Membaca Al-Qur’an pada umumnya biasanya disertai dengan kaidah kaidah tajwid ataukah dengan diiringi irama-irama khas seperti Bayati, Hijaz, Jiharkah, Nahawand, dan semacamnya. Namun, yang saya pikirkan, ketika menulis judul diatas lebih dari sekedar membaca Al-Qur’an pada umumnya.
Istilah “membaca Al-Qur’an” itu penuh dengan kompleksitas dan agak rumit, Ketika Al-Qur’an turun pertama kalinya kepada Nabi Muhammad, Allah langsung memilih kata “membaca” atau “bacalah” seakan akan membaca ini adalah sesuatu yang sangat urgent untuk diwahyukan pertama kali, dan kata “bacalah” pada wahyu yang pertama kali turun itu, digandengkan dengan kata “dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” dan dengan kata “dan tuhanmu yang maha mulia” sayapun bertanya tanya bacaan yang bagaimana sesuai dengan “nama tuhan” dan model bacaan yang bagaimana yang diinginkan oleh “tuhan yang maha mulia ini”?
Dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul seperti ini saya lebih yakin bahwa “membaca Al-Qur’an” itu lebih rumit dari yang dibayangkan.
Kita bisa melihat perintah membaca pada wahyu yang turun pertama kalinya sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Melalui kata “Iqra” sebuah pengetahuan bisa tercipta dari kekuatan daya magic membaca. Namun, Allah mewanti-wanti, dalam proses membaca pengetahuan apapun, kita harus “menghadirkan” Allah dalam proses pembacaan kita, tentu saja bukan hanya dengan lafal basmalah saja, tapi lebih dari itu sehingga orientasi bacaan kita selalu mengarah kepada Allah.
“Iqra” juga bisa dipahami dengan bacalah realitas di sekitarmu, teladanilah sifat Allah yaitu “Al-Khaliq” engkau harus bisa memiliki daya kreatif dalam menciptakan pembaharuan dan perbaikan di tengah tengah realitas yang mengelilimu. Dan hal ini terbukti, berangkat dari spirit perintah “Iqra” Nabi Muhammad Saw tampil sebagai perombak kejahiliyahan, dan sebagai pembaharu di tengah-tengah realitas masyarakatnya. Yang menjadi pertanyaan ialah, bisakah kita menjadi sosok pembaca seperti itu?
Membaca Al-Qur’an bukan hanya sekedar mengumpulkan huruf-huruf dalam mulut lalu dikeluarkan hingga menimbulkan suara, lalu disertai dengan kaidah-kaidah tajwid, lalu dilagukan dengan irama-irama khas. Seharusnya, kita harus bisa lebih dari sekedar membaca dengan model seperti itu, sebagaimana yang kita ketahui salah satu tujuan dari adanya ilmu tajwid adalah supaya kita bisa terhindar dari kesalahan membaca Al-Qur’an yang berujung kepada kesalahan pemaknaannya.
Ini artinya ilmu tajwid yang merupakan sarana, wasilah, atau perantara agar menggapai pemahaman yang benar untuk bisa menggali makna, dan agar sesuai dengan bacaan Al-Qur’an yang diajarkan Rasulullah. Kita tidak boleh berhenti sampai di kefasehan dan ketepatan tajwid dalam membaca Al-Qur’an, namun harus lebih dari itu kita harus bisa menembus dan berkecimpung pada dunia pemaknaan Al-Qur’an.
Rasulullah membacakan Al-Qur’an kepada realitas masyarakatnya itu lebih dari sekedar membaca, tapi Nabi juga menyertakan dimensi makna dan praktek dari Al-Qur’an, sehingga masyhur di telinga kita, bahwa para sahabat itu Ketika membaca atau menghafal Al-Qur’an, tidak langsung beranjak dari ayat satu ke ayat yang lainnya, namun mereka berusaha memahami maknanya, menghayatinya, dan mengamalkan dalam kehidupan sehari hari nya, namun lagi lagi yang menjadi pertanyaan, bisakah kita melakukan pembacaan seperti itu?
Saya rasa banyak saudara-saudara seiman kita yang terjebak dalam kesalahan membaca Al-Qur’an yang menurut hemat saya sangat fatal lebih dari salah tajwid.
Para saudara kita yang cendering ekstrimis misalnya Ketika membaca Al-Qur’an dan bertemu dengan ayat-ayat perang. Bisa jadi bacaan tajwid mereka Ketika membaca ayat ayat itu sangat fasih, lantunan suaranya sangat indah. Namun Ketika bacaan mereka dibawa ke ranah pemahaman terjadi kesalahan “Membaca Al-Qur’an” ayat itu seakan akan legitimasi untuk membunuh saudara saudara sesama manusia yang beda keyakinan, agama, bahkan beda aliran. Ini terjadi karena bacaan Al-Qur’an mereka belum bisa menciptakan pemahaman yang benar, saya rasa sudah banyak artikel, jurnal, skripsi, tesis, disertasi yang membahas tentang ayat ayat tersebut, yang saya rasa semuanya sepakat bahwa dalam membaca Al-Qur’an terutama pada ayat-ayat perang harus disertai dengan melihat konteks pada zaman Ketika ayat tersebut turun, bukan langsung main sikat aja perang-perangan, bunuh-bunuhan yang korbannya adalah orang tidak bersalah, bahkan saudara seiman pun jadi korban, apakah ini yang dikehendaki oleh Allah dengan membaca?
Yang terakhir Ketika kita membaca Al-Qur’an kita tidak sekedar ingin menemukan kebenaran teks atau objek yang kita baca, membaca itu mendorong kita menyadari eksistensi kita sebagai pembaca, dan eksistensi masyarakat yang akan menerima hasil pembacaan kita membaca Al-Qur’an.
Eksistensi kita adalah kita sebagai pembaca tak bisa lepas dari sejarah, misalnya saya ini orang Soppeng. Ketika saya lahir, saya sudah dirituali dengan adat-adat Bugis, saya bersekolah di pesantren yang berlatar belakang NU, kondisi yang seperti inilah yang mewarnai kehidupan saya, sehingga saya berwatak sesuai dengan sejarah yang melingkupi saya, ini yang masyhur dalam hermeneutika disebut dengan “pra-pemahaman”. Itulah ketika kita melakukan pembacaan terhadap Al-Qur’an kita juga harus mencari makna atau pesan yang berarti bagi saya sebagai reader dan masyarakat sebagai realitas yang akan menerima hasil bacaan saya.
Ketika dibawa ke konteks keindonesiaan salah satu hal yang menjadi pijakan Ketika memahami Al-Qur’an adalah identitas kewargenagaraan (kehadiran kita di tengah tengah realitas Negara Indonesia), sehingga hasil bacaan kita berguna bagi saya sebagai pembaca Al-Qur’an dan bermanfaat juga kepada masyarakat sebagai penerima hasil bacaan saya. Sehingga dengan hal ini diktum Al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan (sesuai dengan semua dimensi ruang dan waktu) bisa terealisasi dengan maksimal.