Dalam khazanah ilmu keislaman, utamanya dalam ranah ilmu rasional, ada sebuah istilah yang dikenal dengan “Al-Mabadi’ Al-‘Asyarah” atau 10 hal-hal mendasar yang harus diketahui sebelum memasuki ilmu apapun.
Ini akan menjadi pengantar sebelum kita memasuki ilmu-ilmu yang akan kita pelajari ke depannya. Pengantar ini berlaku untuk ilmu apapun karena semua. Maka, siapapun yang akan memasuki sebuah ilmu, hendaklah ia mempelajari 10 poin yang sangat mendasar ini.
Seorang Ulama besar yang bernama Imam Muhammad bin Ali Ash-Shabban (beliau dikenal dengan Abu Irfan Al-Mishri), menulis nadzam tentang al-Mabadi’ al-‘Asyarah, dan ini sudah dikenal di banyak kalangan termasuk kalangan para ahli logika. Beliau menyebutkan:
إن مبادي كلّ فنّ عشرة # الحد و الموضوع ثم الثمرة
وفضله و نسبة والواضع # و الاسم الاستمداد حكم الشارع
مسائل و البعض بالبعض اكتفى # و من درى الجميع حاز الشرفا
“Sesungguhnya dasar setiap ilmu itu ada 10, Pertama Al-Hadd (definisi [Ta’rif bil hadd]), Kedua, Al-Maudhu’ (Objek Kajian), Ketiga, Al-Tsamarah (Manfaat mempelajarinya), Keempat, Al-Fadhl (Keutamaan dari ilmu lain), Kelima Al-Nisbah (Keterkaitan dengan ilmu lain), Keenam, Al-Wadhi’ (peletak dasar), Ketujuh, Al-Ism (Penamaan), Kedelapan, Al-Istimdad (Sumber pengambilan), Kesembilan, Al-Hukm Al-Syari’ (Hukum mempelajarinya), Kesepuluh, Al-Masa’il (Masalah yang dibahas). Barangsiapa yang menguasai kesepuluh dasar tersebut, maka akan meraih kemuliaan”.
Setiap poin akan diperinci pada bagian-bagian tersebut:
1. 𝑨𝒍-𝑯𝒂𝒅𝒅 (𝑫𝒆𝒇𝒊𝒏𝒊𝒔𝒊)
Ilmu apapun yang kita pelajari, tentu tidak lepas dari definisi. Karena kita harus tau, apa yang kita sebenarnya pelajari, supaya tidak terkesan seperti orang buta yang berjalan saja tanpa tahu arah perjalanannya. Karena belajar tanpa mengetahui gambaran perjalanannya, maka tak ada ubahnya dengan orang buta. Kita misalnya belajar ilmu logika, kita harus tau apa ilmu logika itu?
Umumnya, definisi itu dibagi menjadi 2:
𝑨. 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒆𝒓𝒕𝒊𝒂𝒏 𝑴𝒆𝒏𝒖𝒓𝒖𝒕 𝑩𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂
Pengertian ini bermaksud menjelaskan makna kata tertentu sebelum kata tersebut menjadi suatu istilah yang baku. Misalnya kata “manthiq” itu bermakna apa di kalangan orang arab sebelum kata “manthiq” tersebut menjadi satu definisi yang baku? Maka ini tujuan pengertian secara bahasa.
𝑩. 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒆𝒓𝒕𝒊𝒂𝒏 𝑴𝒆𝒏𝒖𝒓𝒖𝒕 𝑰𝒔𝒕𝒊𝒍𝒂𝒉
Pengertian menurut istilah ini terbagi menjadi dua: 1) Definisi Esensial/Analitik [Ta’rif bi al-Hadd] 2) Definisi Deskriptif [Ta’rif bi al-Rasm].
Kedua jenis definisi inilah digunakan dalam buku-buku. Kebanyakan buku-buku yang diperuntukkan pemula itu, menggunakan definisi deskriptif atau di ilmu logika ini disebut ta’rif bi al-rasm. Karena definisi ini sangat mudah ditangkap oleh seorang pemula. Beda halnya dengan definisi yang satunya; tergolong sangat berat ditangkap oleh pemula.
Misalnya, ilmu logika ini jika didefinisikan menggunakan definisi esensial maka akan berbunyi: “ilmu yang membahas tentang pengetahuan tashawwur dan tashdiq yang di mana keduanya akan mengantarkan kita menuju pengetahuan tashawwur dan tashdiq yang tidak diketahui”.
Ini definisi yang sangat berat ditangkap oleh orang yang baru menyentuh ilmu logika, terkhusus pada kata “tashawwur” dan “tashdiq” yang membutuhkan penjelasan tersendiri supaya orang paham apa yang dimaksud oleh kata tersebut. Maka diberikanlah definisi deskriptif yang mudah dipahami:
“Ilmu yang kalau dipelajari dan diindahkan aturannya, akan menjaga akal kita dari kesalahan berpikir”.
Ini adalah definisi yang ringan dipahami oleh pemula. Dengan kata lain, definisi deskriptif itu selalu disampaikan berdasarkan manfaat mempelajari ilmu tersebut sedangkan definisi esensial, selalu disampaikan berdasarkan objek kajian ilmu tersebut.
2. 𝑨𝒍-𝑴𝒂𝒖𝒅𝒉𝒖’ (𝑶𝒃𝒋𝒆𝒌 𝑲𝒂𝒋𝒊𝒂𝒏)
Setelah kita mengetahui ilmu apa yang kita pelajari, selanjutnya kita harus mengetahui bahwa apa yang akan kita bahas dalam ilmu yang sudah kita ketahui definisinya. Misalnya ilmu hadits (musthalah al-hadits) membahas tentang sanad dan perawi dari segi diterimanya atau ditolak. Maka dengan ini, jelas apa fokus kita dalam ilmu tersebut.
Kadang juga, ada ilmu yang objek kajiannya sama tapi sudut pandang dan fokusnya beda. Semisal “al-kalimah al-‘arabiyyah” (kata-kata bahasa arab), ini bisa menjadi objek kajian ilmu nahwu, bisa juga menjadi kajian ilmu balaghah. Tapi ilmu nahwu fokusnya di perubahan akhir kata, i’rab, ataupun bina’ sedangkan ilmu balaghah fokus kepada makna dan sikon bahasa.
3. 𝑨𝒍-𝑻𝒔𝒂𝒎𝒂𝒓𝒂𝒉 (𝑴𝒂𝒏𝒇𝒂𝒂𝒕)
Setelah kita melewati definisi untuk mencari apa yang sebenarnya kita kaji, objek kajian untuk mengetahui apa yang kita bahas, sekarang kita membahas manfaat dan tujuan kita mempelajari suatu ilmu. Dengan mengetahui poin ini, visi misi kita mempelajari ilmu tersebut jelas.
Misalnya mempelajari ilmu nahwu supaya kita bisa memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman yang benar, ilmu balaghah bisa membuat kita paham makna tersirat dari setiap kata dan lain sebagainya.
Dari kesepuluh poin tersebut, tiga poin awal inilah yang wajib kita ketahui. Karena sudah menggambarkan ilmu yang akan kita pelajari secara umum.
4. 𝑨𝒍-𝑭𝒂𝒅𝒉𝒍 (𝑲𝒆𝒖𝒕𝒂𝒎𝒂𝒂𝒏)
Keutamaan ini lebih fokus membahas tentang keunggulan yang satu-satunya dimiliki oleh ilmu tersebut. Bagian ini juga bisa menjadi motivasi bagi kita dalam mempelajari suatu ilmu. Misalnya ilmu filsafat yang menjadi induknya ilmu. Tidak mungkin ilmu-ilmu yang kita nikmati hari ini seperti nahwu, astronomi, kimia, biologi, dan lain sebagainya nikmati kalau bukan filsafat yang menatanya dengan rapih.
5. 𝑨𝒍-𝑵𝒊𝒔𝒃𝒂𝒉 (𝑲𝒂𝒊𝒕𝒂𝒏 𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓 𝑰𝒍𝒎𝒖)
Bagian ini sebenarnya ingin membuat kita menjadi open minded. Tidak kaku pada satu ilmu saja. Dalam artian, antara satu ilmu dengan ilmu lain itu memiliki keterkaitan yang pada akhirnya bertemu pada satu titik. Misalnya psikologi membahas tentang pola pikir. Biologi, membahas tentang unsur yang ada di otak, sedangkan ilmu logika membahas tentang cara kerjanya otak kita. Titik temunya ada di otak.
6. 𝑨𝒍-𝑾𝒂𝒅𝒉 (𝑷𝒆𝒍𝒆𝒕𝒂𝒌 𝑫𝒂𝒔𝒂𝒓)
Sebagai seorang penuntut ilmu, tentu kita harus tau siapa yang menyusun dan menata dengan rapih ilmu tersebut. Supaya ilmu itu melekat lebih dalam dan kita memiliki hubungan dengan sang penyusun, kita bisa mulai dengan mengenalnya. Seperti yang menyusun ilmu psikologi adalah Aristoteles.
7. 𝑨𝒍-𝑰𝒔𝒎 (𝑵𝒂𝒎𝒂)
Setiap ilmu memiliki nama, maka bagian ini biasanya mengungkap kalau ada nama lain dari ilmu yang kita pelajari. Misalnya ilmu psikologi memiliki nama lain yang disebut dengan “ilmu jiwa”.
8. 𝑨𝒍-𝑰𝒔𝒕𝒊𝒎𝒅𝒂𝒅 (𝑺𝒖𝒎𝒃𝒆𝒓 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒂𝒎𝒃𝒊𝒍𝒂𝒏/𝑰𝒏𝒔𝒑𝒊𝒓𝒂𝒔𝒊 𝑰𝒍𝒎𝒖)
Kalau kita mempelajari suatu ilmu, alangkah lebih baiknya kalau kita mengetahui asal muasal ilmu tersebut. Maka istimdad ini menjelaskan darimana ilmu tersebut ini muncul. Semisal ilmu logika ini diambil dari akal.
9. 𝑨𝒍-𝑯𝒖𝒌𝒎𝒖 𝒂𝒍-𝑺𝒚𝒂𝒓’𝒊 (𝑯𝒖𝒌𝒖𝒎 𝑴𝒆𝒎𝒑𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓𝒊 𝑰𝒍𝒎𝒖)
Sebagai orang islam, tentunya kita memiliki aturan pada setiap perbuatan kita. Maka bagian inj menjelaskan boleh tidaknya kita mempelajari ilmu tersebut. Karena jangan sampai kita mempelajari suatu ilmu tapi ternyata ilmu tersebut haram karena alasan tertentu. Misalnya, haram terlalu dalam mempelajari ilmu logika (menurut sebagian ulama) karena dulu, ilmu ini terkontaminasi dengan pemikiran dan akidah orang yunani. Mempelajari fikih hukumnya fardhu kifayah ketika sudah ada orang yang mendalami ilmu tersebut dan menjadi fardhu ‘ain ketika tidak ada yang mempelajarinya.
10. 𝑨𝒍-𝑴𝒂𝒔𝒂𝒊𝒍 (𝑴𝒂𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉-𝑴𝒂𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝑫𝒊𝒃𝒂𝒉𝒂𝒔)
Pada bagian ini, lebih fokus menjelaskan pembahasan secara keseluruhan. Lebih luas dan detail daripada maudhu’ tadi yang lebih kepada intensitas ilmu yang dibahas. Dengan kata lain, dia hanya membahas bagian pokok atau poin inti ilmu yang menjadi topik pembahasan. Bagian ini akan membahas bahwa ilmu tersebut akan membahas A, B, C, dst pada bab pertama. Lalu bab kedua akan membahas A, B, C, dst. Semisal ilmu logika akan membahas bab tashawwurat yang di dalamnya ada kulliyyah al-khamsah, ta’rif, dst.
Maka dengan menguasai bagian ini lalu kita menerapkan pada ilmu yang akan kita pelajari akan menggambarkan kita dari keseluruhan ilmu tersebut. Dengan kata lain, inilah kerangkanya semua ilmu. Bahkan ada yang mengatakan, barangsiapa yang menguasa bagian ini, maka itu sudah sepertiga dari ilmu yang akan ia pelajari.
Wallahu a’lam