Sebelum memasuki sesuatu, tentu memiliki ruang antara tempat kita memulai dan tujuan. Ulama kita, menyebut ruang itu sebagai muqaddimah atau pengantar. Jangan salah, dalam cerita-cerita pun, kita harus memiliki pengantar untuk memahami inti cerita. Bisa saja dengan pengenalan tokoh, watak, atau kronologi lengkap, sehingga konteks yang terkandung dalam inti, bisa ditangkap oleh pembaca.
Kalau pengantar itu tidak ada, ibarat mau memasuki sebuah bangunan, tapi tidak lewat jalan masuk. Bagaimana dia masuk, sedangkan peluang untuk masuk saja diblok sejak awal? Itulah kenapa ulama kita memperkenalkan konsep yang dikenal sebagai al-mabadi’ al-‘asyarah (ada juga yang melakukan penelitian konsep ini sampai 11 mabadi’), pengantar untuk memahami inti pembahasan ilmu.
Di majelis ilmu Al-Azhar, di mana-mana pasti syekh yang mengajar akan membawa kita ke muqaddimah ini. Tidak langsung membahas masalah inti dari ilmu yang bersangkutan. Setidaknya, ada 3 poin penting paling krusial dalam pengenalan atau muqaddimah ilmu: 1) Definisi, 2) Objek kajian, dan 3) Manfaat mempelajari.
Dalam Tahrîr ‘ala Syamsiyyah karya Imam Qutb Al-Din Al-Razi, pembahasan muqaddimah ini sangat mendalam. Karena ini poin yang tidak bisa dinafikan dalam ilmu apapun. Secara garis besar, muqaddimah itu ada dua; 1) Muqaddimah Al-Kitab, dan 2) Muqaddimah Al-‘Ilm.
Muqaddimah yang pertama, biasanya kita kenal dengan “kata pengantar” di awalan buku. Bagian ini, berisi beberapa ungkapan penulis, sentilan sedikit tentang isi buku, dan lain sebagainya. Tapi, bagian ini tidak disebut sebagai pengantar ilmu. Sebab, ada muqaddimah buku yang isinya hanya curahan hati penulis, tanpa ada sangkut-paut dengan inti ilmu. Dan, bisa saja isi muqaddimah buku dipenuhi dengan istilah-istilah yang belum seharusnya dikenal oleh orang yang baru masuk ke ilmu itu.
Bagian krusial dari pengantar adalah pengantar ilmu (muqaddimah al-‘ilm). Karena inilah bagian yang wajib dilalui oleh penuntut ilmu jika ingin terjun ke dalamnya. Imam Qutb Al-Din Al-Razi menyebut:
والمراد بالمقدمة ههنا ما يتوقف عليه الشروع في العلم
“Yang dimaksud ‘muqaddimah’ di sini adalah sesuatu yang dibutuhkan ketika ingin terjun ke dalam sebuah ilmu”.
Syekh Husam Ramadhan menyebutkan satu kaidah yang sangat masyhur di kalangan ulama terkait muqaddimah ini:
لا بد لكل شارع في كثرة أن يتصورها بوحدة ما
“Penuntut ilmu yang ingin terjun ke sebuah ilmu, seharusnya memiliki satu hal yang bisa menggambarkan ilmu itu secara umum.”
Secara umum, kaidah tersebut ingin menyampaikan bahwa jika seseorang yang ingin terjun ke dalam sebuah ilmu (katsrah al-masâ’il), hendaknya memiliki satu hal yang membuatnya menggambarkan masalah-masalah ilmu tersebut secara umum. Satu hal yang dimaksud adalah definisi.
Dalam tradisi keilmuan Islam, definisi itu ada dua jenis secara umum; 1) Definisi yang menyebut manfaat mempelajari ilmu yang bersangkutan. Ini disebut dengan ta’rif bi al-rasm, dan 2) Definisi yang menyebut objek kajian dari mempelajari ilmu tersebut. Ini disebut dengan ta’rif bi al-hadd. Walaupun hanya definisi, tapi ini sudah mencakup ketiga poin krusial dalam mempelajari ilmu; 1) Definisi, 2) Objek kajian, dan 3) Manfaat.
Apa bedanya definisi itu? Jika seseorang yang ingin belajar ilmu (tingkatan pemula), maka yang pertama diberikan kepadanya adalah ta’rif bi al-rasm. Sebab, dengan memberitahu manfaat mempelajari, mereka akan memiliki gambaran umum, paling tidak manfaat mempelajarinya sudah ada. Ketika poin akhirnya sudah ada gambarannya, maka sisa diberikan cara untuk sampai kepada tujuan itu; memberitahu isi atau materi ilmu tersebut yang akan dikaji dan bagaimana cara mengamalkannya.
Sedangkan definisi satunya lagi, biasanya tidak diberikan di paling awal. Tapi, diberikan kepada orang yang sudah mengetahui rute dan alur pembahasan. Sehingga, mereka bisa nyambung dengan definisi itu. Beberapa ulama juga, enggan memberikan definisi ini kepada pelajar pemula. Sebab, isinya sulit dicerna untuk tingkatan itu. Mereka hanya diberikan ta’rif bi al-rasm.
Tapi, kedua definisi ini “sepakat” memberikan gambaran luas tentang ilmu yang akan dimasuki. Inilah yang dimaksud dengan “satu hal” yang menggambarkan deretan pembahasan secara umum. Adapun detailisasi bagian-bagian itu, berada dalam proses pelajaran selanjutnya atau bagian setelah muqaddimah sampai akhir.
Biasanya, pelajar pemula diberikan gambaran garis besar tentang pembahasan secara terurut. Setelah itu, mereka dijelaskan fungsi dan peran dari masing-masing bab, plus alasan kenapa urutan babnya demikian. Misalnya, ilmu mantik. Kenapa mulai dari membahas al-kulliyyat al-khamsah? Kenapa bukan qiyas? Dan lain-lain. Sebab, ulama yang menyusun kitab memiliki alasan terkait urutan bab dan pembahasan. Biasanya, alasan yang diberikan masuk akal.
Syekh Muhammad Abdul Majid Al-Syarnubi memberikan komentar Hasyiyah Al-Athar ‘ala Syarh Al-Khabishi ‘ala Tahdzib terkait masalah muqaddimah. Beliau menyebut kalau tingkatan untuk masuk ke dalam suatu ilmu itu, ada tiga:
Pertama, pengetahuan asal (bashirah ashlan). Maksudnya, kita hanya sekadar mengetahui nama ilmu itu saja atau dia dipelajari di tempat tertentu. Semisal, ilmu akidah itu dipelajari di Al-Azhar. Kita hanya mengenal nama ilmu akidah, tanpa memiliki gambaran terkait isinya. Ini tidak cukup untuk memenuhi standar muqaddimah. Maka perlu pengetahuan lebih.
Kedua, tambahan pengetahuan (ziyâdah al-bashirah). Maksudnya, kita mengetahui gambaran ilmu itu melalui ta’rîf bi al-rasmnya. Misalnya, kita mendefinisikan ilmu mantik dengan:
آلة قانونية تعصم مراعاتها الذهن عن الخطأ في الفكر
“Seperangkat kaidah yang jika diamalkan, maka akan menjaga kita dari kesalahan berpikir.”
Di sini, manfaatnya disebutkan jelas “menjaga kita dari kesalahan berpikir”. Ini sudah memenuhi standar untuk menjadi muqaddimah bagi para pemula.
Ketiga, pengetahuan utuh (bashirah tamâm). Maksudnya, kita mengenal ilmu yang bersangkutan tak hanya sekadar mengetahui manfaatnya. Tapi, mengetahui objek kajian, keutamaan, keterkaitan dengan ilmu lain, peletak dasar, nama, pengambilan dasar, hukum mempelajari, dan rentetan masalah yang akan dibahas. Inilah yang dikenal dengan istilah al-mabâdi’ al-asyarah.
Syekh Musthafa Ridha ketika membawakan kitab Thurûq Al-Manhajiyyah menyampaikan, bahwa barangsiapa yang mengetahui al-mabâdi’ al-‘asyarah, maka dia sudah mengetahui sepertiga ilmu. Ini sebagaimana juga yang diisyaratkan oleh Imam Al-Shabban dalam nazm al-mabâdi’ al-‘asyarah:
ومن درى الجميع حاز الشرفا
“Dan barangsiapa yang mengetahui semuanya (kesepuluh dasar/al-mabâdi’ al-asyarah), maka dia memperoleh kemuliaan.”
Apa jadinya jika muqaddimah ilmu dilewatkan begitu saja? Jawabannya, orang akan belajar seperti orang buta. Dia tidak tahu, apa visi-misi ilmu yang dia pelajari, dia tidak tahu mau ke mana dan harus apa. Sebab, muqaddimah ini ibarat episode pertama. Jika dilewatkan, akan membuat kita sukar dalam memahami alur episode-episode yang akan datang.
Jadi, ketika kita belajar suatu ilmu dan perjalanannya terasa remang-remang, maka kita bisa tanyakan “Apakah saya sudah tuntas dalam melewati muqaddimah ini atau sudah lewat tapi tidak paham utuh?” Atau kalau paham, apakah ada “gerbong” yang dilewati tapi kita memaksa ikut di “gerbong” depan. Ini bisa menjadi refleksi bagi kita, khususnya dalam dunia pendidikan. Karena ini bisa menjadi salah satu sebab gagal paham dalam menangkap maksud ilmu.
Inilah salah satu hikmah dari belajar secara sistematis yang diajarkan guru-guru di Al-Azhar. Sebab, dengan belajar sistematis, kita dapat memperoleh malakah (skill atau kemampuan yang sudah melekat dalam diri) dalam mengamalkan suatu ilmu. Ketika ilmu tidak sekadar tahu lagi, sudah menjadi malakah, maka tujuan ilmu sudah terpenuhi; diamalkan tanpa dipinta.
Wallahu a’lam