Coba bayangkan, ada dua orang dan masing-masing di depannya ada banyak bumbu rempah. Orang pertama adalah orang yang mampu meracik bahan-bahan itu dengan baik, sementara orang kedua itu hanya sibuk mengoplos bumbu. Kalau ditanya, mana masakan yang Anda pilih? Kalau Anda ingin selera makanan Anda terjaga, Anda akan memilih orang pertama. Bukankah begitu?
Kalaupun kita asumsikan orang pertama itu memiliki sedikit bumbu dan orang kedua memiliki banyak bumbu, orang akan tetap percaya dengan orang pertama. Kenapa? Ada sesuatu yang bisa dijadikan jaminan dari orang pertama.
Perumpamaan di atas itu sedang menggambarkan bagaimana perbedaan seorang ulama dan orang yang hanya sekadar membaca. Jika ditanya, apakah keduanya memiliki informasi (al-ma’lȗmah)? Jawabannya, tentu mereka memiliki informasi. Tapi, jika keduanya meracik informasi yang mereka miliki itu, apakah hasilnya sama? Tentu tidak. Memiliki bahan yang sama, bukan berarti memiliki kemampuan yang sama dalam mengolah.
Kalau ditanya, apakah keduanya pintar? Jelas, mereka sama-sama pintar. Mereka punya banyak informasi. Tapi, apakah semua orang pintar itu cerdas? Belum tentu. Karena ada yang tidak memiliki kecakapan dalam mengolah kepintaran yang ia miliki.
Di sini ada titik kritis yang sepertinya tidak bisa dibedakan banyak orang; 1) Informasi, 2) Argumentasi, dan 3) Eksekusi. Ketika kita banyak membaca, yang kita miliki hanyalah informasi. Argumentasi itu proses meramu informasi yang dimiliki sebelumnya. Sementara eksekusi, itulah proses implementasi dari teori yang dimiliki. Tiga hal ini harus dimiliki oleh ulama. Sementara kutu buku hanya berkutat pada poin pertama saja. Dua poin sisanya belum tentu dimiliki oleh kutu buku.
Salah satu pelajaran yang saya petik dari majelis Syekh Salim Abu ‘Ashi adalah mengemukakan kualitas dalam belajar, dibanding kuantitas. Bukannya kuantitas itu tidak penting. Keduanya sama-sama penting, tapi ada yang lebih penting, yaitu kualitas. Makanya ketika belajar di majelis yang mengkader ulama itu, informasinya tidak sekaya ensiklopedia, tapi cara berpikir ulama (manhaj) diturunkan melalui majelis. Inilah yang dikenal dengan ungkapan: “al-‘ilmu bi al-talaqqi” (Ilmu didapatkan melalui majelis ilmu). Ilmu yang dimaksud, bukan informasi yang tidak membuahkan kemampuan, tapi cara berpikir guru itulah yang disebut dengan ilmu, dengan kata lain al-malakah atau kemampuan mendarah daging dalam memecahkan masalah.
Jadi, ulama itu walaupun wawasan yang dimiliki ala kadarnya saja sudah bisa mengeksekusi banyak hal, apalagi kalau ulama itu memiliki banyak bacaan. Manfaat yang dilahirkan, tidak perlu ditanyakan. Sedangkan orang yang sekadar membaca saja, belum tentu bisa berargumen dengan baik, tidak pula menjamin ia memiliki kecakapan dalam mengamalkan ilmunya. Saya bisa membuktikan hal itu.
Anggaplah ada sebatang emas. Emas ini diberikan pada anak kecil. Apakah keberadaan emas ini meniscayakan ada kemampuan dalam menggunakan emas itu? Belum tentu. Bisa saja emas itu hanya dijadikan mainan bagi anak itu. Akhirnya, emas itu tetaplah emas tapi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Begitu juga informasi, apakah dengan mengetahui informasi tertentu seperti jumlah ayam di Amerika akan berpengaruh besar pada nalar argumentatif orang? Belum tentu.
Ada banyak narasumber yang sudah saya wawancarai dalam proyek penelitian, nyatanya memang mereka punya banyak informasi. Tapi, informasi itu hanya tersimpan, tidak banyak membuahkan hasil pada nalar argumentatif mereka. Akhirnya, informasi tetaplah informasi. Begitu juga kutu buku yang saya jumpai, ada beberapa yang tidak memiliki kecakapan dalam memilah informasi. Akhirnya, ia membenarkan seluruh pemikiran, walau substansi pemikiran ini kontradiktif. Kalau menggunakan nalar sehat, hal kontradiktif tidak mungkin dua-duanya benar.
Itu adalah data empiris yang saya temukan di realitas. Kalau dalam ilmu adab al-bahts, ini disebut dengan al-mahsȗsât atau berdasarkan pengamatan inderawi. Ini salah satu argumen yang tidak bisa dibantah karena bersifat aksiomatik (dharȗriy).
Sedangkan ulama dikader dengan deretan metode berpikir dan implementasi ilmu. Metode berpikir yang dimaksud adalah penguasaan terhadap ilmu alat dan inti dalam Islam. Penguasaan ini tidak sekadar hadir di majelis dan mendapatkan informasi penting dari ulama, tapi juga mewarisi cara berpikir ulama dalam menjawab problematika zaman. Dari metode berpikir yang benar, melahirkan implementasi ilmu yang benar pula. Ini seperti yang ada dalam ushul fikih dalam melihat maqâshid, metode dakwah dalam melihat situasi dan kondisi, dan filsafat dalam melihat ketepatan berbuat. Dengan kata lain, metode berpikir dan ketepatan implementasi ulama ini akan melahirkan kebijaksanaan dalam bersikap. Jelas, ini buah yang manfaatnya sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bersosial.
Anggapan Masyarakat
Saat mengamati anggapan orang-orang, kebanyakan belajar itu ditekankan pada sebatas membaca saja. Memang benar bahwa ketika orang membaca, berarti dia belajar. Tapi, belajar tidak harus membaca. Artinya begini, masyarakat lebih sering menuntut untuk mengetahui, bukan berpikir. Dampaknya, kita hanya melahirkan orang-orang tahu, bukan pakar dan pemikir.
Imbas lainnya, meng-ulama-kan seseorang akan menjadi semakin enteng, melihat standar ulama sendiri tidak paten di Indonesia. Begitu juga dalam meng-ustaz-kan seseorang dengan mudahnya. Saya tidak katakan meng-ulama-kan dan meng-ustaz-kan seseorang itu tidak boleh, tapi mengenteng-entengkan sesuatu yang sebetulnya sulit itu perbuatan yang tidak proporsional.
Akhirnya, orang yang sekadar mengetahui, diduga memiliki kemampuan dalam meramu informasi. Padahal, dua hal tersebut tidak saling meniscayakan. Memiliki informasi belum tentu memiliki “alat” untuk meramu informasi itu, begitu juga sebaliknya. Jadi, jangan heran kenapa banyak orang dianggap ahli, walau sebetulnya dia tidak memiliki keahlian apa-apa.
Masalahnya, yang bisa mengidentifikasi seperti itu adalah yang memiliki keahlian yang seimbang atau lebih. Karena orang yang tingkatannya di bawah, tidak bisa mengidentifikasi di atasnya, tapi yang di atas bisa mengidentifikasi di bawahnya. Kenapa? Alat apa yang bisa digunakan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan berpikir mendalam itu untuk membedakan mana yang bisa berpikir dan tidak? Makanya, Syekh Majdi ‘Asyur menyebut bahwa orang berilmu akan mengetahui lawan bicaranya hanya dengan berbicara kepadanya. Sebagaimana wali Allah mengetahui wali yang lain dengan sebatas melihatnya saja.
Wallahu a’lam