Pada prinsipnya, kehebatan seseorang itu diakui, tidak cukup jika hanya melayangkan pengakuan sepihak. Kealiman dan hafalan merupakan dua hal yang diakui oleh pihak yang lebih ahli darinya. Tentu pengakuan itu datang setelah fase pengujian itu sudah dilewati.
Yang namanya menguji, tentu ada caranya dan standarnya jelas. Selain supaya prosedur dan hasilnya itu sinkron, tentu hasilnya juga bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa ini penting? Jika Anda melihat realitas masyarakat, ada banyak cara menguji yang tidak pas. Mereka mau menguji pemahaman, tapi yang diuji hafalannya; alat pengujiannya untuk hafalan. Ini tidak sinkron. Pemahaman itu satu hal, sementara hafalan itu hal yang lain. Ibaratnya, mau mengukur berat badan, tapi alat ukurnya termometer.
Syekh Fauzi Konate, Pakar Bahasa Arab, sekaligus pernah dijuluki Imam Sibawaih zaman sekarang itu “membocorkan” standar untuk menguji keilmuan dan hafalan seseorang. Hal itu bisa kita lihat dalam salah satu tulisan singkat nan berisi dari beliau:
الأسئلة الأزهرية تختبر حفظك وفهمك
أما في الحفظ فيقال لك مثلا: اكتب من كذا أو استشهد على كذا
وأما في الفهم فيقال لك مثلا: ناقش، علل، اشرح، وفّق.
فلله در الأزاهرة أهل الحفظ والفهم
(Facebook: Konate Sidi Fauzi, 24 Desember 2022)
Secara ringkas, di sini ada enam poin penting. Dua poin untuk menguji hafalan, empat poin untuk menguji pemahaman. Berikut penjelasannya.
Menguji Hafalan
Untuk mengetahui hafalan seseorang itu ada dua cara:
- Kitâbah
Kitâbah diartikan dengan menulis. Tapi, menuliskan apa yang telah dihafal. Semakin tepat nan sinkron antara tulisan dan sesuatu yang dihafalkan itu, maka semakin dipercaya hafalan seseorang. Karena terbukti kuat melalui data empiris; tulisan dan sampel asli.
Ini mencakup juga sambung ayat. Karena ketika kitâbah-nya benar, maka ayat yang dihafal dipastikan benar. Jika tidak, maka kelemahan hafalannya akan ketahuan.
- Isytisyhâd
Yang dimaksud dengan isytisyhâd adalah mampu menjadikan hafalannya itu sebagai dalil dalam permasalahan tertentu. Misalnya, ketika menjelaskan tentang masalah salat, bisa menghadirkan ayat atau hadis yang relevan dengan masalah salat itu. Hafalannya bisa dipercaya jika akurasi ketepatan dan relevansinya tinggi.
Menguji Pemahaman
Untuk mengetahui pemahaman seseorang itu ada empat cara:
- Munâqasyah
Yang dimaksud dengan munâqasyah adalah mendiskusikan dan memperdebatkan apa yang telah dipahami. Jika dalam diskusi ia mampu menerapkan ilmunya dan mempertanggungjawabkan apa yang dia pahami, maka orang ini benar-benar paham. Tidak mungkin dia bisa menerapkan dan membela jika dia tidak memahami apa yang dia terapkan dan apa yang dia bela.
Ini mencakup juga ketika ia mampu mengkritik dengan kritik ilmiah terhadap suatu persoalan. Karena ketika ia melakukan itu, berarti dia paham ilmu. Karena tidak mungkin ada kritik ilmiah jika tidak berlandaskan ilmu tertentu. Pun, kritik ini tidak asal lempar kritik, tapi benar-benar tepat sasaran.
Mengapa musti munâqasyah? Karena di sinilah keilmuan seseorang bisa tampak jelas. Sesi ini juga akan membuktikan, apakah orang tersebut benar-benar menguasai nalar ilmiah atau tidak.
- Ta’lîl
Yang dimaksud dengan ta’lîl adalah mampu menjelaskan rangkaian sebab-akibat dari klaim besar yang ada dalam suatu ilmu. Karena ilmu tidak sekadar berisi klaim kosong lagi dogmatis, tapi klaim ilmiah.
Mengapa ta’lîl ini penting? Karena ini membuktikan bahwa seseorang paham mekanisme ilmu. Karena ketika dia mampu menjelaskan mekanismenya, berarti dia memahami cara kerja ilmu itu, seolah-olah dia melihatnya.
Semakin seseorang mampu menguraikan deretan sebab-akibat itu, semakin alim orang itu. Sampai di mana ujungnya? Sampai mentok di bagian yang disebut dengan postulat (dharuriyât). Karena ini menjadi landasan asasi dalam setiap ilmu. Tidak ada ilmu yang tidak merujuk ke bagian ini.
Ini juga mencakup nalar futuristik atau diistilahkan fanqala dalam ilmu adab al-bahts wa al-munâzharah. Dia bisa mengasumsikan beberapa akibat yang mungkin muncul dari paparannya, lalu menjawabnya sebelum akibat itu muncul dengan landasan ilmiah.
- Syarh
Syarh yang dimaksud adalah menjelaskan secara utuh apa yang dipahami. Tidak sekadar membaca tok lalu dikatakan menjelaskan, tidak pula menjelaskan melalui metode copas (copy paste) yang menjiplak penjelasan tertentu secara utuh lalu mengklaim dirinya menjelaskan. Tapi, dia menjelaskan dengan gayanya sendiri, maksimal dalam improvisasi, tanpa menggugurkan poin substansial dari ilmu yang dia pahami.
Ini juga membuktikan bahwa seseorang paham ilmu itu. Mengapa? Bagaimana ceritanya seseorang menjelaskan dengan utuh apa yang tidak ia pahami? Kalaupun ada orang nyerocos menjelaskan secara asal-asalan, dia akan jatuh di poin kedua di atas; ta’lîl. Karena asal-asalan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan kelihatan cacatnya jika diuji rantai sebab-akibatnya.
- Taufîq
Taufîq yang dimaksud adalah mampu mengkompromikan hal yang sekilas tampak kontradiksi dalam ilmu. Karena tidak mungkin ada ilmu yang dibangun dengan metode kontradiktif. Justru ilmu itu bisa dipercaya karena dia konsisten secara metodologis.
Bagian ini menunjukkan kedalaman ilmu seseorang, karena dapat melihat hal yang sangat tipis dalam ilmu. Saking tipisnya, orang mengiranya tidak ada, bahkan sekecil itu dianggap sama oleh orang awam atau pelajar secara umum. Hanya orang berilmu sajalah yang mampu melihatnya.
Terlepas apakah secara fi nafs al-amr orang itu paham atau tidak, itu bukan ranah kita. Karena kita tidak bisa mengidentifikasi secara langsung. Kita hanya bisa mengetahui melalui enam cara tersebut. Jika ada orang memiliki ilmu, tapi tidak diidentifikasi melalui cara-cara di atas, maka keilmuannya hanya diketahui oleh dirinya dan Allah.
Tidaklah seseorang dikatakan dalam ilmunya jika dia belum melewati empat tahap pengujian itu, tidak pula dikatakan kuat hafalannya jika tidak pernah diuji melalui satupun cara di atas. Karena penilaian kita terhadap seseorang nanti terbukti benar jika sesuai dengan realitas. Pengujian di atas itulah yang menjadi cara untuk mengetahui realitas, apakah dia betulan paham atau tidak, hafal atau tidak. Bagaimana caranya menilai jika tidak tahu apa yang dinilai?
Wallahu a’lam.