Saya selalu mencoba dekat dengan orang yang lebih jago daripada saya atau lebih banyak bermuamalah kepada mereka. Alasannya agar saya tahu hal baru. Kalau ada yan lebih jago fotografer, ya saya dekati. Ada jago membaca, saya dekati. Karena saya punya pikiran bahwa sejago apapun saya dalam satu bidang, belum tentu saya jago dalam bidang lain. Kalaupun saya jago di bidang sendiri, pasti ada yang lebih jago. Bahkan tidak sedikit momen di mana saya merasa benar-benar tidak tahu apa-apa, sebab dihadapkan oleh yang lebih jago itu.
Sejujurnya, kalau berbicara masalah “jurus andalan”, mungkin yang saya miliki hanya secuil dari mereka-mereka yang multi-talent, bidang ini bisa, bidang itu bisa, seolah tidak ada cacatnya. Hal ini menginatkan saya pesan seorang guru di SMA dulu, bahwa keadaan “di bawah” itu patut disyukuri, sebab keadaan itu mendorong kita untuk menjadi baik hingga terbaik. Ini keadaan pertama. Justru yang harus diwaspadai adalah keadaan kedua, di mana pujian itu mengalir deras masuk ke gerbang-gerbang hati, itu akan membuat kita sombong, merasa paling hebat.
Keadaan pertama pernah saya lewati. Di sana ada goresan nasihat yang tertaut di ingatan, bahwa orang-orang yang maksimal itu karena dia merasa kurang. Bagaimana caranya dia maksimal mencapai sesuatu jika dia sudah sampai di titik itu di saat yang bersamaan? Kata tetangga saya di Makassar: “Tahshîl al-hâshil” atau bahasa Inggrisnya: “Sia-sia”.
Keadaan kedua itu pernah saya lalui juga. Pada keadaan itu saya mengerti, kenapa orang bisa lupa daratan, kenapa ada orang yang susah menerima nasihat, kenapa ada orang yang tidak mau melihat orang lain berada di atasnya. Saya sempat berpikir begini, jika keadaan kedua ini dialami oleh seseorang, maka untuk menapaki jalan tawadhu’, jalan yang ditempuh oleh para ulama itu akan dekat mustahil untuk ditapaki.
Saya teringat dengan salah satu kisah yang pernah diceritakan teman dan guru saya sewaktu SMA dulu. Ada seorang alim yang bertanya kepada seorang sufi: “Bagaimana caranya menjadi wali?”. Pertanyaan ini akan terlihat lumrah jika ditanyakan oleh seorang alim, di samping melihat ilmunya bak samudera yang bisa menampung kapal-kapal berlayar itu. Tak disangka-sangka, respon sufi ini malahan menyuruh alim ini untuk menjadi pembersih kamar mandi selama tiga tahun. Apa yang terbayang jika ada frasa “Tukang wc?” Ada yang membayangkan sosok yang berpakaian basah dan kotor, sosok yang kerjanya jauh dari kata terpandang.
Apa yang ingin diajarkan kepada sang alim ini? Ternyata, sufi ini diam-diam mengabulkan keinginan sang alim untuk menuju ke jalan Allah; hati yang bersih dari kesombongan dan ujub. Sebab, kesombongan dan ujub adalah kotoran yang menghalangi cahaya hati untuk sampai kepada Allah, titik hitam yang menjadi sorotan manusia.
Ada satu bagian yang diajarkan oleh beberapa ulama yang berada di Mesir, khususnya dalam bab akidah. Ketika guru saya menyebut: “’Ilm al-makhlȗq hâdits” (Ilmunya makhluk itu baru). Apa maksud “baru” itu? Beliau melanjutkan: “Huwa mâ yasbiquhu al-‘adam” (Yaitu sesuatu yang didahului oleh ketiadaan). Apa dan siapa saja itu makhluk? Kata beliau: “Kullu mâ siwallah” (Semua yang selain Allah). Manusia itu selain Allah, maka manusia itu makhluk. Makhluk itu memiliki ilmu, tapi ilmu hadis (baru). Karena ilmu hadis adalah ilmu yang bermula dari ketiadaan, maka ilmunya makhluk (kita semua) adalah ilmu yang awalnya tidak ada. Inilah bagian yang paling saya soroti ketika guru menjelaskan tentang apa itu “ilmu”.
Walaupun ketika guru-guru membahas itu untuk menjelaskan rumusan ilmu logika atau ilmu akidah, tapi saya melihat dari sisi lain; semua ilmu selain ilmunya Allah itu sama-sama berasal dari ketiadaan. Alias, ilmu-ilmu itu keberadannya bergantung dengan ilmu yang qadîm, ilmu yang tidak didahului ketiadaan atau ilmunya Allah. Lebih dalam lagi, ilmu kita itu semi tidak ada, hanya titipan. Seandainya itu milik kita sepenuhnya, kenapa kita dimintai pertanggungjawaban? Bahkan, sampai disebut dalam beberapa riwayat bahwa orang berilmu itu kalau tidak bisa mempertanggungjawabkan ilmunya, wajahnya akan digesek di api neraka. Jadi, apa yang dibanggakan?
Kadang saya merenung di tengah kesendirian atau detik-detik menuju tidur, mungkin dengan menyadari hakikat, kesombongan itu akan terasa tidak pantas ada dalam hati. Sebab, apa alasan keberadaan kesombongan itu dalam diri kalau bukan tidak menyadari hakikat; tidak tahu diri?
Wallahu a’lam


