sebagaimana tidak ada yang namanya lafaz”. Kenapa? Tugas mereka ada secara lahiriah, untuk menunjuk kepada sesuatu yang sifatnya hakiki. Sesuatu baru bisa kita percaya jika dia benar-benar ada secara hakiki, bukan ada secara lahiriah tapi secara hakikat itu tidak ada.
Wallahu a’lam