Suatu ketika, Sufi Persia abad ke 3 H Imam Abu Yazid al-Bustami ditanya, “Apa yang engkau inginkan wahai imam?” Beliau dengan tegas menjawab, “Keinginanku adalah agar saya tidak menginginkan.” Hal semakna juga disampaikan oleh Imam Ibnu Ruslan, dalam Risalahnya beliau mengatakan bahwa puncak maqam seseorang yang menuju Allah Swt. adalah dia tidak lagi memiliki keinginan kecuali apa yang diinginkan oleh Allah Swt. Demikianlah para sufi, tidak memiliki harapan lain kepada Allah kecuali agar Allah menghilangkan rasa ingin dalam diri mereka.
~
Sejak kecil, saya sudah menaruh minat pada aktivitas membaca. Ketika usia saya masih tujuh tahun, saya mengisi masa liburan kenaikan kelas di Soppeng, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang berjarak lebih kurang 160 KM dari Makassar. Rumah nenek selalu ramai, ditambah dengan kedatangan kami yang hanya bisa berkunjung dua kali dalam setahun; saat liburan sekolah dan libur Bulan Ramadhan. Di rumah nenek inilah, ada sebuah buku yang sudah kehilangan sampulnya. Entah apa judul buku ini. Yang jelas, saya ingat betul bahwa buku ini berkisah tentang masa pendidikan seorang penyair masyhur Tanah Air, WS Rendra. Interaksi saya dengan orang-orang di kampung terbatas pada keluarga saja. Alasannya jelas, saya tidak bisa berbahasa Bugis. Maka, buku inilah yang berbaik hati mengisi sebagian besar waktu anak tujuh tahun kala itu selama 10 hari.
~
Mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran favorit saya sejak SD sampai lulus MAN, lebih khusus lagi pembahasan-pembahasan sastra. Namun, saat kelas tiga MTs, Bahasa Indonesia dan hampir semua mata pelajaran seakan menjadi momok menakutkan. Kesulitan beradaptasi dengan suasana dan teman-teman di kelas membuat saya lebih banyak diam di kelas, baik saat pelajaran berlangsung maupun waktu istirahat. Saya lebih suka duduk menyendiri di pojok kelas membaca novel atau komik yang tidak berkaitan sama pelajaran. Saya sering terlambat masuk kelas setelah jam istirahat karena bermain bola bersama teman-teman dari kelas lain. Padahal, kelas ini adalah kelas unggulan, para siswa adalah siswa siswi terpilih dari berbagai kelompok kelas dua. Di awal masuk kelas tiga pun, saya tidak menyangka dan tidak sama sekali pernah menginginkan agar masuk kelas unggulan.
Lulus dari MTs sebagai salah satu siswa kelas unggulan tidak memberi saya dampak besar pada opsi sekolah tingkat SMA. Teman-teman kelas tiga MTs di akhir masa-masa sekolah sibuk bertukar cerita tentang sekolah tujuan mereka selanjutnya, kecuali saya tentunya. Sekolah apa yang cocok bagi saya, siswa urutan terakhir yang kehilangan semangat belajar di kelas unggulan. Alhamdulillah, sebagian besar teman-teman saya diterima di sekolah tujuan mereka. Alhamdulillah juga, saya masih lanjut sekolah di MAN yang lokasinya bersampingan dengan MTs.
Good teacher isn’t great teacher. Inilah salah satu kesimpulan penting yang saya dapatkan selama belajar di Jurusan Keagamaan MAN. guru-guru saya di MTs dan khususnya di kelas unggulan adalah good teacher, guru yang mengajar para siswa apa yang mereka ingin ketahui. Akan tetapi, guru-guru kami di Jurusan Keagamaan MAN adalah great teacher, guru yang senantiasa memotivasi dan menjadi motivasi para murid untuk belajar dan menghiasi ilmu dengan akhlak mulia. Khususnya di Jurusan Keagamaan, guru kami selalu menyampaikan bahwa belajar adalah kewajiban dalam syariat, yang apabila seseorang tidak melaksanakannya maka dia berdosa.
~
Allah menjadikan minat utama saya adalah membaca, khususnya hal-hal seputar sastra. Minat ini sebagaimana telah saya sampaikan pada curhatan di atas mulai tumbuh sejak usia tujuh tahun. Dan, -wallahu a’lam- inilah keinginan Allah pada saya; menaruh minat pada membaca. Juga, empat tahun di Kairo saya turut aktif dalam kegiatan jurnalistik. Saya menjadi kru aktif Wawasan KKS Kairo Mesir dalam periode 2018-2020, atau dengan istilah lain saya selama periode ini adalah jurnalis amatir. Pada tahun 2020, aktifitas jurnalistik coba saya kenalkan di dalam almamater saya FK-Baiquni Mesir, yang sampai saat ini masih perlu diperjuangkan.
Melalui rubrik prosa intelektual ini, saya sebagai jurnalis amatir ingin kembali sibuk menulis. Aktivitas ini adalah satu dari sekian banyak keinginan saya, yang menunjukkan bahwa saya bukanlah seorang sufi. Apakah tulisan saya nantinya akan sempurna? Tentu tidak. Akan tetapi, ketidaksempurnaan itu harus saya minimalisir dengan cara menerbitkannya. Untuk menutup tulisan pengantar rubrik ini, saya mengutip perkataan Benyamin Franklin, “Kamu punya dua pilihan; menulis sesuatu yang pantas dibaca atau melakukan sesuatu yang layak dituliskan.”