Beberapa waktu lalu, banyak yang bertanya tentang bagaimana manajemen waktu yang baik, ditambah kalau kesibukan dan tuntutan itu banyak luar biasa. Ada yang sampai curhat menjelaskan bagaimana tuntutannya yang “tidak masuk akal” itu. Ada juga beberapa adik kelas yang bingung bagaimana menata pelajaran yang bisa dibilang banyak. Mau pelajari ini dan itu tapi waktu terbatas. Saya akan menjelaskan tentang penyelesaiannya.
Ada yang perlu diingat, di tulisan ini saya tidak sedang menjelaskan tema ini secara menyeluruh dan komprehensif, dan saya hanya membahas tentang prinsipnya secara umum saja yang kemungkinan cocok pada sebagian orang (dan mungkin agak subjektif). Alasannya, orang memiliki kesibukan yang berbeda-beda, orientasi yang berbeda-beda, bahkan prioritas yang berbeda-beda. Maka, manajemen waktunya otomatis berbeda. Dan saya sendiri belum menemukan penjelasan yang benar-benar absolut sepenuhnya kecuali beberapa bagian saja.
Manajemen waktu tidak musti jam 10 pagi harus serentak belajar atau apa. Mungkin pada waktu itu ada lebih cocok pergi belanja, ada lebih cocok jalan-jalan, dan lain sebagainya. Tapi, ini tentang bagaimana seseorang itu efisien dalam memanfaatkan waktunya dan tujuannya mudah tercapai. Jadi, manajemen waktu itu bukan berarti jadwal hidup kita mesti sama persis dengan orang lain. Tapi bagaimana kita memiliki jadwal sendiri, cocok, dan efisien dengan kita sendiri.
Ada satu hal yang perlu saya akui tentang manajemen waktu, yakni manajemen waktu adalah hal yang kompleks. Kenapa? Karena kehidupan dan perjalanan kita itu juga kompleks. Ini juga karena realita kehidupan begitu luas. Makanya saya tidak berani mengklaim kalau tulisan ini sudah sangat komprehensif, melihat kompleksitas hidup yang ada.
Yang terpenting adalah tulisan ini cocok bagi orang yang suka mengatur hidupnya dengan rencana dan struktur yang detail.
Bagian Pertama: Konsepsi
Bagian ini mencakup tentang bagaimana menentukan apa saja yang menjadi kesibukan kita, apa saja yang menjadi prioritas, skala dan jarak waktu, dan tingkat kepentingan itu sendiri. Artinya, kita menentukan “bahan mentah” dari aktivitas manajemen waktu itu dulu secara matang atau paling minimalnya, memiliki gambaran umum atau variabel umum tentang kesibukan kita.
- Menentukan aktivitas dan alur
Menentukan aktivitas ini maksudnya kita list atau daftar semua apa saja yang ingin kita kerjakan. Jangan biarkan ada yang lolos. Adapun kalau ada hal tiba-tiba dan penting, ada bagiannya secara tersendiri.
Alur ini seperti peta perjalanan Anda. Juga, Anda harus tahu mana aktivitas yang independen dan tidak. Misalnya, untuk main game. Anda tidak harus melakukan hal yang lain agar bisa menjalankan aktivitas bermain game. Beda halnya ketika Anda ingin belajar tafsir secara efisien dan detail. Anda harus menguasai ilmu bahasa Arab, ilmu mantik, dan ilmu-ilmu yang menunjang lainnya. Kalau Anda tidak menguasai bahan yang dibutuhkan tafsir itu, mau tidak mau, Anda harus meletakkannya di rencana jangka panjang. Anda harus fokus pada bahan yang diinginkan tafsir itu. Sedangkan bermain game tadi, tidak punya “bahan” tertentu. Main game ini contoh dari aktivitas independen. Sedangkan belajar tafsir secara mendalam ini, aktivitas dependen. Dia bergantung kepada sesuatu yang lain.
Maka di sini penting untuk mengetahui peta perjalanan kita ke depannya. Karena ini sangat mempengaruhi kualitas pemanfaatan waktu.
- Menentukan tingkat penting-tidaknya
Ini juga karena melihat tidak semua apa yang ingin kita lakukan itu penting banget. Tolak ukur penting atau tidak, itu tergantung seberapa berbahaya kalau ditinggalkan. Semakin bahaya kalau ditinggalkan, maka itu penting.
- Menentukan tingkat kesulitan
Ini penting ditentukan juga. Sebab, ini akan berguna nanti pada manajemen eksekusinya. Apakah dia harus duluan dilakukan atau tidak. Perlu diingat, masalah mudah atau sulit ini sifatnya relatif. Bisa saja bagi saya ini adalah hal yang mudah tapi bagi Anda itu sulit. Ini lagi-lagi kembali bagaimana kita bisa menyesuaikan rencana dan spesifikasi diri.
- Menentukan estimasi dan alokasi waktu
Perlu diingat, estimasi waktu itu sebenarnya tidak harus detail. Maksudnya begini, ketika Anda punya rencana misalnya mau bangun rumah 5 tahun ke depan, maka Anda hanya perlu menentukan secara umum, yakni cukup menentukan targetnya, pokoknya 5 tahun. Anda tidak perlu menentukan bulan berapa, tanggal berapa, dan jam berapa. Jadi, tentukan dulu secara garis besar, mau apa beberapa hari ke depan, beberapa pekan ke belakang, dan beberapa bulan.
Adapun bagian detailnya, bisa dilakukan kalau waktunya sudah dekat atau pada saat yang tepat, bukan saat sudah darurat atau persiapan eksekusi. Misalnya Anda harus mengajar pada Kamis pagi. Maka pada saat malam Kamis itu Anda sudah harus mengulangi pelajaran agar penyampaian Anda itu lebih maksimal (Persiapan eksekusi). Juga di hari yang sama, tidak ada pekerjaan berat dan butuh persiapan besar, maka pada hari Rabu itu Anda sudah harus memiliki gambaran yang lebih detail mulai dari pagi hari sampai hari Anda habis.
Perlu diingat, pendetailan waktu ini juga bergantung dengan alokasi waktu yang dimiliki masing-masing aktivitas. Misalnya, ada aktivitas yang butuh waktu menitan, ada juga sampai butuh waktu berjam-jam. Ini perlu menjadi pertimbangan juga, karena berpengaruh saat eksekusi dan individu yang bersangkutan.
- Menentukan skala prioritas
Tidak semua pekerjaan atau aktivitas itu benar-benar prioritas bagi kita. Misalnya saja, dalam kehidupan sehari-hari kita butuh makan dan minum, juga kita butuh berinteraksi dengan orang lain. Dua hal itu merupakan keniscayaan dalam kehidupan kita. Tapi, apakah sama-sama niscaya itu berarti sama tingkatan prioritasnya? Jawabannya tidak.
Skala ini tidak lepas dari poin kedua itu sendiri. Dua poin ini sangat berperan dalam mentolerir hal yang tiba-tiba atau menolak dengan keras. Kalau kita tahu bagaimana misalnya pentingnya agenda kita, kita tidak akan segan untuk menolak yang menganggu itu.
Bagian Kedua: Eksekusi
Bagian eksekusi ini baru bisa kita realisasikan saat bagian pertama sudah kita siapkan dengan baik. Karena ibaratnya kita sudah menyiapkan bahan-bahan untuk “memasak”, sekarang waktunya “memasak”. Beberapa tips eksekusi ini saya dapatkan dari guru saya; Dr. Miftah Fayez saat bulan pertama di kelas bahasa.
- Dahulukan hal yang disukai
Kenapa hal ini perlu? Karena totalitas kita akan berbeda jika kita mengerjakan sesuatu yang kita suka dan tidak. Misalnya saja, ada sebuah tugas yang tidak Anda suka dan ada keinginan mendesain yang Anda suka itu. Dari suka atau tidak ini, Anda akan totalitas dalam bekerja pada yang Anda sukai. Pengaruhnya hal yang Anda sukai atau tidak itu akan berpengaruh pada efisiensi jadwal yang sudah Anda susun itu.
- Dahulukan hal yang dikuasai
Mendahulukan hal yang dikuasai itu sebenarnya bisa menghemat waktu. Alasannya, kalau kita mendahulukan pada hal yang tidak kita kuasai, maka waktu kita bisa terbuang di bagian mencobanya dan terus gagal. Untuk hal yang bukan passion kita, harus ada waktunya secara mandiri. Ini juga termasuk mempersiapkan waktu untuk sejumlah kegagalan yang kemungkinan besar ada.
Bedanya kalau hal yang kita kuasai, kemungkinan bermasalahnya itu kecil. Sehingga suksesnya aktivitas itu dengan mulus kemungkinannya besar.
- Dahulukan hal yang mudah
Mendahulukan hal yang mudah itu merupakan teknik “hacking dopamin”. Secara psikologis, manusia itu merasa senang kalau sudah menyelesaikan sebuah aktivitas. Tapi, bentuk senangnya akan berbeda tergantung bagaimana kesulitan aktivitasnya. Jika aktivitasnya mudah, maka salah satu bagian otak akan mengeluarkan cairan dopamin yang mendorong mood manusia untuk menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Berbeda halnya dengan ketika sudah melakukan aktivitas yang sulit, biasanya tuntutan alam bawah sadar kita, ingin kalau kita istirahat dulu, walaupun ada rasa kepuasan tersendiri.
Ini seperti ketika Anda membaca buku. Ketika Anda melihat buku itu sebagai pecahan-pecahan sub-bab dan satu kesatuan yang sampai ratusan halaman itu, respon Anda akan berbeda walaupun ini adalah satu buku yang sama. Jika Anda melihat beberapa bagian buku saja dan itu sesuai dengan kebutuhan Anda, maka daya tangkap Anda akan meningkat dan daya fokus Anda meningkat juga. Kalau pengarang itu mengarahkan Anda ke bagian pasal atau bab lain yang Anda butuhkan untuk memahami pembahasan yang bersangkutan, maka Anda akan membukanya jika penasaran Anda terpancing. Semakin penasaran Anda, maka yang Anda lihat pada waktu itu bukan kuantitas halaman, tapi sudah seberapa paham Anda terhadap bacaan itu. Anda akan terus terdorong untuk membaca dan membaca.
Berbeda halnya dengan kalau Anda melihatnya sebagai satu buku penuh yang tentu akan Anda anggap sulit (karena terfokus pada kuantitas halaman). Kalau Anda paksakan menyelesaikan buku itu tanpa visi-misi, bisa saja bacaan Anda itu tidak maksimal. Efeknya terlihat setelah Anda membaca. Anda akan merasa lelah secara psikologis. Masalahnya adalah ketika masih ada aktivitas setelahnya, kemungkinan besar akan terbengkalai.
Inilah kenapa mendahulukan yang mudah itu perlu dipertimbangkan.
- Dahulukan hal yang praktis
Maksud dari mendahulukan yang praktis ini adalah mendahlukan hal yang tidak memakan banyak waktu dan tidak berliku-liku alias ribet. Bagian ini gunanya memperbanyak dulu rencana kita selesai dan meminimalisir rencana yang gagal atau terbengkalai.
Misalnya Anda memiliki waktu 12 jam untuk beraktivitas. Kemudian Anda memiliki 15 aktivitas. Di sana ada 2 aktivitas berat yang memakan banyak waktu, anggaplah masing-masing itu memakan waktu 4 jam. Total dari aktivitas ini adalah 8 jam. Maka Anda memiliki 4 jam waktu yang tersisa. Sedangkan Anda masih memiliki 13 aktivitas yang belum berjalan. Di sini ada dua kemungkinan;
Pertama, 13 sisa aktivitas itu mungkin selesai dalam empat jam. Kalaupun ini selesai, maka Anda bisa terbebani dengan jumlah itu. Ini masih berkaitan dengan poin ketiga bahwa kita manusia tetap tidak bisa menafikan kuantitas walaupun mereka sadar kalau kuantitas tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas.
Kedua, empat jam tidak cukup untuk menyelesaikan semuanya. Ini memungkinkan ada lebih dari dua aktivitas yang terbengkalai. Sedangkan jika mendahulukan 13 aktivitas ini, maka kemungkinan besar yang terbengkalai ada dua atau satu.
- Cicil jika perlu
Rencana itu tidak semuanya yang bisa selesai dalam satu eksekusi. Tapi, bisa saja selesai dalam beberapa tahap. Ini biasanya berlaku dalam proyek besar. Misalnya Anda ingin membuat buku, maka paling pertama adalah Anda harus memiliki sketsa konsep dulu. Semakin besar sebuah proyek, maka makin besar juga konsepnya. Maka Anda harus mencicil, mulai dari menyiapkan waktu untuk menyusun konsep, mencicil eksekusi konsep, tinjauan ulang, evaluasi, sampai finishing. Akan banyak aktivitas lain yang terbengkalai kalau kita melakukan satu hal yang besar dengan satu eksekusi yang mengesampingkan banyak hal yang tak kalah penting juga.
Perlu dicatat bahwa kelima hal tersebut tidak harus dilakukan secara bersamaan. Sebab, ada beberapa hal yang tidak mendukung untuk menghimpun kelima hal itu. Ini kembali kepada kita, bagaimana pintar-pintar dalam memilih tindakan yang pas pada waktu yang tepat yang tidak menciderai efisiensi aktivitas kita. Tujuannya tidak lain untuk memaksimalkan penggunaan waktu.
Bagian Ketiga: Antisipasi
Antisipasi ini diperlukan karena sebagai manusia, kita hanya bisa berencana. Namun, sebuah tentara itu akan menemui resiko besar jika dia tidak memiliki peluru cadangan kala memasuki medan perang. Sebab, sekuat apapun strategi, kemungkinan dipatahkannya itu tidak dinafikan. Hanya diminimalisir. Untuk memperkecil lagi kemungkinan terburuk, maka dibutuhkan antisipasi. Berikut adalah beberapa tips untuk melakukan antisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan.
- Pikirkan kemungkinan (manajemen resiko)
Tidak selamanya memikirkan atau mempertimbangkan kemungkinan kecil itu dianggap sebagai overthinking. Tapi, demi rencana yang matang, maka dibutuhkan pikiran untuk mempertimbangkan kemungkinan buruk yang bisa saja ada.
Ada satu hal yang perlu diingat, semakin besar kemungkinan buruk (resiko), bukan berarti tingkat kemaslahatannya juga besar. Karena sangat mungkin ada sesuatu yang resikonya besar dan maslahatnya kecil. Tapi, bukan berarti kita sama sekali tidak boleh mengambil resiko besar. Mengambil resiko besar itu satu hal dan berani bertaruh dengan kemungkinan resiko besar demi suatu kemaslahatan yang besar adalah hal yang lain lagi. Yang paling pertama kita lihat dulu itu bukan resikonya, tapi sebesar apa kemaslahatan yang menjadi poin akhir kita.
Di sini kita dituntut untuk sedikit lebih visioner untuk memikirkan rencana kita ke depannya. Baik dari segi alur, maupun deretan resiko yang mungkin saja datang menghampiri kita.
- Siapkan peluru cadangan
Biasanya orang menyebut dengan “Plan B”. Plan ini tidak harus satu, tapi bisa banyak. Dengan kata lain, tidak cukup hanya dengan plan B, tapi bisa juga plan C, plan D, dan seterusnya. Ada sebuah pertimbangan di sini, yakni menyusun rencana itu bukanlah hal yang mudah. Jika ada banyak plan, maka akan banyak tenaga yang terbuang. Di sisi lain, jika kita menyiapkan empat plan, yang terealisasi itu hanya satu. Tiga sisanya itu memakan tenaga kita.
Bagaimana agar tidak memakan tenaga dengan rencana cadangan yang pas? Bisa menerapkan “Semakin banyak plan, maka semakin kurang detailisasi”. Maksudnya, kalau kita melakukan banyak detailisasi, maka itu akan banyak membuang tenaga kita dengan sia-sia. Kita bisa menyusun rencana lebih detail secepatnya jika salah satu plan itu sudah terealisasi atau kemungkinan besar sudah kelihatan. Ini agar arah perjalanan dan tindak-tanduk kita itu jelas. Intinya, persiapkan yang terbaik dan lakukan yang terbaik.
Bagian Keempat: Tiba-Tiba
Maksud dari bagian tiba-tiba ini adalah ketika kita sudah menyiapkan rencana jauh-jauh hari, tapi ada hal yang muncul di tengah perjalanan kita dalam artian sudah sampai di bagian dekat dengan rencana yang dimaksud. Di keadaan ini kita memiliki opsi menolak atau menerima. Namun, lagi-lagi tidak semua hal yang harus kita terima, tidak semua juga harus kita tolak.
- Melihat skala prioritas
Jika hal tiba-tiba itu merupakan hal yang urgen dan merupakan hal yang lebih penting dari yang kita rencanakan, maka tentu kita harus mendahulukan mana yang lebih penting. Kecuali jika kita sudah membuat perjanjian tertentu dengan sesuatu yang lain, semisal ada rapat organisasi yang di mana keberadaan kita sangat urgen juga di sana, maka di sini kita harus profesional dalam menjalankan rencana kita. Bagian ini eksekusinya tergantung dengan bagian pertama bagian kelima. Jika sejak awal kita memang tidak memiliki perhatian ke bagian ini, maka itu akan membuat kacau di bagian ini.
- Berani menolak
Perlu kita ingat bahwa tidak semua hal perlu kita amini, ada hal-hal yang perlu kita tolak. Sebab, kita beda dengan orang. Kita beda sejarah, beda prinsip, dan beda cita-cita. Walaupun perbedaan itu ada, bukan berarti titik temu kita tidak ada. Manusia sebagai makhluk sosial adalah bukti kalau manusia itu memiliki kesamaan dengan yang lainnya.
Kalau kita menerima semua ajakan yang ditujukan kepada kita, maka jati diri kita tidak benar-benar hidup. Dia hidup untuk orang lain saja dan mati untuk kita. Adapun kalau kita menolak semuanya, maka kita tidak sedang menhidupkan jiwa sosial yang seharusnya ada pada tabiat manusia. Sebab, kehidupan ini bukan hanya untuk kita, tapi untuk yang lainnyaa juga. Jadi, pintar-pintar saja melihat mana yang bisa diterima dan ditolak.
Bagian Kelima: Dilema
Maksud dari bagian dilema ini adalah keadaan di mana Anda sangat sulit atau tidak bisa memilih opsi untuk menolak. Tapi, mau tidak mau harus menerima. Masalahnya, di sini ada dua hal yang bertabrakan dan sama-sama penting. Bagaimana menyikapinya?
- Kompromikan
Biasanya ada dua hal yang masing-masing memiliki celah waktu kosong. Tidak benar-benar penuh. Anggaplah Anda memiliki jabatan sebagai sekertaris dari dua organisasi. Tapi, dua organisasi membutuhkan Anda pada hari yang sama. Tugas Anda hanya mencatat bagian tertentu dan tidak memakan waktu yang banyak. Ketika tugas di organisasi pertama selesai, maka Anda bisa melakukan pada organisasi kedua juga, apalagi jika tugasnya menerima laporan saja. Tentu ini akan mudah terpenuhi kalau kita melihat adanya aspek digital yang bermain.
Tapi bagaimana kalau misalnya organisasi pertama punya rapat dan organisasi kedua memerlukan notulensi saja? Maka kita hadir di organisasi pertama, tidak pada organisasi kedua. Kehadiran kita pada organisasi pertama itu untuk memenuhi dua tuntutan sekaligus, seperti membuat laporan kegiatan dan menghadiri rapat. Sementara di bagian organisasi kedua, jika memerlukan notulensi, maka bisa diadakan pengganti atau perwakilan untuk melaporkan hasil notulensinya. Akhirnya, keduanya bisa dipenuhi.
- Pengorbanan
Opsi pengorbanan itu bukan di awal, melainkan pengorbanan terjadi jika sudah tidak ada titik temu. Karena langkah pertama adalah kompromi atau dalam istilah dunia bisnis; nego. Nah, anggaplah kita memiliki dua kegiatan yang sama-sama penting, tapi tidak memiliki titik temu. Bagaimana cara pengorbanannya? Ada dua dan harus dilakukan secara berurutan. Pertama, akhirkan. Kedua, tinggalkan salah satunya.
Mengorbankan tidak selalu tentang bagian paling akhir; ada yang dihilangkan secara total. Setidaknya, jika kita tidak bisa sampai di titik paling maksimal, jangan juga ke titik paling minimal. Selama masih ada peluang untuk terlaksana, paling tidak jangan langsung ditinggalkan. Kalau sudah tidak ada lagi peluang, jalan paling terakhirnya adalah meninggalkan. Ini biasanya melihat dari keluasan waktu yang ada pada setiap aktivitas. Kalau waktunya sempit, maka semakin sangat mungkin ke opsi kedua.
Perlu diingat, meninggalkan itu masih membutuhkan pertimbangan seperti apakah bahayanya itu besar atau tidak. Sebab, jika meninggalkan sesuatu yang merupakan keputusan besar itu, efek sampingnya lumayan besar. Jika kita dihadapkan dengan dua keadaan bahaya, maka kita harus memilih yang lebih ringan. Maka dari itu, jika memang ingin memilih opsi seperti ini, pertimbangannya harus kuat.
Bagian Keenam: Hal yang Perlu
Hal yang perlu ini semacam maklumat tambahan yang dianggap perlu dan berkaitan kuat dengan pembahasan ini. Lebih lanjutnya, bisa kita petakan menjadi beberapa poin.
- Efek samping terlalu detail
Efek samping yang ada saat kita menentukan waktu secara detail, bisa membuat kita terbebani secara psikologis. Karena kita akan melihat rencana kita yang terlalu banyak dan membuat kita merasa tertekan dengan kuantitas. Ini juga karena psikologi manusia itu tidak bisa menafikan aspek kuantitas walaupun mereka tahu kalau kuantitas itu sebenarnya tidak semuanya ada dalam bentuk realita dan signifikan.
Jadi, untuk bagian detailing ini, saya menyarankan untuk tidak terlalu detail dalam menentukan jadwal, tapi tidak juga menentukan sama sekali. Buatlah sesuai dengan porsinya dan secukupnya untuk Anda. Artinya, meskipun ada bagian yang terlihat tidak terlalu detail tapi Anda sudah tahu eksekusinya seperti apa dan tidak butuh bagian detail, maka tidak perlu Anda detailkan. Yang terpenting adalah apakah rencana Anda itu terpenuhi atau tidak.
- Bijak
Bijak itu berarti kita tahu apa yang perlu kita lakukan pada saat itu juga. Kita tahu kapan harus maju, kapan harus mundur, kapan harus diam, kapan harus bicara, dan lain sebagainya. Intinya, kita tahu porsi yang tepat akan perbuatan kita. Ini yang perlu kita miliki dalam manajemen waktu. Sebab, dengan memiliki kebijaksanaan dalam manajemen, maka ketepatan pebuatan kita lebih dekat dengan kebenaran.
Tapi, meskipun demikian, kita tidak boleh lupa kalau setiap keputusan yang kita ambil pasti memiliki konsekuensinya masing-masing. Maka dari itu, kita tetap harus bertindak dengan pas.
- Evaluasi
Tidak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini. Aristoteles, Filusuf Besar Yunani pernah berpesan kalau kita tidak ingin dikritik, maka jangan berbuat apa-apa. Sebab, setiap perbuatan yang kita lakukan, selalu saja ada bagian cacat yang tidak bisa ditutup oleh manusia. Jadi, apapun rencana kita, selalu saja memiliki kelemahan. Apalagi eksekusinya.
Mungkin ada pertanyaan, kenapa perlu ada evaluasi sedangkan kita tahu kalau kita sudah tidak mungkin sempurna? Perlu kita ingat bahwa evaluasi itu bukan berarti menjadikan kita langsung sempurna, tapi evaluasi itu untuk meminimalisir kekurangan dan kesalahan kita. Ketidakbisaan kita sempurna bukan berarti menghalangi kita untuk menjadi lebih baik dengan meminimalisir kekurangan.
- Tetap santai dan berbahagia
Santai itu tidak berarti kita ogah-ogahan atau malas-malasan dalam melakukan sesuatu. Itu seperti kita menarik nafas, pada batas tertentu kita harus menghela nafas atau memiliki jeda di antara menarik dan menghela nafas. Ketika kita berada pada batas tarikan nafas, keadaan itu mengharuskan kita “bersantai” untuk tarikan nafas berikutnya.
Juga, jangan sampai rencana kita membuat kita terhalang dari kebahagiaan itu sendiri. Ya, terlalu berambisi, lupa istirahat, dan menyakiti diri sendiri itu menggambarkan kalau kita tidak sedang berbahagia. Padahal, sebagai entitas kehidupan, apapun yang kita lakukan, selalu ingin poin akhirnya itu bahagia.
- Bercita-cita
Bercita-cita itu tidak ada masalah setinggi langit. Sebab, cita-cita itu memperbesar potensi kita untuk menggapainya. Salah satunya melalui menyusun rencana (ini cukup fundamental bagi saya). Setidaknya, kalau kita mengejar yang lebih tinggi, kita akan mempersiapkan diri untuk yang lebih tinggi, lebih menantang, dan lebih serius, dibanding bercita-cita seadanya, atau bahkan tidak memiliki masa depan sama sekali.
Masa depan, bukan berarti dia akan teraktualisasi di tangan kita. Bisa saja generasi selanjutnya yang akan mewujudkannya dan akan dianggap berjasa saat kita sudah tidak ada di dunia.
Kita memiliki visi dalam hidup, itulah cita-cita. Sedangkan misi kita adalah bagaimana cara mewujudkan mimpi itu. Pada misi itulah kita mengatur hidup, memaksimalkan waktu, dan lain sebagainya.
Mungkin akan ada yang berkata “Tidak usah pikirkan yang masa nanti, lebih baik fokus ke masa sekarang”. Saya sepakat jika tidak menafikan bercita-cita. Karena cita-cita adalah sketsa kasar dari perjalanan hidup kita. Kalau tidak ada sketasanya, jadinya akan random. Juga, cita-cita adalah idealisme yang dimiliki oleh manusia. Idealisme itu hanya akan terperangkap di pikiran kita jika tidak ada usaha aktual untuk mewujudkannya.
Demikian, wallahu a’lam.